Seri Seminar Fotografi #1 - Permata Youth Photostory (PYP): KINDNESS

Permata Youth Photostory (PYP) akan berkunjung ke Palembang!

Sesi pertama Seminar Fotografi - Permata Youth Photostory (PYP): KINDNESS bertajuk "Membangun Narasi Visual" akan diadakan di Auditorium Perpustakaan UIN Raden Patah, Palembang, pada Senin, 6 November 2023 pukul 10.00—12.00 WIB, berkolaborasi dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ukhuwah.

Menghadirkan Edy Purnomo, Ng Swan Ti, dan Wisnu Akbar Prabowo, seminar ini akan mengulik proses serta tips dan trik membangun narasi visual dalam pengerjaan foto cerita.

Sesi ini terbuka untuk umum dengan registrasi melalui bit.ly/SEMINAR1PYP2023. Teman-teman fotografer muda di Palembang, dapatkan inspirasi dengan mengikuti seminar fotografi ini!


Pameran Foto Permata Youth Photostory 2023 : KINDNESS

PermataBank bersama PannaFoto Institute kembali menghadirkan Permata Youth Photostory (PYP). Pada Juli tahun ini, edisi kedua PYP mengangkat tema KINDNESS.

Sepuluh fotografer muda mengurai dan merefleksikan makna kebaikan yang terlihat dan terasa di sekitar mereka. Melalui foto cerita, mereka menyorot sosok para perempuan yang berperan menabur kebaikan bagi orang-orang terdekat mereka.

Kesepuluh fotografer muda Permata Youth Photostory (PYP) 2023 adalah:

  • Aulia Sabrini Saragih, Medan – Universitas Sumatera Utara
  • Daffa Nur Hikmah, Jakarta – Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
  • Febra Gilisua, Yogyakarta – Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  • Feby Ardiatri Pasangka, Makassar – Universitas Hasanuddin
  • Ilyansyah Nashrul Aulia, Bandung – Universitas Padjadjaran
  • Juniken Imelda Ratu Radja, Kupang – Universitas Multimedia Nusantara
  • Maria Michelle Angelica, Jakarta – Universitas Gadjah Mada
  • Tri Wahyu Prasetyo, Semarang – Alumni Universitas Kristen Satya Wacana
  • Siti Hardianti Rukmini, Yogyakarta – Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  • Wisnu Akbar Prabowo, Palembang – UIN Raden Fatah Palembang

Mereka mengerjakan foto cerita selama mengikuti lokakarya yang berlangsung satu bulan, dari akhir Agustus hingga akhir September. Mentor PannaFoto dan alumni PYP, Edy Purnomo, Arum Dayu, dan Vickram Sombu membimbing para peserta mengembangkan ide cerita yang mereka pilih hingga menjadi narasi visual. Peserta juga berkesempatan mengikuti sesi kelas bersama mentor penulisan, Okky Ardya. Karya mereka kemudian dipresentasikan dalam pameran yang dikurasi oleh Yoppy Pieter.


Pameran Foto
24 Oktober–18 November 2023
Pukul 08.00–20.00 WIB

Pembukaan
Selasa, 24 Oktober 2023
Pukul 16.00–18.00 WIB

World Trade Center 2, Lobby Area
Jl. Jend. Sudirman Kav 29-31, Jakarta Selatan


Permata Youth Photostory (PYP) 2023: KINDNESS didukung oleh Universitas Katolik Parahyangan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Digital Journalism Universitas Media Nusantara, Desain Komunikasi Visual Politeknik Harapan Bersama, Fotografi ISI Yogyakarta, dan Women Photograph Indonesia.


10 Peserta Permata Youth Photostory (PYP) 2023: KINDNESS

Congratulations! Kami ucapkan selamat bergabung dalam Permata Youth Photostory (PYP) 2023: KINDNESS kepada 10 FotograferMuda:

  • Aulia Sabrini Saragih, Medan - Universitas Sumatera Utara
  • Daffa Nur Hikmah, Jakarta - Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
  • Febra Gilisua, Yogyakarta - Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  • Feby Ardiatri Pasangka, Makassar - Universitas Hasanuddin
  • Ilyansyah Nashrul Aulia, Bandung - Universitas Padjadjaran
  • Juniken Imelda Ratu Radja, Kupang - Universitas Multimedia Nusantara
  • Maria Michelle Angelica, Jakarta - Universitas Gadjah Mada
  • Tri Wahyu Prasetyo, Semarang - Alumni Universitas Kristen Satya Wacana
  • Siti Hardianti Rukmini, Yogyakarta - Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  • Wisnu Akbar Prabowo, Palembang - UIN Raden Fatah Palembang

Tim Seleksi Irene Barlian (Documentary Photographer & National Geographic Explorer) dan Edy Purnomo (Documentary Photographer & Educator) menyaring dari 66 aplikasi yang masuk.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua FotograferMuda yang telah mendaftarkan diri. Tetap semangat berkarya dan mencoba berbagai kesempatan yang ada!

