Visual Literacy: Menalar Visual Sebelum Menilai

 

Fotografi tak hanya membutuhkan mata untuk memaknai hasil karya namun juga melibatkan seperangkat indera dan nalar agar mampu berpikir secara visual. Selama 2,5 jam, Edy Purnomo mengupas tuntas materi Literasi Visual.

Sebuah gambar yang menyerupai tanduk hewan menjadi stimulus pertama yang diberikan Edy untuk memantik imaji peserta. Saat ditanya, gambar apakah ini? Mereka menjawab dengan beragam asumsi, dari kepala banteng, gantungan pakaian, rusa, sampai simbol sebuah partai. Edy sepakat dengan Adwit, keragaman jawaban ini muncul karena masing-masing individu memiliki paparan visual yang berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing. “Dari semua asumsi, ternyata gambar ini adalah bayangan stang sepeda,” terang Edy.

Literasi visual terbagi dalam dua bagian, pertama, Editorial Level yang bersifat informatif biasanya untuk keperluan dokter forensik dan yang kedua, Visual Level atau foto metaforik yang dapat mengaitkan dengan memori personal. Istilah literasi visual lahir pada 1969 di tangan John Debes, seorang pendiri International Visual Literacy Association. Dalam kredonya, John Debes mengungkapkan, literasi visual adalah kemampuan manusia untuk dapat merasakan sensori penglihatan sekaligus mengintergrasikannya dengan pengalaman indrawi. Kemampuan ini membuat kita lebih peka menafsir ragam simbol disekitar, hasilnya, kita mampu memahami dan menikmati karya visual.Foto berwarna hitam legam ditampilan Edy sebagai stimulus kedua. Tanpa elemen visual seperti garis, bentuk, warna, ruang, dan tekstur, hampir semua peserta bersepakat mereka hanya menangkap rasa takut dan khawatir. Hal ini ternyata sesuai dengan argument Kasimir Malevich dalam Teori Black Square (1915), “Bukan kotak kosong yangku perhatikan melainkan perasaan personalku,”

Di antara banyak teori, Gestalt karya Kurt Koffa dkk ini paling beken dalam dunia visual. Teori ini bekerja dengan empat elemen: kedekatan, kesamaan, kesinambungan, dan penutup. Teori ini menangkap watak psikologis manusia yang condong asosiatif dalam menalar visual. Meski alamiah, namun Edy meningatkan, cara itu seringkali mengecoh kita pada gabungan gambar yang tak jarang hoax. Karena itu, ia menekankan pentingnya tahap look, see, dan descripe sebelum meloncat pada interpretation.
Elaborasi berbagai teori dalam literasi visual agaknya mampu menjawab pertanyaan beberapa peserta di kelas sebelumnya, “Bagaimana melukiskan perasaan dengan cahaya?”

“Kepekaan itu muncul dari latihan tapi tak hanya soal visual, tapi kita juga perlu membaca novel dan mendengarkan musik misalnya. Medium lainnya dapat membantu memperkaya imajinasi dan kosakata visual kita,” pungkas Edy.


Photo Editing II: Jangan Ragu Eksplorasi Subyek Cerita

Sepulang dari lokasi peliputan, para peserta menyetorkan hasil jepretan mereka kepada mentor masing-masing. Pada sesi ini, peserta dibagi ke dalam breakout room agar fokus mengulas bersama mentor mereka.

Yoppy bersicepat membuka folder Abdan Syakura. Sekali lihat, ia langsung bisa menangkap bagaimana cara kerja pewarta foto Republika Cimahi ini bekerja. “Kamu merasa gak kamu malah kayak fotografer pribadi subyek kamu?” tanya Yoppy. Hal itu sangat terasa karena Abdan terlihat hanya mengikuti aktivitas keseharian subyeknya dari bekerja di rumah, masak sampai berkebun. Yoppy lalu merujuk sebuah situs foto yang menampilkan mood yang kurang lebih bisa menjadi inspirasi tema Slow Living yang Abdan usung. “Coba pakai tone yang seperti ini jangan buram-buram seperti yang kamu ambil,” sambungnya.

Satu hal lagi, imbuh Yoppy. Agar tak terkesan menjadi fotografer pribadi subyek, terapkanlah konsep kolaborasi. Jadi, subyek kita benar-benar kita libatkan dalam proyek ini, “Rasakan apa yang dia rasakan, jadi pendengar yang baik. Bawa masuk dia ke dalam cerita kamu,” pungkasnya.

