Elemen Foto Cerita Bersama Rosa Panggabean (PYP 2022)
Kamis (30/06/2022), sepuluh fotografer muda dan para mentor kembali bertemu di kelas daring Permata Youth Photostory (PYP) 2022. Di pertemuan kali ini, Rosa Panggabean (mentor dan fotografer lepas), memberi materi Pengantar Foto Cerita. Rosa membuka presentasi dengan menjelaskan, “Foto cerita adalah rangkaian foto. Jika fotonya satu, namanya foto tunggal, bukan rangkaian foto.”
Foto cerita merupakan satu kesatuan antara foto dan teks, mengangkat tema tertentu. Terdiri dari pembuka, isi dan penutup. Ada beberapa elemen foto cerita yang dapat membantu kita untuk membuat foto cerita terutama bagi pemula. Enam elemen foto cerita ini dikutip dari Life Magazine yang menerapkan panduan standar keragaman gambar bagi fotografer yang sedang bertugas jauh dari kantor pusat. Elemen-elemen ini bukanlah teori absolut atau menjadi pakem dalam membuat foto cerita yang bersifat naratif. Kita dapat mengembangkannya sesuai kebutuhan kita.
Elemen pertama adalah Pembuka atau Pengantar (Establishing Shot). Ini adalah gambar pertama yang mampu menarik dan menggiring pembaca masuk ke dalam cerita, biasanya membawa kita ke lokasi cerita. Tak jarang, di bagian ini memuat elemen penting lainnya. Terutama karakter penting di dalam tuturan; sang tokoh. Elemen kedua adalah Potret (Portrait; portraiture). Elemen ini merupakan foto potret dari sang tokoh (character) atau pelaku-pelaku utama dalam cerita. Bisa berupa potret tungga;, bisa pula potret kelompok (group portrait)
Elemen berikutnya adalah Interaksi (Interaction), yaitu potret interaksi hubungan antar pelaku cerita atau pelaku dengan lingkungannya. Baik secara fisik, emosi, psikologis atau secara profesional. Elemen keempat yaitu Penanda Utama (Signature). Elemen Penanda Utama hampir mirip dengan Elemen Interaksi, namun disini potret interaksi menjadi momen penentu. Satu foto, yang bila terpaksa, bisa mewakili keseluruhan cerita– menandai atau menggambarkan adanya perubahan. Sebuah Signature biasanya berupa suatu ‘Moment Shot’. Dimana aksi, si tokoh utama atau tokoh-tokoh yang terlibat dan lingkungannya terangkai dalam suatu komposisi yang memberi kesan mendalam (terdapat unsur drama).
Elemen selanjutnya adalah Detil (Detail). Elemen ini merupakan sesuatu yang kehadirannya sangat penting di dalam cerita, berfungsi untuk ‘memikat’ perhatian, agar pembaca mau meluangkan waktu untuk memperhatikan. Karena fungsi ini lah Detail dapat digunakan untuk menentukan langkah kecepatan (pace) alur cerita. Detil bisa berupa apa saja, tidak harus benda atau potret close-up, yang penting signifikansinya dalam cerita. Elemen terakhir yaitu Penutup (Clincher), sebuah foto terakhir yang menggambarkan situasi akhir atau penegasan untuk menutup cerita.
“Jika mempunyai sebuah gagasan atau tema cerita, sebaiknya gagasan dituliskan dalam satu kalimat. Itu akan membantu kita dalam menentukan apa yang akan kita potret hari itu,” ujar Rosa. Ia lalu memberi contoh satu foto cerita sederhana dan mengurai cara-cara agar dapat memvisualkan sebuah gagasan. Rosa juga memberi kiat-kiat penting agar proses produksi cerita lebih efektif. Salah satunya adalah mengambil beberapa alternatif foto dari setiap elemen.