Sejumlah institusi pendidikan dan komunitas fotografi mendukung penyelenggaraan Permata Youth Photostory (PYP) 2023, antara lain Universitas Katolik Parahyangan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Digital Journalism Universitas Media Nusantara, Desain Komunikasi Visual Politeknik Harapan Bersama, Fotografi ISI Surakarta, dan Women Photograph Indonesia.


Permata Youth Photostory 2023 | KINDNESS

PERMATA YOUTH PHOTOSTORY (PYP) 2023

PermataBank x PannaFoto Institute hadir kembali dengan program Permata Youth Story (PYP) 2023 dan mengusung tema KINDNESS, sebuah program pendidikan fotografi yang didedikasikan bagi generasi muda. Permata Youth Photostory (PYP) 2023 menawarkan beasiswa dan workshop daring untuk pegiat dan peminat fotografi muda.

Tahun ini PYP memilih tema KINDNESS untuk mengurai makna dan merefleksikan kebaikan-kebaikan yang terlihat serta terasa di sekitar kita, merekam dan membaginya melalui foto cerita (photo story). Para mentor berpengalaman dari PannaFoto Institute dan alumni Permata Photojournalist Grant akan memfasilitasi peserta untuk meningkatkan keterampilannya dalam bercerita dengan menggunakan foto, dan mengeksplor medium fotografi dan industrinya.

Selain itu, Permata Youth Story (PYP) 2023 menyelenggarakan seri webinar fotografi dengan beragam topik, yang terbuka untuk umum dengan registrasi.


Permata Youth Photostory 2023
Beasiswa dan workshop fotografi bagi generasi muda
Tema: KINDNESS

Pendaftaran ditutup
16 Agustus 2023 pukul 20.00 WIB

Link pendaftaran
bit.ly/PYP2023KINDNESS

Kelas dan mentorship
29 Agustus – 26 September 2023

Untuk 10 peserta terpilih


Seri webinar fotografi
27 Juli – 15 Agustus 2023
Untuk umum, registrasi
Via ZOOM


Info lebih lanjut
Asa (0858 8812 7367)
www.permata-photojournalistgrant.org

Sejumlah institusi pendidikan dan komunitas fotografi mendukung penyelenggaraan Permata Youth Photostory (PYP) 2023, antara lain Universitas Katolik Parahyangan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Digital Journalism Universitas Media Nusantara, Desain Komunikasi Visual Politeknik Harapan Bersama, Fotografi ISI Surakarta, dan Women Photograph Indonesia.


Pameran Foto Permata Photojournalist Grant XII INSPIRATION

 

PermataBank bersama PannaFoto Institute menghadirkan edisi ke-12 Permata Photojournalist Grant (PPG XII). Dalam edisi ini, kami mengangkat tema INSPIRATION, yang berakar dari semangat PermataBank untuk mendukung pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan Indonesia.

Sepuluh penerima PPG XII menyoroti kisah figur-figur perempuan yang berkontribusi nyata di keluarga, komunitas dan lingkungan sekitar mereka tinggal. Mereka berjuang untuk pendidikan inklusif, lingkungan hidup, atau kondisi masyarakat sekitarnya.

Peserta PPG mengerjakan foto cerita selama mengikuti workshop, yang berlangsung  pada pertengahan Maret hingga awal Juni 2023. Mentor PannaFoto dan alumni PPG, Edy Purnomo, Rosa Panggabean, Yoppy Pieter, dan Saša Kralj membimbing para peserta mengembangkan ide yang mereka pilih hingga menjadi narasi visual. Peserta juga berkesempatan mengikuti sesi kelas bersama mentor tamu, Tri Joko Her Riadi, Widya Hasian Situmeang dan Jenny Smets dari Belanda.