Dari Abdan ia lantas beranjak ke Bagus Khoirunas dengan isu buruh migran. Yoppy membuka dua folder yang kontras, satu BW dan satu lagi penuh warna. Dari kedua itu ia lantas membandingkan juga menilai intensi Bagus, “Untuk cerita migran yang sedih tidak melulu cocok diambil dengan BW, berwarna pun bisa dipakai dan dramatis,” katanya.
Yoppy lalu mencontohkan satu foto yang Bagus jepret, seorang ibu buruh migran yang duduk menatap kamera dengan mata nanar. Pada latar subyek foto, ada selembar tirai biru yang melambai tertiup angin. Dari segi pencahayaan yang bagus, maka warna pun justru bisa kasih kesan yang mendalam, tambah Yoppy.

Foto penuh warna menunjukan banyak aksen yang mampu menjelaskan latar rumah subyek dengan jelas, dari Kasur tipis yang mulai menghitam, tembok yang bernoda hingga boneka yang kusam. Hal itu, masih menurut Yoppy, justru bisa menguatkan mood kesedihan keluarga yang menanti subyek foto yang tak pulang-pulang selama 9 tahun terakhir.

Sambil membuka foto Endra Prakoso, Yoppy mengingatkan kepada semua peserta, jangan malas untuk mengambil berbagai angle foto. Menurutnya, semakin banyak opsi maka akan semakin memudahkan editor kelak, “Coba kamu ambil satu yang kainnya selutut, sedengkul, dan paha. Kalau kamu bekerja dengan editor mereka pasti akan tanya, kamu punya gak foto yang A B C. Jadi lebih efisien kan kalau kamu sudah menyiapkan stok sebelumnya?” pungkas Yoppy diamini peserta.


Developing Photo Story III: Riset, Melatih Diri Berpikir Kritis dan Kreatif

 

 

Seroang fotografer tak hanya wajib mengasah kemampuan teknis fotografinya tapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis agar  foto cerita yang dibawakan tidak klise. Selama hampir 3 jam, Sasa Klarj mentor PPG asal Kroasia menantang peserta untuk berani bertanya, tak peduli seaneh apapun pertanyaannya.

Sebelum masuk pada pemaparan teori, secara singkat Sasa mengulas beberapa foto piihan dan mind map para peserta. Dimulai dari Muhammad Tohir yang mengangkat  isu anak disabilitas di sekolah inklusi, menurut Sasa, foto yang dihadirkan Tohir – seorang anak termangu sendiri dengan warna hitam putih muram justru berpotensi melanggengkan stigma anak berkebutuhan khusus, “Inklusi itu seharusnya melibatkan semua orang, semua orang merasa terlibat. Dalam foto ini kamu justru seperti meliyankan mereka dengan yang tidak disabilitas,” jelas Sasa.

Ia kemudian beralih ke foto Muhammad Ihsan yang bercerita tentang penyintas bipolar. Sebelum menilai foto, Sasa dengan cepat menanyakan apa itu bipolar? Sejauh mana riset yang kamu lakukan pada isu ini? Ia meminta Tohir untuk memperkaya referensi bacaan, tak hanya dari Ilmu Psikologi, tapi juga lintas ilmu lainnya agar pemahamannya semakin kritis. Sasa lalu melompat ke foto Muhammad Bagus, ia menilai mind map yang dibuat Bagus terlalu dangkal untuk mengangkat isu pekerja imigran. Ia kemudian mereferensikan Bagus untuk membaca tema serupa karya Au Loim Fain (Romy Perbawa) dan Hopes and Dreams (Okky Ardya).

Penilaian Sasa terus beranjak dari satu peserta ke peserta lainnya. Secara keseluruhan, Sasa menangkap kurangnya riset dan daya kritis terhadap isu yang akan diangkat. Tanpa riset mendalam, semua isu yang dibawakan terkesan menjustifikasi subyek cerita. “Kita tidak lihat apa yang tidak kita tahu, untuk itulah kita perlu riset dan eksplorasi mendalam,” sambungnya.

Untuk menghasilkan foto yang tak klise dan banal, Sasa menawarkan lima cara berpikir kritis dan kreatif: (1). Descriptive level, (2). Representative level, (3). Intimate level, (4). Implication level, dan (5). Purposes level.

Menurut Sasa, apa yang para peserta hasilkan sampai saat ini baru menyentuh level deskriptif. Untuk itu, sebelum datang ke lokasi penting bagi mereka untuk mengasah terlebih dulu pisau analisis dengan riset dan mind map yang tajam. Merespons Sasa, Himawan sepakat berpikir kritis pada segala hal tentu tidak nyaman, tapi di baliknya justru muncul kreativitas yang tanpa disangka dapat menjadi solusi atas isu yang kita angkat.

Ia menekankan, lima level tadi bukan resep yang harus ditaati tiap tahapnya, tapi satu tawaran berpikir yang akan berguna sebagai bekal apapun isu peliputannya, “Fotografi akan terus berubah seiring zaman, tapi tawaran ini semoga akan terus relevan di masa mendatang,” pungkasnya.


