Sesi 11 Kelas PPG: Sharing Session dengan Tjandra Moh Amin

Suasana kelas tiba-tiba terasa hangat dan ramai ketika fotografer senior Tjandra Moh Amin bergabung di kelas PPG di lantai 21 PermataBank Tower, Jakarta, pada hari Selasa (19/11) lalu. Setelah sekian lama berkutat dengan teori-teori fotografi dan editing, di sesi 11 ini, kelas PPG sengaja mengundang Tjandra Moh Amin dalam sesi “Sharing Experiences” untuk berbagi pengalaman.

Dengan gaya bicara yang khas ala orang Betawi, santai, dan ceplas-ceplos, Tjandra Amin menceritakan awal mula ketertarikannya dengan fotografi hingga ia diangkat menjadi fotografer untuk salah satu tabloid olahraga ternama di Jakarta di tahun 1994. Pengalaman saat masih memotret dengan kamera analog dan slide, foto-foto yang gagal, kesulitan dan tantangan saat memotret di lapangan, tak luput menjadi bagian dari suka-duka yang ia nikmati sebagai seorang fotografer.

 

Di hadapan para peserta Kelas PPG yang saat itu terlihat sangat antusias, fotografer yang baru-baru ini meluncurkan buku foto "The Colour of Sport" ini juga berbagi tips dan pengalamannya saat mengerjakan beberapa projek foto. Sekitar 40 menit pertama, Tjandra memamerkan foto-foto hitam putih dari projek “Kampung Ane” yang ia buat di tahun 1996 - 2000. Projek foto tersebut tak lain menceritakan kampung tempat tinggalnya di daerah Pasar Kenari, Jakarta. Dalam projek tersebut, ia mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga penghuni kampung di daerah Pasar Kenari.

“Gw mencoba memperkenalkan fotografi di kampung gw,” kata Tjandra.

Dan hal ini ia buktikan dengan memamerkan foto-foto tersebut di kampung tempat ia tinggal. Foto-foto tersebut juga sempat dipamerkan di Pusat Kebudayaan Perancis.

“Dulu gw motret ya motret aja dan ketika mau dipamerin, gw sendiri yg milih foto-fotonya karena belum tahu yang namanya kurator. Tapi hal yang paling menarik adalah, bahwa membuat projek foto itu gak usah jauh-jauh. Mulai aja dari sesuatu yang dekat, simpel, dan kita kenali. Apabila kita peka, kita bisa membuat projek foto yang menarik hanya dari hal-hal kecil,” papar Tjandra.

 

Puas menikmati foto hitam-putih “Kampung Ane” melalui layar projektor, Tjandra pun berbagi pengalaman dan tantangan lainnya saat ia mengerjakan projek foto tentang grup band SLANK yang dikerjakannya selama 7 tahun (tahun 2000 - 2007). Menjelang akhir sesi, tak lupa Tjandra menyuguhkan beberapa foto berwarna dari projek “My Bike” yang mewakili kecintaannya pada hobi bersepeda.

“Fotografi bisa membuat kita menemukan hal-hal menarik di sekitar kita. Keberuntungan akan selalu menyertai kita selama kita jeli. Yang penting kita tertarik karena semakin kita tertarik, semakin kita dekat dengan subjek itu,” kata Tjandra di hadapan para peserta Kelas PPG. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)


Sesi 10 Kelas PPG: Editing (2) bersama Beawiharta

Hujan deras yang akhir-akhir ini mengguyur kota Jakarta rupanya tidak menyurutkan semangat 10 para peserta PPG untuk tetap datang dan mengikut Sesi 10 Kelas PPG yakni Photo Editing bersama Beawiharta yang kembali hadir untuk kedua kalinya sebagai mentor tamu.

Kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi bersama fotografer senior Reuters ini tentunya tidak disia-siakan oleh para peserta. Di sesi Photo Editing II ini, para peserta menunjukkan progress dan beberapa foto terbaru untuk final project photo story masing-masing. Beawiharta bersama dua mentor PPG lainnya, Edy Purnomo dan Ahmad 'DeNy' Salman secara bergantian memantau, menyunting, dan memberikan masukan serta saran untuk setiap peserta.

Setelah melihat progress photo story setiap peserta, menurut Edy sudah ada beberapa kemajuan dari hasil karya para peserta, salah satunya mulai terlihat bentuk dan karakter photo story masing-masing. Namun di satu sisi, Edy juga mengajak para fotografer untuk pelan-pelan coba meninggalkan memotret di wilayah aman agar membuka peluang untuk mendapatkan foto-foto yang lebih bagus namun berkarakter.