Kesepuluh penerima PPG XII adalah:

  • Abdan Syakura, Republika — Cimahi
  • Adwit Pramono, Antara Foto — Manado
  • Ahmad Rizki Prabu, Kontributor Project Multatuli — Palembang
  • Bagus Kurniawan, Pewarta Foto Lepas — Prabumulih
  • Endra Prakoso, Akurat.co — Jakarta
  • Himawan Listya Nugraha, Harian Bisnis Indonesia — Bogor
  • Kristi Dwi Utami, Harian Kompas — Semarang
  • Muhammad Bagus Khoirunas, Antara Foto — Banten
  • Muhammad Ihsan Mulya Pratama, Jawa Pos Radar Solo — Solo
  • Muhammad Tohir, GATRA — Palembang

Pameran
11 Juli – 18 Agustus 2023
Pukul 08.00 – 20.00 WIB

Pembukaan
11 Juli  2023
Pukul 16.00 – 18.00 WIB
WTC 2, Lobby Area,
Jl. Jend. Sudirman Kav 29-31, Jakarta Selatan

Terbuka untuk umum

 


Final Editing I: Sequence Tak Sekadar Urutan Foto

Setelah melakukan proses panjang selama 2 bulan terakhir, kesepuluh peserta PPG XII: Inspiration akhirnya siap mengikuti kelas Final Editing I bersama Jenny Smets. Agar peserta mendapat arahkan lebih intensif, kelas Final Editing dibagi dua hari dengan komposisi masing-masing lima peserta.

Kurator independen berbasis di Belanda ini membuka kelas dengan wajah bungah. Ia senang, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan peserta angkatan XII. Para mentor pun memanggil satu persatu peserta, Adwit Pramono menjadi peserta pertama. Sambil membagikan sequence foto, peserta asal Manado ini menceritakan proyek fotonya yang mengangkat isu konservasi Anoa di hutan Sulawesi Utara. “Ini cerita menarik, saya belum pernah tahu ada binatang Anoa sebelumnya,” respons Jenny. Menurutnya, secara teknis foto Adwit terlihat bagus, namun perlu perbaikan dalam peletakan urutan foto antara dokter hewan, Anoa, dan habitatnya. Diskusi berjalan hampir 30 menit hingga akhirnya Adwit, Jenny, dan para mentor menyepakati urutan foto.

Selanjutnya Endra Prakoso membawa sequence foto berkelir hitam putih. Ia, mengangkat isu yang cukup sensitif yaitu kekerasan pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). Endra sengaja memilih hitam putih sebagai untuk menegaskan kepiluan yang dialami para korban, “Tidak semua subyek saya mau difoto karena kasusnya masih berlangsung dan dilindungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” ungkapnya.

Pesan yang ingin disampaikan Endra ternyata juga ditangkap Jenny. Ia mengatakan, keputusan memilih hitam putih ini benar-benar tepat, “Saya mengapresiasi sekali keputusanmu untuk memilih foto hitam putih. Agar membangun koneksi personal, foto-foto yang berkaitan dengan NGO kita kurangi untuk digantikan dengan foto para korban,” usulnya. Kontras dengan Endra, foto-foto Himawan penuh kelir warna-warni, ia yang mengangkat cerita seorang penggemar Kpop ini menampilan aktivitas protagonis terinspirasi untuk berbuat kebaikan karena Kpop. “Dalam foto editing kita perlu melihat angle dan ekspresi subyek agar cocok jika disambungkan dengan foto sebelum atau sesudahnya,” kata Jenny. Ia pun cukup lama mengajak Himawan memilih empat foto dengan aktivitas yang sama namun berbeda angle. Setelah memilah, Jenny masih merasa kurang foto potret dari subyek, pada pertemuan berikutnya ia diminta menambahkan foto tersebut.

Sewarna dengan Himawan, Abdan juga membawa foto berkelir warna-warni. Melalui pemilihan warna, ia ingin menyampaikan kebahagiaan subyeknya yang bisa zen dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam keseharian. “Saya suka foto-fotomu, ini sangat indah. Namun saya sulit memadukan pendekatan yang berbeda dalam satu foto cerita,” ungkap Jenny. Menurutnya, idealnya satu foto cerita menggunakan satu pendekatan misal konseptual, sementara Abdan memadukan pula dokumenter. Yoppy Pieter, mentor Abdan pun setuju dengan final editing dari Jenny, “Saya sepakat ini jadi lebih mudah dipahami,”ungkapnya.