Photo Editing I: Berpikir Inklusif Sebelum Memotret

 

 

Setelah menyepakati topik peliputan di beberapa kelas sebelumnya, kini 10 peserta PPG XII: Inspiration memasuki kelas Photo Editing I bersama Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Dalam sesi yang berlangsung selama tiga jam penuh, para mentor mengamati aspek konten, konteks, dan teknis foto mereka di lapangan.

Satu persatu peserta dipanggil untuk menjelaskan hasil foto dan amatannya di lapangan. Sesuai urutan pengiriman foto, Kristi Dwi Utami menjadi peserta pertama. Setiap peserta diwajibkan mengumpulkan maksimal 60 foto hingga akhir pelatihan namun Kristi sengaja mengirim 85 foto agar punya banyak pilihan jika fotonya kelak dinilai kurang layak oleh mentor.
Menurut Rosa, Kristi masih harus banyak belajar dari segi komposisi, warna, dan hal teknis lainnya, “Kita nanti atur waktu untuk kelas lepasan khusus untuk belajar tentang ini,” ujar Rosa.

Selain menilai teknis, Rosa juga mengulik pemahaman peserta tentang hal mendasar dalam fotografi: Menyebut narasumber sebagai subyek bukan obyek. “Tapi subyek di sini tidak terbatas pada manusia tapi bisa juga hewan, tumbuhan atau alam dan lainnya,” sambungnya. Menurut Rosa, inklusivitas menjadi pondasi penting dalam kerja-kerja jurnalistik karenanya, pewarta foto harus paham betul agar tidak mengobyektivikasi narasumber yang diliput. Hal ini serupa pula dengan etika dasar sebelum memotret, tidak boleh melakukannya tanpa seizin subyek yang bersangkutan.

Muhammad Tohir, peserta yang mengangkat isu anak-anak penyandang disablitias di sekolah inklusi menampilkan keseluruhan fotonya yang berkelir hitam putih, “Saya ingin fokus ke cerita mereka bukan ke warna-warna yang ada di sekitar,” ungkapnya. Tapi alih-alih fokus pada cerita, menurut Rosa, hitam putih malah membuat stigma penyandang disabilitas penuh kesedihan. Padahal menurut amatan Tohir, anak-anak terlihat ceria dan semangat belajar seperti di sekolah pada umumnya, “Kamu pernah sedih kan? Tapi tidak mungkin bilang, sedih saya seberat 8 ton. Karena sedih itu perasaan dan tidak bisa diukur, kamu harus mengeksplorasi cara untuk bisa menyampaikan perasaan,” ungkap Rosa.

Sementara Adwit Pramono yang mengangkat isu konservasi Anoa di Manado mengaku kesulitan untuk mengambil gambar Binatang langka tersebut. Ada jarak maksimal yang harus ia taati, “Saya tidak boleh masuk ke kendang, karena itu saya pakai lensa tele,” ujarnya. Siasat Adwit dinilai cukup baik oleh Rosa, namun ia menyarankan agar mencari gestur komposisi warna agar tidak terlihat terlalu maskulin.


Developing Photo Story II: Merunut Gagasan Jadi Sistematis dengan Peta Pemikiran

 

 

 

 

Pada kelas sebelumnya, kesepuluh peserta telah memaparkan rancangan awal proposal kepada para mentor. Hari ini, Yoppy Pieter membawakan materi tentang bagaimana merancang mind map atau peta pemikiran yang akan membantu mereka mengembangkan gagasan secara sistematis.

Peta pemikiran adalah metode sederhana yang terdiri dari daftar pertanyaan yang akan menuntun langkah fotografer bertemu kepada beragam narasumber dan lokasi peliputan hingga menemukan pendekatan visual yang tepat, “Buat fotografer yang belum terbiasa metode ini bisa sangat membantu tapi bagi yang sudah terbiasa seperti saya, mind map ini sudah autopilot di kepala,” kata Yoppy.

Sebelum melompat ke pembahasan utama, peraih Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam 2015 ini membuka kelas dengan mengutip gagasan Kenneth Kobre dalam buku Photojournalism: The Professionals Approach. Dalam bukunya, Kenneth menawarkan beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab sebelum memulai peliputan, (1). Ada ide dan tema yang kuat untuk diceritakan, (2). Mengapa kamu orang yang tepat untuk mengerjakan tema ini? (3). Apa relevansi proyekmu dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat?

Muhammad Tohir merespons pemaparan Yoppy. Ia yang mengangkat isu disabilitas merasa relevan karena berangkat dari pengalaman dibesarkan oleh orang tua yang menyandang disabilitas. Menurut Yoppy, alasan Tohir sangat kuat dan meyakinkan untuk membawakan isu tersebut, “Pertanyaan seperti ini pasti akan kalian temukan jika suatu saat melamar grant. Lembaga donor pasti akan mengulik apakah kamu benar peduli pada isu itu?” sambungnya.