Masih menurut Edy, beberapa hal penting lainnya yang perlu diingat dalam membangun sebuah photo story yakni perlunya detail dan bridge penyambung  yang secara tidak langsung bisa menjadi penghubung yang mewakili subjek atau karakter dalam photo story yang akan diangkat.

“Detail atau bridge penghubung itu perlu, bukan sekadar menampilkan hal-hal yang bersifat informatif tapo juga mewakilik karakter si subjek tanpa harus menampilkan si subjek itu sendiri di dalam foto,” kata Edy.

Tidak jauh berbeda dengan Edy, menurut Beawiharta secara teknis dan pemilihan cerita serta isu yang akan diangkat sudah cukup bagus. Hanya saja tantangan terbesar yang dihadapi para peserta kelas PPG adalah agar tidak  terjebak hanya menampilkan foto yang bagus-bagus saja.

“Sebagai fotografer dan visual story teller, kalian jangan sekadar terjebak menghasilkan foto bagus dimana saat era digital ini semua orang bisa memotret dan menghasilkan foto bagus. Tantangannya justru bagaimana menghasilkan foto yang memiliki kekuatan secara emosi dan kedekatan dengan si subjek,” kata Beawiharta.

“Foto kalian harus jadi foto yang positif, dalam artian ketika orang-orang melihat foto-foto kalian, ada ikatan emosional dan timbul pemahaman baru serta kesadaran baru akan isu dan story yang kalian sampaikan dalam photo story kalian,” kata Beawiharta menyemangati para peserta saat mengakhiri sesi Photo Editing II. (AWS)

 

 


Sesi 9 Kelas PPG: Visual Literacy (part 2)

Setelah minggu lalu mendapatkan materi berupa teori dasar Visual Literacy, di Sesi 9 Kelas PPG yang berlangsung pada hari Selasa (12/11), para peserta kembali diajak bermain-main dengan teori dan mendiskusikan berbagai foto untuk lebih memahami dan mendalami Visual Literacy.

Selama 30 menit pertama, Ahmad 'DeNy' Salman yang menjadi mentor di sesi Visual Literacy II, mengulang sekilas beberapa materi yang sebelumnya telah diberikan. Seperti Foreground & Background dalam fotografi serta Prinsip-prinsip dalam Teori Gestalt. Tak lama setelah itu, peserta diajak mendiskusikan beberapa foto dari kacamata prinsip-prinsip dalam Gestalt.

Pada sesi kelas yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam ini, mentor menyampaikan materi kepada para peserta bahwasanya image atau foto selalu berkomunikasi di dua level, yakni Editorial Level (5W + 1H) dan Visual Level (The body language of the picture). Namun menurut Deny, tantangan terbesar bagi sorang fotografer adalah mampu menciptakan karya foto yang memiliki kekuatan dan karakter tersendiri di wilayah Visual Level yang tentunya menuntut kejelian dan wawasan seorang fotografer.

“Tahap Visual Level adalah tahap yang cukup penting terutama saat memasuki proses editing. Karena itu, menjadi penting bagi seorang fotografer untuk memperkaya referensi visual agar tidak terbatas pada pilihan-pilihan,” ujar Deny.

Untuk melengkapi pemahaman para peserta akan Visual Literacy, beberapa materi lain yang juga disampaikan antara lain tentang detail, cropping, arah, stability dalam foto, dll. Hampir seluruh peserta tampak sangat menikmati proses 'membaca' foto sekaligus mempraktekkannya saat 'membaca' foto karya masing-masing dan foto karya sesama peserta kelas PPG.

“Agak pusing sih dengan teori-teorinya, tapi setelah itu mulai penasaran dan membangun kesadaran untuk mempraktekkan dan coba memotret berdasarkan teori Visual Literacy,” kata Fikri Adin, salah satu peserta kelas PPG asal Purwokerto.

Menurut Fikri yang saat ini bekerja sebagai fotografer Harian Pagi Satelit Post, dengan mengenal dan memahami Visual Literacy, seorang fotografer bisa bermain-main dengan persepsi penikmat foto yang melihat karya kita. Lebih lanjut Fikri menambahkan, “Bukan cuma bermain-main dengan imaji dan persepsi saja, tapi secara tidak langsung kita juga meningkatkan kualitas foto kita.” (AWS)

 


Sesi 8 Kelas PPG: Visual Literacy (part 1)

“Coba kalian tebak, menurut kalian kira-kira ini foto apa?” tanya Edi Purnomo saat menunjukkan salah satu foto melalui proyektor di hadapan para peserta kelas PPG.