Peserta terakhir, Kristi Dwi membawa sequence foto dengan pendekatan dokumenter. Kristi menjelaskan cerita tentang perjuangan perempuan nelayan dengan singkat dan jelas, dengan penjelasan itu, Jenny dengan mudah mengerti dan memilih foto yang cocok. “Banyak foto yang bagus tapi sayang ada satu foto yang tidak fokus padahal dari segi metafor ini bagus sekali. Seorang perempuan nelayan yang tidur dengan baju daster dan siluet tembok bunga,” katanya.

Tak terasa empat jam telah berlalu. Jenny menyampaikan terima kasih kepada kelima peserta karena telah menghadirkan foto cerita yang menarik, “Harus diingat editing foto ini sangat subyektif, jika kalian ada keberatan bisa hubungi saya kapan saja dan sampaikan argumenmu,” pungkasnya.


Photo Editing IV: Refleksi Peserta Jelang Penghujung Kelas

Setelah melewati tiga kelas editing sebelumnya, akhirnya para peserta masuk pada tahap Photo Editing IV atau yang terakhir. Bersama masing-masing mentor, para peserta semakin jeli memilah foto, memutuskan untuk menguatkan atau bahkan mengubah angle peliputan karena situasi dan kondisi di lapangan, dan menceritakan pengalaman reflektif lainnya.

Adwit akhirnya menyerah, ia sudah mencoba berbagai cara untuk menggali cerita dokter hewan di wilayah konservasi anoa. Namun upayanya tak kunjung berbuah manis, “Saya akhirnya fokus pada upaya konservasi anoa karena sulit sekali mendekati narasumber ini. Setelah melakukan pendekatan beberapa kali tapi rasanya ia masih tidak nyaman difoto,” ungkapnya.

Rosa Panggabean, mentor Adwit pun setuju dengan pilihannya. Menimbang waktu yang semakin mepet, mengubah angle menjadi pilihan yang tepat. Cerita menarik lainnya datang dari Kristi Dwi Utami, satu-satunya perempuan dalam angkatan PPG ke-12 ini rela menginap di rumah sang narasumber demi mendapatkan foto aktivitas Ibu Sinarti, perempuan nelayan saat menjaring ikan-ikan di laut. “Kalau lebih dari sehari muka ibu ini lama-lama makin mirip sama kamu,” seloroh Rosa saat melihat jepretan Kristi.

Edy Purnomo mengamati proses bertumbuh para peserta sejak awal. Menurutnya, mereka masih banyak yang kesulitan menentukan pendekatan visual apa yang dipilih, “Ibarat musik pop dan jazz tidak bisa dalam satu lagu begitu juga dengan dokumenter dan pendekatan lainnya,” ujarnya.

Pernyataan menarik lainnya datang dari Muhammad Tohir, selama proses pelatihan ini, pewarta foto asal Palembang ini merasa tidak seperti seorang pewarta foto karena beberapa kali mengarahkan subyek sebelum difoto, “Kalau saya biasa meliput harian yang menangkap momen, ini pertama kali saya menyeting narasumber rasanya tidak seperti jurnalis,” ungkapnya.

Rosa merespons Tohir dengan pengertian, menyeting subyek yang dimaksud adalah set up yang diperbolehkan dalam standar World Press Photo (WPP), “Di Indonesia pun Praktik ini tidak dilarang menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setting boleh dengan syarat tetap berpijak pada fakta dan menyantumkan keterangan pada deskripsi, jangan sampai salah kaprah mengartikan ini,” sahutnya.

Edy menambahkan, apa yang para peserta lakukan selama proses pelatihan ini adalah kerja-kerja jurnalistik, hanya bahasa yang dipakai mungkin asing bagi pewarta foto yang baru pertama kali melakukan peliputan secara mendalam.

Di akhir sesi, Abriansyah Liberto alumni cum observer pada PPG tahun ini mengingatkan para peserta agar membuat satu paragraf yang menjelaskan inti dari peliputan premis ini berguna tidak melenceng dari tujuan awal.


Developing Photo Story IV: Mengasah Logika dan Imaji Lewat Riset

 

Sebelum kelas dimulai, Sasa Krlaj sudah membaca satu persatu perkembangan riset para peserta. Namun sayangnya, ia masih belum mampu dikejutkan dengan temuan mereka. Sasa tak menyerah, ia terus mendorong peserta untuk keluar dari kotak pola pikir yang klise.