Masih menurut Yoppy, kepedulian kita pada isu sangat penting untuk menjaga kita dari eksotisme dan obyektivikasi pada subyek yang kita wartakan. Selain mematuhi konten dan konteks, ia tak lupa menyertakan satu aspek lagi yang mutlak tak bisa ditawar: kemampuan teknis fotografi. “Jika ada anggapan foto jurnalistik itu tidak memerlukan kemampuan teknis fotografi yang mumpuni, itu salah besar. Kekuatan storytelling terdiri dari perpaduan konten, konteks, dan teknis,” tegasnya.
Dus, ia beranjak pada peta pemikiran, ada 3 lapis yang perlu diperhatikan fotografer: (1). Cerita Utama (fotografer sudah menentukan subyek cerita), (2). Mengapa? (fotografer diajak untuk mempertanyakan apa pentingnya mengangkat isu atau pemilihan subyek?), dan yang pamungkas, (3). Pertanyaan (sederet pertanyaan kritis yang harus dijawab dengan riset mendalam). Tiga pertanyaan ini, imbuh Yoppy mampu membuat kita terbebas dari kebingungan, “Motret apa lagi ya setelah ini?”.

Sebagai simulasi, sepuluh peserta dibagi ke dalam dua kelompok untuk membuat peta pemikiran. Dengan tema perempuan karir yang memiliki anak, mereka belajar untuk mendedah apa saja yang perlu digali. “Kalau bikin pertanyaan jangan normatif, karena hasilnya foto kalian pasti juga normatif. Dicatat ya!” tutupnya.


Photo Story I: Mengenal Cerita di Balik Foto Cerita

 

Dengan antusias Rosa Panggabean dan kesepuluh peserta PPG XII: Inspiration membuka kelas Photo Story I. Selama tiga jam, Rosa menjelaskan dengan detail teknis sejarah foto cerita hingga teknis fotografi yang patut dikuasai para peserta.

Ibarat menonton film atau membaca buku novel, foto cerita memiliki elemen yang kurang lebih serupa: Pembuka – Isi – Penutup. “Kalian ada yang pernah tahu Life Magazine?” tanya mentor yang akrab disapa Ocha ini pada peserta.

Mereka pun menjawab pernah, sekali membuka situs media ikonik itu atau setidaknya pernah selintas dengar. Dari media itulah, pertama kali kita dikenalkan dengan Life Magazine Formula yang berisi elemen-elemen dalam sebuah foto cerita yakni, pembuka/pengantar, potret, interaksi, penanda utama, detail, dan penutup, imbuh Ocha.

Meski sudah dirancang puluhan tahun lalu, tapi ternyata formula ini masih relevan untuk kita gunakan saat menggarap foto cerita. Pada elemen pembuka, Ocha memaparkan contoh foto yang tepat: membawa pembaca ke lokasi cerita atau tempat si subyek utama kita. “Ibarat sebuah film, one upon a time in the village… kita diajak masuk ke dalam ceritanya,” sambungnya. Subyek yang ia maksud ternyata tak melulu manusia, bisa juga hewan, tumbuhan atau bahkan fenomena. Setelah melihat establish shot latar lingkungan subyek, kita diajak melihat subyek itu sendiri bisa dipotret dengan beragam cara begitu juga dengan interaksi, kita bisa memotret subyek dengan subyek lainnya yang sedang berkomunikasi secara langsung atau tidak. Pada poin interaksi, Adwit Pramono kontan bertanya, “Apakah perlu ada momen interaksi fotografer dengan subyek foto? Misalnya saat subyek senyum ke kamera, itu kan bisa ditangkap sebagai keakraban yang terjalin antara narasumber dengan fotografer?” tanyanya. Ocha menjawab, hal itu tidak perlu karena saat subyek tersenyum misalnya, belum tentu juga ia tersenyum pada fotografer, “Bisa saja ya dia memang mau tersenyum kan?” jawabnya.

Pada poin penanda utama ini perlu diperhatikan, kata Ocha. “Kalau ada konferensi pers pameran kolektif kalian di PPG, kan tidak mungkin kita masukan seluruh foto kalian satu persatu di pres rilis. Cukup ada satu atau dua foto utama yang representatif untuk menjelaskan cerita kalian,” sambungnya.

Terakhir adalah penutup. Sebagai penonton setia sinema, ia mencontohkan pada scene akhir film maka pergerakan kamera membawa kita seolah menjauh dari subyek alias menandakan film segera berakhir. “Ya, kurang lebih logiknya sama,” katanya.