Metode cerita foto sederhana patut dicoba oleh fotografer pemula. Secara singkat; menentukan gagasan/tema cerita, lalu memotret dan mereview, serta menyusun foto dengan menentukan foto pembuka-isi-penutup merupakan langkah-langkah untuk mempermudah membuat foto cerita. Rosa mengingatkan fotografer muda untuk terus mengasah dan mengeksplorasi kemampuan fotografi dasar (komposisi, lighting, warna, dst) agar hasil cerita foto menjadi maksimal.
Para peserta mengikuti rangkaian kelas yang akan dilaksanakan setiap hari Kamis hingga 14 Juli 2022. Ikuti kanal sosial media Permata Photojournalist Grant untuk info terkini program Permata Youth Photostory (PYP) 2022.
Proses Penciptaan Karya Visual Bersama Arum Dayu
Kamis (16/23/2022), sepuluh fotografer muda kembali bertemu di kelas daring workshop Permata Youth Photostory 2022 dengan tema JOURNEY. Di pertemuan kedua ini, Arum Dayu berbagi proses penciptaan karya visual miliknya dengan teknik visual storytelling.
Arum Dayu memulai presentasi dengan menceritakan proses penciptaan cerita foto ‘Goddess of Pantura’. Cerita foto ini adalah proyek panjang pertamanya yang tidak memiliki beban penugasan dari media. Saat itu, ia mengaku belum memiliki metode khusus dalam menciptakan karya. Ia hanya melakukan riset observasi ke daerah jalur Pantura, salah satunya Kota Cirebon. Kemudian ia melakukan pendekatan ke subjek, sehingga ia dapat mengikuti kegiatan grup dangdut kemanapun mereka pentas. Dengan latar belakang pewarta foto yang masih kental, Arum Dayu memotret momen-momen di pertunjukan biduan dangdut Diana Sastra dari Pantura.
Setelah menyelesaikan proyek ini, Arum Dayu merasa bosan dengan pendekatan reportase dalam penciptaan karya visual yang selama ini ia gunakan. Dilandasi oleh rasa bosan tersebut, Arum membuat proyek foto kedua yang bertajuk “Kapan Nikah”. Di proyek ini, ia meninggalkan pendekatan reportase yang ‘mengejar momen’ dan membuat cerita foto dengan teknik ‘menciptakan momen’. “Kapan Nikah” adalah proyek personal yang didorong oleh kejengahan Arum yang selalu ditanya ‘Kapan Nikah?’ oleh orang tuanya. “Fotografi aku buat menjadi medium berkomunikasi dengan orang tua”, kata Arum Dayu. Menurutnya, fotografi adalah bentuk bahasa universal yang mudah diterima, salah satunya foto pernikahan. Ia membuat rangkaian foto pernikahan palsu, lengkap dengan memakai baju pernikahan adat Jawa Solo dan empat model pria sebagai pengantin pria. Arum mengerjakan semua proses produksinya sendiri, dari merias diri hingga pemotretan. “Ini ceritaku, maka aku harus mengerjakannya sendiri”, jawab Arum saat ditanya orang tuanya mengapa tidak memotret peristiwa perkawinan orang lain. Proses proyek ini membuat permasalahan kegelisahan “Kapan Nikah” orang tuanya jadi cair.
Proyek selanjutnya dari Arum Dayu berjudul “Perempuan Yang Kehilangan Wajahnya”. Ia menciptakan dua tryptic foto wanita bercadar sebagai respon terhadap cerpen Feby Indirani bertajuk Bukan Perawan Maria. Dari proyek ini Arum menjadi tertarik mengulik topik tentang hijab lebih dalam. Namun, ia ingin membicarakan hijab tanpa menyinggung aspek agama sebab ia perempuan non-muslim. Untuk itu, ia mentransformasi metode penciptaannya dengan meminjam pendekatan dari seni rupa. Secara singkat, metode ini memiliki empat tahap. Tahap pertama adalah Persiapan atau Masukan. Di tahap ini, kita melakukan observasi lapangan, riset literatur dan mindmap. Selanjutnya, semua informasi yang kita terima di tahap pertama diendapkan di tahap kedua– tahap inkubasi/pengeraman.