Sasa langsung membuka kelas dengan melempar pertanyaan pada Muhammad Tohir. Ia merasa perlu menguji seberapa dalam pengetahuan Tohir akan penyandang down syndrome. Mentor asal Kroasia itu masih menangkap bias dalam memandang disabilitas, Tohir, menurut Sasa, masih menggunakan lensa orang non disabilitas untuk memotret orang disabilitas. “Riset yang mendalam harusnya membuat kamu menggunakan kaca mata mereka dalam memandang. Mintalah mereka menujukan kemampuan istimewa mereka, bukan sebaliknya,” jelas Sasa.

Pertanyaan senada juga ia lontarkan pada Muhammad Ihsan, Sasa menguji seberapa mumpuni ia memahami bipolar. Menurutnya, ada satu hal yang terlewat saat psikolog dan dokter jiwa mendiagnosis penyandang bipolar: mereka berfokus pada pasien semata tanpa menarik relasi antara keluarga, “Bisa jadi bipolar bukan produk tunggal tapi turun temurun dari generasi sebelumnya,” tebaknya.

Dari pantikan Sasa, ia ingin agar Ihsan tidak terjebak akan belenggu satu sudut pandang saja. Selain mengasah logika, pemikiran yang senantiasa terbuka pada segala kemungkinan juga membuka ruang imajinasi yang tak terbatas. Ia mengajak Kristi Dwi Utami berkhayal, mungkinkah ikan-ikan yang ditangkap para perempuan nelayan mengabulkan 3 permintaan mereka? Perempuan asal Semarang itu tak menyangka, adegan dalam dongeng itu ternyata masuk akal untuk dielaboraiskan dalam narasi ceritanya. “Ikan-ikan ajaib yang ditangkap perempuan nelayan itu bisa mewujudkan 3 permintaan mereka! Pertama, ikan itu membuat keluarga mereka mendapat penghasilan, mengenyangkan perut keluarga mereka yang lapar dan permintaan lainnya yang mungkin tak disebutkan mereka,” sambung Sasa.

Alih-alih memusingkan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada perempuan sebagai pencari nafkah, dengan pola permainan, Sasa justru mengajak Kristi menelusuri kronologis dari mana asal ikan yang ia makan: dari meja makan – pasar – nelayan – laut.

Dus, Adwit datang dengan membawa kabar gembira, ia bercerita, peliputannya di rimba Celebes menginspirasinya untuk membuat sebuah buku pengetahuan konservasi Anoa untuk anak-anak. Sasa menyambut ide itu sebagai tawaran solusi atas isu konservasi Anoa yang Adwit angkat. “Jangan lupa menyertakan tokoh antagonis dalam cerita. Hal itu bisa memantik imajinasi anak-anak untuk tahu mengapa konservasi hewan langka diperlukan.” Sarannya.

Di luar kelas, Sasa terbuka untuk diajak berdiskusi atau sekadar memberi referensi bacaan untuk memperkaya wawasan para peserta.

 


Writing II: Berani Menulis dan Mengedit Tulisan Sendiri

Setelah mantap dibekali dengan banyak wawasan teks dalam fotografi beberapa pekan silam, di sesi ini, Tri Joko Her Riadi mengajak para peserta mengedit langsung tulisan yang sudah mereka kirim sebelumnya sebagai pekerjaan rumah.

Sebelum mengulas tulisan pesert astau per satu, Joko membuat ringkasan apa yang ia tangkap dari mayoritas tulisan peserta, “Teman-teman harus bisa peka apakah narasi kita sudah jadi cerita utuh atau masih sekadar tumpukan paragraf? Masih banyak pula yang belum mengeksplor gambaran subyek jadinya ia ditampilkan pas-pasan betul,” ungkapnya.

Joko kembali membuka presentasinya beberapa pekan silam, formula 5W+1H tidak hanya harus dikuasai secara harfiah tapi juga dikembangkan dengan eksplorasi, “Misalnya Who itu tidak hanya siapa subyek kita, berapa umurnya, tapi coba melihat ia sebagai manusia yang punya riwayat masa kecil atau masa remaja. Cerita kita bisa lebih kaya,” sambungnya.