Seperti pernyataan Yoppy Pieter di kelas sebelumnya, jangan remehkan aspek teknis fotografi. Di sesi ini, Ocha menyegarkan ingatan peserta akan Entire, Detail, Frame Angle, dan Time (EDFAT) dalam fotografi. “Apakah kalau kita menerapkan EDFAT lantas kita membuat foto cerita?” lempar Ocha.

“Tidak, itu hanya aspek teknis,” sahut Himawan. Ocha sepakat, EDFAT adalah teknis fotografi yang tidak serta merta membuat kita melakukan foto cerita, “Karena foto cerita itu satu kesatuan dengan teks, tema, dan elemen pembuka – isi – penutup. Kalian harus pahami ini,” tegasnya.

Dalam lima tahun terakhir, setidaknya foto cerita mengalami beberapa perkembangan, di antaranya, visual diary, portofolio, naratif, tipologi, dan essay. Semua bentuk itu punya kekhasan masing-masing yang dapat dipilih fotografer sesuai dengan kenyamanan dan kesesuaian pendekatan visual yang dipilih.

Di akhir kelas, tak lupa Ocha dan Yoppy, juga dibantu Edy Purnomo dan Ng Swan Ti menanyakan progress proposal para peserta. Dari sepuluh orang, setidaknya delapan sudah menemukan subyek inspiratif dan dua lainnya sedang dalam proses.


Jumpa Silam dalam Virtual Kick Off PPG XII: Inspiration

Setelah satu bulan selepas tahap seleksi aplikasi, pada Selasa, 14 Maret 2023, 10 peserta terpilih Permata Photojournalist Grant (PPG) angkatan XII resmi diumumkan ke muka publik. Acara pembukaan yang bertajuk Virtual Kick Off PPG XII dipandu oleh Okky Ardya dengan narasumber Richelle Maramis (Division Head Corporate Affairs PermataBank), Ng Swan Ti (Managing Director PannaFoto Institute), dan Muhammad Zaenuddin (Alumni PPG XI) di Permata Learning Center, Jakarta.

Acara yang berlangsung pukul 16.00 WIB ini dibuka oleh Dayan Sadikin, Human Resources Director PermataBank. Dalam sambutannya, ia menyampaikan rasa syukur atas 11 tahun perjalanan PPG yang telah meluluskan 106 alumni dan 70 pendidik fotografi dari 40 media massa.

Tahun ini, PPG mengangkat tema Inspiration yang didedikasikan khusus untuk perempuan Indonesia yang menginspirasi kehidupan masyarakat. “Hal ini sejalan pula dengan semangat PermataBank dan G20 yang mendukung pengarusutamaan dan pemberdayaan perempuan Indonesia,” ungkap Richele Maramis.

 

Masih berformat sama seperti penyelenggaraan 2 tahun sebelumnya, Hope (2020) dan Courage (2021), tahun ini, PPG kembali berlangsung secara daring. Selain untuk memperluas jangkauan geografis peserta dari luar JABODETABEK, format daring memfasilitasi kita mendengar cerita-cerita dari berbagai lokasi di Indonesia.  

Selain jumlah peserta yang meningkat, Ng Swan Ti menceritakan proses seleksi calon peserta semakin ketat dibanding tahun-tahun sebelumnya. “PPG XII menerima 44 aplikasi calon peserta. Tahun ini, kami mengundang Yoppy Pieter (Alumni dan Mentor PPG) dan Agus Susanto (Pewarta foto Harian Kompas) sebagai tim seleksi. Mereka menilai portfolio peserta, ide cerita dan manfaat yang kiranya didapat oleh peserta,” ungkapnya. 

Setelah Virtual Kick Off, 10 peserta terpilih antusias mengikuti kelas pertama bersama para mentor PannaFoto.

Selamat kepada 10 peserta terpilih!


Melihat Dunia Tanpa Diskriminasi Lewat Buku Foto Lisette

Setelah menuntaskan beasiswa Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam pada Juli-Agustus 2022, Hendra Eka (alumni PPG VIII) akhirnya meluncurkan buku foto berjudul Lisette yang diangkat dari proyek fotonya selama di Amsterdam dalam Presentasi dan Diskusi Foto, pada Kamis, 16 Maret di Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta. 

Sebelum masuk ke menu utama, acara dibuka oleh sekapur sirih dari Yolanda Melsert, Head Culture & Communication, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Dalam pemaparannya, ia menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin antara PannaFoto Institute dan alumni/mentor PPG angkatan 2014-2020, “Sebuah kebahagiaan bagi kami telah menjalin kerja sama yang baik selama 6 tahun. Melalui program beasiswa ini, tidak hanya orang Indonesia yang belajar tentang kebudayaan Belanda tapi juga sebaliknya,” ungkapnya. 