 

Kepala banteng...”

 

“Kyak jok sepeda...”

 

“Hanger (gantungan baju)..”

 

“Stang sepeda....”

 

Jawaban yang terlontar ternyata cukup beragam ketika mereka mencoba menerka foto Buffalo karya Pablo Picasso. Mentor sengaja menunjukkan foto yang mengundang interpretasi berbeda dengan tujuan tidak lain untuk menyampaikan bahwa setiap orang memiliki visual memori yang terekam dalam benaknya. Dengan 'rekaman' visual memori yang berbeda tersebut  pada akhirnya menimbulkan persepsi pada setiap orang tidak akan selalu sama.

“Pada dasarnya, visual literacy bermain dengan persepsi kita. Bahwa apa yang kita lihat itu sebetulnya tidak sama dengan apa yang ada di persepsi kita,” ujar Edi saat menyampaikan materi dasar tentang Visual Literacy pada Jumat (8/11), di kelas PPG di PermataBank Tower, Jakarta.

“Visual Literacy adalah kemampuan untuk mengerti atau memahami dalam memproduksi karya visual,” kata mentor menambahkan.

Selain membahas beberapa foto yang dibedah melalui kacamata visual literacy, para peserta kelas PPG juga diperkenalkan dengan teori Figure - Background dan Prinsip-Prinsip dalam Teori Gestalt. Seperti Proximity (Kedekatan), Similarity (Kesamaan), Continuity (Kesinambungan), dan Closure (Penutup).

Memasuki sesi kedua, Edi bersama mentor lainnya, Ahmad 'Deny' Salman, mengajak para peserta untuk berlatih ‘membaca’ foto dengan mempraktekan Teori Gestalt yang baru saja mereka pelajari. Setiap peserta membawa hasil karya masing-masing dan mencoba menjelaskannya berdasarkan prinsip-prinsip dalam Gestalt.

“Dengan mengenal dan mempelajari visual literacy, fotografer sebagai seorang story teller, harus bisa mengontrol efek apa yang ingin Anda hasilkan ke pembaca,” kata Ahmad 'Deny' Salman. Diskusi kelas juga semakin ramai dengan hadirnya salah satu alumni peserta PPG  2012 tahun lalu, yakni Fernando Randy. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)

 


Sesi 7 Kelas PPG: Caption bersama Sasa Kralj

“Why do we need caption?”

Pertanyaan tersebut diajukan Sasa Kralj, pengajar fotografi sekaligus fotojurnalis asal Kroasia, saat berinteraksi dengan para peserta PPG melalui video conference. Di Sesi ke-7 Kelas PPG yang berlangsung pada hari Jumat (1/11) di PermataBank Tower, Jakarta, Sasa menyampaikan materi tentang pentingnya riset dan pengetahuan seorang fotografer dalam menulis caption yang tentunya akan membuat sebuah karya foto menjadi lebih bermakna. Read more


Sesi 6 Kelas PPG: Research and Proposal

Foto ibarat guidance atau menjadi “pintu gerbang” akan isu-isu tertentu agar publik mengetahui realitas sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Karenanya, sangatlah penting bagi seorang fotografer untuk memahami bahwa foto yang dihasilkannya nanti bukan sekadar foto yang indah namun juga foto yang memiliki value dan kekuatan dari sisi semiotika visual.

Hal tersebut selalu ditekankan Hadi Winarto, Produser salah satu program dokumenter di Metro TV, yang kembali hadir di Kelas PPG Sesi ke-6 pada hari Selasa (29/10) di PermataBank Tower, Jakarta, dengan penyampaian materi berupa finalisasi proposal dan memperdalam riset sekaligus mengevaluasi proposal masing-masing peserta.

Sebagai mentor tamu (guest mentor), menurut Hadi rencana pemotretan sangatlah penting karena itu akan mempermudah fotografer dalam menentukan pilihan momen terbaik, terutama untuk mengantisipasi unpredictable moment saat berada di lapangan.

Rencana pemotretan yang maksimal tentunya hanya bisa didapat jika seorang fotografer mampu membuat proposal berisi rencana pemotretan yang matang, riset yang kuat, disertai dengan perencanaan budget yang detail.

“Jangan pernah datang hanya dengan membawa alat (kamera), lalu jepret-jepret, dan selesai. Anda harus datang dengan perencanaan dan suatu susunan berfikir yang nantinya akan menjadi kerangka dalam story yang akan Anda buat,” kata Hadi di hadapan para peserta PPG.