Ia lantas mencontohkan tulisan Kristi Dwi Utami, menurutnya, pewarta Harian Kompas itu menulis dengan sangat baik riwayat seorang ibu nelayan bahkan mampu menggugah empatinya sebagai pembaca, “Perempuan yang sejak usia 20 tahun itu bekerja sebagai buruh pengupas bawang dan buruh bangunan. Kalimat itu lentur sekali dan memberi gambaran jelas bahwa sebelum jadi nelayan, ibu ini sudah menjajal banyak profesi sebelumnya. Di situlah empati pembaca terbangun,” terangnya.

Dari kata-kata yang luwes mengalir, Joko beranjak ke tulisan Adwit Pramono yang disisipi banyak data. Menurutnya, hal itu tepat karena isu yang Adwit angkat terbilang keras yaitu konservasi Anoa, “Tapi, seharusnya kamu menghindari kalimat diprediksi telah ada sejak ribuan tahun lalu. Untuk isu sekeras itu, seharusnya pakai angka yang konkret atau jika tidak ada bisa kutip mitos atau dongeng warga setempat,” sarannya.

Namun ia juga mengingatkan, penggunaan angka terus menerus juga kurang bagus. Karena selain terkesan kaku, secara kenyamanan membaca, melihat gabungan angka dan huruf tidaklah menyenangkan.

Adwit lantai merespons Joko dengan sebuah keluhan yang ia rasakan berulang kali saat meliput isu ini, “Aku sudah ceritakan Mas, subyekku sangat sulit digali informasi pribadinya, jadi mau tidak mau aku menggunakan data terus menerus,” jelasnya. Joko pun menimpali, justru jika masalahnya ada pada subyek yang kurang interaktif, penggunaan data keras akan membuat semakin kaku.

Ia lantas mengapresiasi upaya Adwit yang sudah melakukan pendekatan intens dengan narasumber. Ada satu kalimat penting yang justru bisa menguak kepasifan subyeknya, “Pada kalimat selanjutnya kamu justru bisa menggali saat subyek berhasil melakukan operasi Anoa secara caesar. Pasti masih banyak saksi matanya kan? Kamu bisa tanya rekan kerjanya,” saran Joko.

Dari kedua contoh baik, Joko lalu memberikan contoh tulisan peserta yang hampir baik. “Tulisan Abdan Syakura dibuka dengan hal yang definisi Slow Living. Ini terlalu luas, pembaca berpotensi kehilangan selera sejak awal,” ungkapnya.

Serupa dengan Adwit, ia malah menemukan kalimat yang lebih tepat dijadikan paragraf awal justru pada kalimat setelahnya, “Tekadnya semakin bulat ketika ia ditinggal oleh orang yang tersayang untuk selamanya. Ini justru kuat sekali! Menyentuh perasaan pembaca sejak awal,” sambungnya.

Dari pembacaan Joko pada tulisan para peserta, ia merangkum beberapa poin yang mesti dieksplorasi lagi, pertama, pentingnya penggunaan kutipan langsung narasumber yang memberi nyawa pada tulisan juga membuat pembaca merasa lebih dekat serta yang kedua sekaligus terakhir, “Jangan lupa eksplorasi 5W+1H itu akan sangat berguna,” tutupnya.


Pengantar Gender: Adil Sejak dalam Pikiran


Tahun ini PermataBank memilih tema Inspiration untuk mendukung semengat pengarusutamaan perempuan Indonesia, hal ini selaras dengan semangat deklarasi G-20 di Bali. Agar peserta semakin inklusif dalam mengimplementasikan tema ini, PPG XII menghadirkan satu kelas tambahan bertajuk “Pengantar Gender”.

Kelas yang diampu oleh Widya Hasian Situmeang dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) berlangsung interaktif. Selama 2,5 jam, para peserta diajak untuk merefleksikan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam keseharian. Sebagai stimulus awal, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyodorkan tiga foto yang menampilkan gambar perempuan dan laki-laki bergaya cross dressing, seorang bayi hingga dapur rumah yang berantakan. Sekilas, ketiga foto itu tak saling terkait namun sebenarnya berkelindan dan mampu mengurai seluk beluk diskriminasi terhadap perempuan.

Kristi Dwi Utami merespons foto pertama, menurutnya, laki-laki yang memakai rok dan perempuan ballerina yang memegang skateboard adalah pemandangan yang jarang ia temu dalam keseharian. “Padahal tidak semua perempuan itu pasti feminin dan laki-laki itu pasti maskulin kan?” tanya Widya. Foto kedua menampilkan bayi yang sedang mengepalkan tangan, dari 4 peserta ada 3 yang menebak jenis kelamin bayi itu laki-laki, sementara Adwit Pramono menjawab tidak tahu. “Nah, di sinilah yang sering salah kaprah. Seks (biologis) sering disamakan dengan gender (peran). Padahal keduanya sangat berbeda,” sambung Widya.