Sejak dibuka pada 2014-2020, beasiswa Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam telah memberangkatkan 7 alumni ke Amsterdam, mereka adalah Rosa Panggabean (2014), Yoppy Pieter (2015), Dwi Prasetya (2016), Immanuel Antonius (2017), Agoes Rudianto (2018), Rahmad Azhar Hutomo (2019), dan Hendra Eka (2020). Berbeda dari proses keberangkatan angkatan-angkatan sebelumnya, Hendra Eka terpaksa menunda 2 tahun imbas dari eskalasi Pandemi Covid-19. “Tapi itu justru jadi berkah tersendiri, saya jadi punya waktu lebih banyak untuk meriset lebih dalam lagi,” ujar pewarta foto Jawa Pos ini membuka presentasinya.

Sepanjang karirnya selama 14 tahun sebagai pewarta foto, Hendra Eka mengaku memotret Lisette adalah salah satu pengalaman paling berkesan. “Saya benar-benar ada di lokasi saat mereka berhubungan seksual, saya benar-benar menjalin kedekatan dengan narasumber dan Lisette dan klien-kliennya benar-benar terbuka untuk membantu saya,” sambung Hendra. 

Tidak seperti di Indonesia, profesi seperti Lisette legal di Belanda. Mereka bahkan tergabung dalam serikat pekerja dan dijamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlindungan dari kekerasan. Melalui cerita Lisette, Hendra ingin menyuarakan satu hal: penyandang disabilitas juga punya hasrat seksual seperti manusia pada umumnya. Namun di dunia yang masih ableism ini, kebutuhan mereka kerap dipandang sebelah mata. “Lisette tak hanya menyediakan tubuhnya untuk menggenapi hasrat, tapi juga menjadi kawan baik yang memberikan ruang aman bagi mereka untuk bercerita tanpa diskriminasi,” pungkas SekJen Persatuan Pewarta Foto Indonesia (PFI) ini mengakhiri presentasi.


Developing Photo Story I: Mengulik Cerita Inspiratif Kesepuluh Peserta

 

 

Berselang 2 jam selepas resmi dinyatakan sebagai 10 peserta terpilih PPG XII dalam Virtual Kick Off, 14 Maret lalu, para peserta akhirnya memasuki kelas pertama dengan topik Orientasi PPG dan Developing Photo Story 1. Selain 10 peserta, para mentor, dan tim PannaFoto, para alumni pun turut dihadir dalam kelas daring.

Sebelum para mentor mulai membahas topik, Ng Swan Ti (Managing Director PannaFoto) menyampaikan kurikulum dan peraturan selama mengikuti PPG. Dengan mematuhi segala persyaratan ini, para peserta diharapkan dapat mengikuti seluruh proses belajar dan fokus mengembangkan kemampuan fotografi dengan nalar kritis.

Setelah para peserta memahami aturan teknis kelas, Edy Purnomo (Koordinator Mentor), mengajak para peserta menelaah ulang kata inspirasi, topik PPG tahun ini. “Inspirasi menjadi tema yang sepertinya mudah karena tak hanya subyek yang inspiratif tapi juga penyebab hingga dampaknya pada orang sekitar. Inspirasi tidak harus dengan cerita besar seperti advokasi/demonstrasi tapi juga bisa dengan cara receh seperti bermain,” ungkapnya.

 

Merespons pantikan Edy, peserta umumnya memaknai inspirasi dengan nuansa positif, seperti: keteladanan, mulia, berdampak, dan lainnya. Ada satu pertanyaan menarik dari Adwit Pramono (LKBN Antara, Manado), “Apakah inspirasi dapat dimaknai negatif? Misalnya hal tertentu bisa membuat orang melakukan hal buruk!” tanyanya. Edy menegaskan, inspirasi adalah kata sementara positif/negatif adalah tindakan atau respons dari kata tersebut, “Karya Rosa Panggabean tentang Paduan Suara Dialita menjadi contohnya, bagaimana trauma (negatif) dapat bertransformasi menjadi seni suara (positif),” jelasnya.

Sesi kelas yang berlangsung interaktif ini dilanjutkan dengan pitching proposal bersama para mentor, Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Selama 120 menit, 10 peserta satu persatu memaparkan secara lisan proposal yang sebelumnya diajukan melalui teks saat pendaftaran.

Embrio ide cerita para peserta meliputi beragam isu, dari ekologi, pendidikan, disabilitas, ekonomi hingga Masyarakat Adat. Dalam diskusi para peserta dan mentor, Kristi Dwi Utami (Harian Kompas, Semarang) menyampaikan ketertarikannya meliput perjuangan perempuan nelayan untuk mendapatkan status nelayan pada KTP. “Karena selama ini ditulis sebagai ibu rumah tangga sehingga mereka tidak bisa mengakses bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.