Di sesi kelas yang berlangsung selama tiga jam ini, Hadi juga mengevaluasi proposal para peserta yang sebelumnya telah direvisi dan diserahkan kembali ke mentor.

Dari hasi evaluasi tersebut, mentor menyampaikan beberapa poin berupa enam elemen penting yang nantinya bisa membantu para peserta untuk membuat proposal yang lebih mumpuni. Kelima elemen tersebut antara lain; Subjek Cerita (topic), Bangunan Cerita (Plot), Sudut Pandang (angle), Konflik dalam Cerita (Conflict), dan Kedalaman Riset (Research), dan terakhir adalah Budget. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo).

 

 


Sesi 5 Kelas PPG: Editing

 

Delapan meja putih berukuran sekitar 1 x 1,5 meter sudah tersusun rapi di tengah salah satu ruangan di lantai 21, PermataBank Tower, Jakarta. Di atas setiap meja, tampak puluhan foto ukuran 4R hasil bidikan para peserta PPG 2013. Seluruh peserta terlihat serius menyusun urutan foto, ada yang sibuk membuka catatan storyboard untuk membantu susunan foto, ada juga yang sibuk berdiskusi dengan partner-nya dan saling memberi saran dalam penyusunan alur cerita photo story yang mereka garap.

 

Sementara itu, di sudut meja yang lain, para mentor kelas PPG Edy Purnomo dan Ahmad 'Deny' Salman mulai mengamati urutan foto yang telah disusun oleh para peserta. Sesekali para mentor memberi saran, membantu memilih & menyusun urutan foto agar sesuai dengan alur cerita sekaligus berbagi ide dan tips ketika para peserta menemui kendala dalam mengerjakan photo story.

 

“Sebetulnya kerangka (cerita) dalam photo story kalian sudah mulai terbentuk, sekarang tantangannya adalah mencoba untuk menari dengan imajinasi kalian. Memotretlah dengan gembira dan lebih rileks, lalu rasakan permasalahannya. Karena itu yang jauh lebih penting....” tutur Edi.

Sesi ke-5 Kelas PPG yang berlangsung pada hari Jumat (25/10) memang agak berbeda. Ini kali pertama para peserta tidak belajar teori di kelas lantaran di sesi  Editing para peserta diharuskan membawa hasil jepretan selama di lapangan sebagai rangkaian final project masing-masing.

 

Kehadiran Beawiharta, fotografer senior dari Reuters, kian menambah keistimewaan sesi Photo Editing. Beawiharta yang hadir sebagai mentor tamu (guest mentor) ikut berkeliling dari satu meja ke meja lain untuk membantu & berbagi ide bagi para peserta dalam membangun dan menyusun sebuah photo story.

“Inti dari pengerjaan sebuah photo story adalah keintiman. Jadi kalian harus benar-benar mengetahui karakter & semua permasalahan si tokoh (karakter) dalam story kalian,” kata Beawiharta di hadapan para peserta.

 

Sebelum kelas berakhir, ia pun menambahkan, “Yang penting kalian harus bisa merasakan keintiman itu sehingga ada kedekatan dengan karakter atau tokoh dalam story kalian. Ini akan membantu saat eksekusi di lapangan dan membuat hasil foto kalin lebih terasa hidup.” (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)


Sesi 4 Kelas PPG: Understanding Photo Story (part 2)

Setelah sesi kelas sebelumnya membahas pemahaman awal tentang photo story, di sesi kali ini, Ahmad 'Deny' Salman atau mentor yang lebih akrab dipanggil Bung Deny, mengajak para peserta untuk mengenal lebih jauh beberapa Teknik Bercerita dalam photo story.

Read more


Sesi 3 Kelas PPG: Understanding Photo Story (part 1)

Membuat photo story ternyata tidak semudah yang dibayangkan dan tentunya harus memiliki persiapan, perencanaan, dan riset yang matang. Setidaknya hal tersebut menjadi pemahaman awal para peserta di sesi ke-3 kelas PPG yang mengulas tentang “Understanding Photo Story” pada hari Jumat (18/10) di kelas PPG di Jakarta.