Dalam Kajian Gender, seks adalah seperangkat alat reproduksi yang terberi sedari lahir sementara gender adalah peran dan identitas yang cair atau dapat dipilih sendiri oleh manusia. Widya mencontohkan, misal ia lahir sebagai perempuan dengan vagina, rahim, dan payudara namun secara gender ia merasa non biner dan menyukai sesama perempuan. “Ada juga orientasi atau ketertarikan pada gender tertentu dan ekspresi atau penampakan gender seseorang. Gender, ekspresi, dan orientasi bisa kita konstruksikan, hanya seks biologis yang sejauh ini terberi dari Tuhan,” jelasnya.

Di dunia yang patriarki ini pengaburan jenis kelamin dan gender berlangsung sistematis. Sejak kecil, kita dipaksa menaati segala norma yang menindas mereka yang tidak sesuai dengan konstruksi sosial dari marjinalisasi (disingkirkan), subordinasi (warga kelas dua), steotipe (dilabeli), kekerasan (verbal/non verbal) hingga beban ganda (utamanya pada perempuan). “Dalam konteks perempuan petani misalnya, kalau ia gagal panen ia tak bisa mengakses bantuan pemerintah karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama,” sambungnya.

Ia lalu menunjukan sebuah foto karya Paul Connel yang menunjukan atlet perempuan yang diganggu beberapa laki-laki sehingga gagal mencapai garis finish. Dari contoh itu Widya memberi pesan bahwa fotografi dapat menjadi medium untuk mengangkat kisah perempuan inspiratif yang mampu mengakhiri stigma dan mewujudkan perubahan sosial.


Photo Editing III: Jeli Memilah Foto, Peka Melihat Sekitar

 

Sejak kelas dimulai pada Maret lalu, tak terasa para peserta hampir memasuki sesi pamungkas dalam PPG XII: Inspiration. Kelas ini berlangsung makin intensif dan ketat dengan seleksi foto langsung dari para mentor.

Deretan pertanyaan terus terlontar dari mulut para mentor saat membuka satu persatu dari puluhan foto pilihan peserta. Para mentor ingin menggali sejauh mana wawasan dan riset mereka terhadap subyek yang diceritakan. Bagus Kurniawan menceritakan pengalamannya saat meliput sengketa lahan di kawasan gambut, Yoppy Pieter menguji pengetahuan Abdan dari peta kawasan hingga izin lahan. Pewarta foto asal Prabumulih ini kemudian merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, “Di atas 3 meter lahan gambut gak boleh dialih fungsikan dan tidak bisa dicaplok perusahaan,” ungkapnya.

Dari amatan Bagus di lapangan, ia menceritakan ada sarang burung wallet dalam sebuah gedung di tepi gambut. Namun ceritanya tak sesuai dengan foto yang ditampilkan, “Kenapa tidak ada foto burung waletnya? Urus perizinannya pasti bisa masuk untuk motret. Cari cara bagaimana melobi warga setempat,” ujar Yoppy. Sejak awal kelas, ia selalu menekankan pentingnya menunjukan daya juang, jarak dan perizinan yang sulit menjadi bagian harga mahal yang harus dibayar pewarta foto untuk mendapatkan kualitas foto terbaik.

Selain mendapat kualitas foto yang prima, observasi di lapangan juga membuat pewarta foto menemukan informasi menarik yang tak dapat ditemukan dalam literatur atau internet. Rizki Prabu menceritakan pengalamannya saat meliput Tugu Tubang di Muara Enim, Palembang, “Ternyata di sana warga mengepul sayuran sebagai penghasilan cadangan saat penjualan kopi turun. Di sana juga ada mata air yang tidak boleh dibuka karena akan kering dan merusak perairan sawah,” ungkapnya.