Merespons Kristi dan peserta lainnya, Rossa Panggabean menyampaikan pentingnya riset dalam proyek fotografi. “Kita sebagai fotografer jangan sampai datang ke lokasi tanpa riset yang cukup, lihat dengan jeli sehingga kita tidak hanya tahu tapi paham betul cerita yang akan disampaikan,”

Yoppy Pieter menambahkan, apa pun ide para peserta harus menghindari 3 hal berikut: membuat stigma baru, eksotisme, dan eksploitasi narasumber. “Jangan sampai mencontoh hal-hal yang sudah pernah terjadi,” tegasnya.

Kelas pun akhirnya selesai dengan beberapa ide peserta yang disetujui mentor, sementara yang lainnya diminta mencari ide atau angle peliputan yang berbeda dari yang pernah diliput sebelumnya. “Harus PeDe (Percaya Diri) ya dengan pilihan cerita teman-teman, karena itu akan mensugesti kita untuk merampungkan proyek ini sampai lancar.” pungkas Yoppy menyemangati para peserta. 


Penerima Permata Photojournalist Grant (PPG) XII | INSPIRATION

Congratulations! Kami ucapkan selamat bergabung dalam Permata Photojournalist Grant XII: INSPIRATION kepada 10 peserta terpilih:

Abdan Syakura, Republika — Cimahi
Adwit Pramono, Antara Foto — Manado
Ahmad Rizki Prabu, Kontributor Project Multatuli — Palembang
Bagus Kurniawan, Pewarta Foto Lepas — Prabumulih
Endra Prakoso, Akurat.co — Jakarta
Himawan Listya Nugraha, Harian Bisnis Indonesia — Bogor
Kristi Dwi Utami, Harian Kompas — Semarang
Muhammad Bagus Khoirunas, Antara Foto — Banten
Muhammad Ihsan Mulya Pratama, Jawa Pos Radar Solo — Solo
Muhammad Tohir, GATRA — Palembang

Tahun ini, PPG mengundang Agus Susanto (Pewarta Foto Harian Kompas), dan Yoppy Pieter (Fotografer, Alumni & Mentor PPG) untuk menyaring 44 aplikasi yang masuk.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Rekan-rekan pewarta dan fotografer yang sudah mengirimkan aplikasi, berpartisipasi dan terus mendukung program ini. Semoga kita dapat berjumpa di kesempatan berikutnya.


Presentasi & Diskusi Foto “ERASMUS FELLOWSHIP TO AMSTERDAM 2022

 

 

ID

 

Hendra Eka terpilih sebagai penerima Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam, program khusus untuk alumni Permata Photojournalist Grant 2011-2019. Meski keberangkatan sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi COVID-19, Hendra akhirnya berhasil menuntaskan beasiswa ke Belanda pada Juli-Agustus 2022.

Selama di Belanda, dia mengerjakan proyek foto dokumenter bertajuk “Lisette” yang menceritakan seorang pekerja seks profesional yang melayani penyandang disabilitas. Berbekal riset yang matang dan pengalaman sebagai pewarta foto profesional, Hendra berhasil menjalin kedekatan dan mendapatkan kepercayaan dari Lisette. Foto-foto yang dia ciptakan terasa menyentuh dan tidak berjarak, serta membawa kita menjadi bagian dari keseharian Lisette, turut merasakan momen intim perempuan ini dengan para kliennya.

Mari simak kisah Lisette, dituturkan oleh Hendra Eka dalam Presentasi & Diskusi Foto “ERASMUS FELLOWSHIP TO AMSTERDAM 2022” yang sekaligus menjadi momentum peluncuran buku foto “Lisette” ke publik.

 

Waktu: Kamis, 16 Maret 2023

Pukul:  16.30-18.00 WIB

Lokasi: Erasmus Huis, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan, Jakarta

Selama presentasi, Hendra akan menampilkan foto-foto terpilih, membagi pengalamannya dalam membuat dokumenter yang ia kerjakan selama di Belanda dengan bimbingan Kadir van Lohuizen, serta membuatnya menjadi satu buku foto. Sampai jumpa!

 

ENG

Hendra Eka has been selected as a recipient of the Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam—a special program for Permata Photojournalist Grant alumni from 2011 to 2019. Despite being delayed for two years due to the COVID-19 pandemic, Hendra was able to complete a scholarship to the Netherlands in July-August 2022.

During his fellowship in the Netherlands, he worked on a documentary photo project, titled “Lisette” that tells a story of a professional sex worker who provides services to people with disabilities. With his thorough research and experience as a professional photojournalist, Hendra was able to establish closeness and gain trust from Lisette. The photos he has taken are touching, and are not distant. The photos take us to be part of Lisette’s daily life, allowing us to experience her intimate moments with her clients.