 

Dibawah bimbingan mentor Ahmad 'Deny' Salman, peserta diajak melihat beberapa contoh photo story dari berbagai fotografer dengan keragaman tema. Mulai dari photo story sederhana bertema binatang, gaya hidup, hingga photo story dengan kompleksitas isu seperti Global Health Crisis karya James Natchwey ataupun Country Doctor karya Eugene Smith.Read more


Sesi 2 Kelas PPG: Proposal

“Salah satu elemen dasar dalam mengerjakan sebuah projek adalah perhatian dan minat. Ini penting sebagai entry point bagi fotografer sebelum memvisualisasikan karyanya,”  ujar Hadi Winarto, yang untuk pertama kalinya hadir sebagai mentor tamu pada hari Jumat (11/10) di ruang kelas PPG 2013, PermataBank Tower, Jakarta.Read more


Sesi 1 Kelas PPG: Eksplorasi Tema & Proposal

Suasana kelas tiba-tiba menjadi sunyi ketika para mentor kelas PPG, Edy Purnomo dan Ahmad 'Deny' Salman memberi masukan mengenai proposal ke-10 peserta Permata Photojournalist Grant III. Beberapa langsung sibuk mengeluarkan notes dan mulai mencatat. Sebagian lainnya langsung terdiam dan terlihat berpikir dengan dahi berkerut.Read more


Pembukaan PERMATA PHOTOJOURNALIST GRANT (PPG) 2013 - ERASMUS HUIS FELLOWSHIP TO AMSTERDAM

“Wartawan foto sama pentingnya seperti wartawan tulis, sementara pendidikan foto secara formal bisa dibilang hampir tidak ada,” ungkap Leila Djafaar, Executive Vice President-Head Corporate Affairs PermataBank di acara Pembukaan Permata Photojournalist Grant (PPG) 2013 - Erasmus Huis Fellowship To Amsterdam pada hari Selasa, 8 Oktober 2013 di gedung PermataBank WTC 2, Jakarta.

 

Lebih lanjut, Leila mengungkapkan bahwa program PPG ini merupakan wujud komitmen PermataBank untuk mengembangkan dan meningkatkan pendidikan dan kualitas para Pewarta Foto di Indonesia yang juga sejalan dengan program CSR PermataBank.

 

Adapun kejutan luar biasa dari PPG tahun ini adalah adanya program Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam. Program tersebut merupakan wujud komitmen dari Erasmus Huis dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia sebagai salah satu partner Permata Photojournalist Grant untuk terus mengembangkan program ini. Melalui  fellowship tersebut akan dipilih satu orang peserta dari para alumni PPG I - III untuk magang di NOOR Photo Agency di Amsterdam sekaligus menghadiri acara World Press Photo Award tahun 2014.

 

Permata Photojournalist Grant merupakan satu-satunya program pendidikan yang bersifat grant dan ditujukan bagi pengembangkan kualitas & wawasan Pewarta Foto di Indonesia dimana setiap tahunnya hanya akan dipilih 10 peserta untuk mengikuti program ini.  Adapun sejak pertama kali diluncurkan tahun 2011, antuasiasme para peserta untuk mengikuti program Permata Photojournalist Grant meningkat cukup pesat hingga 132%. Pada tahun 2011 tercatat hanya 19 pendaftar dan tahun ini jumlah pendaftar melonjak hingga 44 pendaftar.

 

TEMA, PROGRAM, DAN REKAN BARU

 

Ada banyak hal baru dari program Permata Photojournalis Grant tahun ini. Salah satunya jika PPG tahun-tahun sebelumnya mengangkat tema "PENDIDIKAN", maka di tahun ini PPG III mengusung tema "PEMBERDAYAAN".

 

Selain masih tetap dibimbing oleh para mentor tetap dari PannaFoto Institute yang telah mendapatkan sertifikasi dari World Press Photo seperti Edy Purnomo dan Ahmad 'Deny' Salman serta pewarta foto dari Indonesia yang berpengalaman, para peserta PPG III juga akan dibimbing langsung oleh fotografer internasional seperti Sasa Kralj dari Kroasia dan Kadir Van Lohuizen, Co-founder NOOR Photo Agency & Supervisory Board di World Press Photo yang juga pernah menang penghargaan World Press Photo.

 

Dalam acara pembukaan yang dihadiri oleh Bob Wardhana selaku perwakilan dari Erasmus Huis, Buyung Soeseno dari SUBUR Printing, Sinartus Sosrodjojo selaku Advisor of PannaFoto Institute, para tamu undangan, para peserta, alumni PPG I-II, dan pewarta foto, PPG tahun ini juga menyambut mitra baru yakni SUBUR Printing dan Surya Palace Jaya.

 

Untuk para peserta PPG III, selamat berkarya dan bagi mitra baru, selamat bergabung dalam keluarga besar Permata Photojournalist Grant! (AWS/foto:RW)