Lain lagi dengan Bagus Khoirunas yang berkutat dengan perjuangan panjang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang menuntut disahkannya RUUPRT. Dalam pemaparannya, pewarta foto LKBN ANTARA Banten ini menceritakan nasib seorang PRT yang mengalami kebutaan. Di tengah kondisi sang ibu pascakehilangan penglihatan, aktivitasnya menjadi terbatas di rumah.
Hal ini membuat Bagus cukup kebingungan memotret kegiatannya, “Itu-itu aja sih kegiatannya,” katanya. Namun alih-alih gitu-gitu aja, Yoppy justru menangkap peristiwa itu sebagai celah yang dapat mengasah empati kita terhadap PRT dan pekerja perempuan. “Kamu tanggalkan male gaze atau cara pikir laki-laki dan pakai cara pandang perempuan. Aktivitas keseharian yang kamu anggap biasa-biasa saja itu justru hal yang kompleks setelah dia tidak bisa melihat lagi,” saran Yoppy.

Menyambung Yoppy, Edy Purnomo menambahkan, soal perjuangan tiap orang selalu punya caranya masing-masing dan hal tersebut tidak melulu ditunjukan dengan hal besar seperti berjuang dalam serikat pekerja. “Hal kecil seperti mengajarkan anak hidup disiplin di tengah usahanya membagi waktu bekerja di tanah rantau, misalnya seringkali dianggap remeh dan bukan bagian dari perjuangan,” pungkasnya.


Writing I: Sekali Lagi Bercerita Lewat Teks


Selain memotret, pewarta foto juga bertugas untuk menuliskan kalimat singkat sebagai deskripsi foto. Karena itu, kemampuan menulis menjadi bagian dari skill set yang tak terpisahkan dalam profesi ini. Tri Joko Her Riadi dari Bandung Bergerak mengajak para peserta untuk sekali lagi menanggalkan kamera sejenak dan meraih pena.

Jajaka Parahyangan ini membuka kelas dengan satu keyakinan, kita semua tanpa terkecuali pada dasarnya punya kemampuan untuk bercerita. Ia mengajak para peserta mengajukan tiga kata benda dan kerja, singkatnya, “Mandi – Tanah – Penelitian” menjadi kata yang disepakati. Dari tiga potong kata yang tak saling berhubungan itu, ia minta semua peserta memasukannya dalam sebuah paragraf. “Setelah melakukan penelitian terkait sengketa tanah di lokasi yang gersang dan gerah, aku pun memutuskan pulang dan mandi,” sahut Tohir diikuti dengan sambungan kalimat berikutnya dari peserta lainnya.

Setelah asyik bermain kata, Joko – sapaan akrabnya, mengungkapkan, narasi atau teks seperti yang para peserta ujar sebelumnya adalah bagian integral dari sebuah cerita foto berikut foto dan tata letaknya. Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan utuh yang saling melengkapi. “Tapi jangan sampai teks menenggelamkan foto. Kita menulis teks dengan kesadaran penuh untuk membantu audiens mengerti cerita foto,” ungkapnya.

Meski beban menulis pewarta foto terlihat ringan alias tak serumit jurnalis tulis, namun harus diakui “buntu” saat menulis paragraf pertama jua tak terhindarkan. Untuk itu, ia menawarkan Freytag’s pyramid yang terdiri dari formula sederhana: pembuka (memikat perhatian), isi (rincian/proses), dan penutup (kesan agar ingat selamanya). “Ini bukan tahap yang harus dipatuhi, bisa saja kita justru punya kalimat penutup dulu baru terpancing untuk membuat kalimat pembuka,” sambungnya.
Ia kemudian mencontohkan beberapa straight news, feature hingga kutipan novel sebagai contoh. Dari semua itu ia menyarikan satu hal penting: yang sederhana yang terkuat. Tak perlu memakai kata-kata canggih agar terkesan hebat apalagi yang bertendensi menasehati atau menggurui, imbuhnya.

Setelah pemaparan materi, Joko mengajak peserta untuk mengoreksi kalimat yang sudah dikumpulkan sebelum kelas. Dari tulisan Abdan Syakura berjudul Pelita dalam Gelap, Joko memenggal beberapa kata yang berulang di awal dan akhir kalimat. Ekonomi kata menjadi penting dalam penulisan jurnalistik yang dibatasi karakter huruf.
Selain kesederhanaan, ia juga menekankan pentingnya menguasai terlebih dulu 5W+1H dalam liputan harian baru kemudian meloncat ke level ficer atau eksperimental. “Selain merekam, bisa juga mencatat dengan pena karena sudah pasti kita akan lupa detail dari pernyataan narasumber lima menit, sepuluh menit, apalagi dua hari kemudian,” ujarnya mengakhiri kelas.