 

Come and see Lisette's story, as told by Hendra Eka in the Photo Presentation & Discussion "ERASMUS FELLOWSHIP TO AMSTERDAM 2022" which will also be a public launch of the photo book "Lisette”.

Date: Thursday, March 16, 2023

Time: 16.30-18.00 WIB

Location: Erasmus Huis, Jl.  H.R.  Rasuna Said Kav.  S-3, Kuningan, Jakarta

During the presentation, Hendra will present the selected photographs, his experience making the documentary project in the Netherlands under the guidance of Kadir van Lohuizen, and compile them into a photo book. See you there!


Permata Photojournalist Grant XII | Pendaftaran Hingga 16 Februari 2023

 

 

 

PERMATABANK dan PannaFoto Institute menyelenggarakan PERMATA PHOTOJOURNALIST GRANT (PPG) XII, program pelatihan dan grant yang didedikasikan untuk mengembangkan kualitas pewarta foto dan fotografer Indonesia.

Memasuki edisi ke-12 tahun, PPG XII memilih tema INSPIRATION yang dipersembahkan untuk perempuan yang dapat memberikan inspirasi bagi kita. Kami mengundang para pewarta foto dan fotografer untuk menelisik dan menuturkan kisah tentang perempuan atau cerita-cerita yang berkaitan dengan perempuan melalui satu foto cerita (photo story).

Pewarta foto dan fotografer dapat mengikuti PERMATA PHOTOJOURNALIST GRANT XII sesuai dengan ketentuan dan persyaratan berikut ini:

 

KETENTUAN

  • Program terbuka bagi 10 (sepuluh) pewarta foto dan fotografer Indonesia berusia maksimal 38 tahun yang akan dipilih melalui tahap seleksi,
  • Peserta bekerja aktif untuk media massa (cetak/online). Bagi praktisi media selain pewarta foto dan fotografer, dapat mendaftarkan diri dengan melampirkan portfolio karya fotografi,
  • Bagi peserta terpilih, wajib menyertakan Surat Izin Mengikuti Program ini dari editor foto atau redaksi yang berwenang di tempat kerja, atau Surat Pernyataan Komitmen (jika freelance) untuk mengikuti seluruh rangkaian program: kelas daring, mengerjakan tugas akhir photo story hingga pameran foto.

SYARAT PENDAFTARAN

  • Silakan mendaftar dengan mengetuk tautan berikut https://bit.ly/PPG2023_
  • Melampirkan seluruh berkas digital berikut:
  1. Portfolio (terdiri dari 20 foto tunggal terbaik, maksimum dua photo story dengan tema bebas (tidak harus INSPIRATION), masing-masing photo story terdiri dari 12-24 foto (jumlah total maksimum 68 foto, ukuran 300dpi, sisi terpanjang 1500pix, dan kompresi 8). Pastikan foto-foto yang dilampirkan sudah di-rename dengan nama fotografer. Contoh: Photo Story 01 – Nadia, Photo Story 02 – Nadia, dst. Setiap foto yang dikirimkan dilengkapi dengan caption, dan teks/cerita dari photo story maksimum 200 kata,
  2. Foto profil  (3x4 cm) dan CV terbaru,
  3. Proposal photo story bertema INSPIRATION. Catatan: Tema secara khusus menyorot peran perempuan dalam berbagai sektor, dari domestik hingga publik. Perlu diingat, karakter/tokoh yang diceritakan tidak harus perempuan, tetapi bisa mengusulkan ide cerita yang berkaitan dengan perempuan. Calon peserta dipersilakan untuk mengintepretasikan tema INSPIRATION dengan ide cerita/gagasan dan visualisasi ke dalam photo story menurut pengalaman dan pemahaman masing-masing.

MASA PENDAFTARAN

  • Ditutup pada 16 Februari 2023 pukul 20:00 WIB

TENTANG PROGRAM

  • Program terbuka untuk 10 (sepuluh) peserta yang akan dipilih melalui tahap seleksi.
  • Peserta terpilih mendapatkan grant senilai Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk mendukung pembuatan photo story.
  • Peserta terpilih mendapatkan workshop yang akan berlangsung secara daring dengan materi utama photo story, visual storytelling dan materi-materi pendukung lainnya.
  • Workshop terdiri dari 15 sesi kelas daring, dilakukan 2x dalam seminggu (Selasa dan Jumat pukul 19.00-22.00 WIB) oleh mentor dari PannaFoto Institute dan Alumni PPG, serta mentor tamu internasional.
  • Workshop akan dilaksanakan mulai dari 14 Maret-25 Mei 2023 melalui Zoom Meeting.
  • Pameran foto luring dijadwalkan berlangsung pada bulan Juli-Agustus 2023 di Jakarta.

 

Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan, silakan mengontak via surel ke info@pannafoto.org atau hubungi Asa (0858-8812-7367).

 

Terima kasih!