Di tahap berikutnya, tahap inkubasi, kita mulai mencari inspirasi. Di proyek fotografi, contohnya dengan melakukan kaji banding fotografer. Kemudian di tahap terakhir, tahap verifikasi atau evaluasi, ide kita diuji terhadap realitas dengan mulai melakukan eksperimen/pengerjaan karya. Berbekal metode tersebut, Arum akhirnya membuat cerita foto bertema hijab dengan melihatnya sebagai tren fashion dengan judul “Pasar Baru”. Ia melakukan riset ke Pasar Baru Bandung sebagai salah satu pusat perbelanjaan busana muslim terbesar di Bandung.
“Karyaku biasanya mengalami perkembangan atau pembaharuan”, ujar Arum Dayu. Hal tersebut terjadi karena Arum Dayu tidak cukup puas dengan hasil terakhirnya. Akhirnya ia membuat Proyek Seni Pasar Baru. Arum mendokumentasikan tren busana muslim, dari penjual, pengunjung, hingga para pekerja yang ada di Pasar Baru. Tak berhenti sampai sini, Arum mengembangkan lagi proyek “Pasar Baru” dan menjadikannya proyek “Novelty Vogue”. Di proyek ini, ia bereksperimen bentuk dengan ‘menciptakan’ tren baru hijab yang terinspirasi dari tren lokal; seperti sinetron, ojek online, tren berolahraga, berkebun, dll. Usai pemaparan Arum Dayu, kelas dibagi ke dalam breakout room. Di ruang-ruang itu, satu persatu peserta mempresentasikan hasil pemotretan mereka selama seminggu.
Para peserta akan mengikuti rangkaian kelas yang akan dilaksanakan setiap hari Kamis hingga 14 Juli 2022. Ikuti kanal sosial media Permata Photojournalist Grant untuk info terkini program Permata Youth Photostory (PYP) 2022.
Bertemu di Kelas Perdana PYP Journey
Kamis (16/06/2022), perjalanan pertama kelas Permata Youth Photostory (PYP) 2022 dimulai. PermataBank bermitra dengan PannaFoto Institute meluncurkan program pendidikan fotografi khusus anak muda maksimal 25 tahun. PYP memilih tema JOURNEY atau perjalanan yang dapat dimaknai dengan berbagai macam cerita, seperti perjalanan hidup, pengalaman sehari-hari, traveling dan hal-hal lain yang dekat dengan kehidupan generasi muda saat ini. Workshop daring bagi 10 peserta terpilih merupakan satu dari rangkaian kegiatan yang dimulai dengan Seri Webinar Fotografi untuk publik. Nantinya akan ada presentasi hasil workshop dan pameran bagi 10 fotografer muda yang terpilih.
Di kelas perdana ini, Ng Swan Ti (Managing Director PannaFoto Insititute) mengawali pertemuan dengan menjelaskan gambaran program workshop daring PYP 2022. Program ini dimulai dari 16 Juni hingga 14 Juli. Selama kurang lebih satu bulan, sepuluh fotografer muda akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dalam membuat foto cerita. Penugasan utama adalah membuat foto cerita dengan tema JOURNEY. Para mentor akan memberikan tugas-tugas yang mendukung pengerjaan foto cerita tersebut. Pada akhir workshop, peserta diharapkan mengumpulkan satu foto cerita yang berkualitas dan menarik untuk dipamerkan pada Agustus-September di Jakarta.
Selanjutnya sepuluh fotografer muda diperkenalkan dengan para mentor dan staff PannaFoto. Sepuluh fotografer muda kemudian dipersilakan untuk memperkenalkan diri dan bercerita tentang satu foto pilihan mereka. Presentasi foto pilihan merupakan tugas pertama mereka. Satu-persatu mereka berbagi latar belakang dan menjelaskan mengapa foto tersebut mewakilkan diri mereka.
Setelah sesi perkenalan, kelas bersambung ke presentasi Edy Purnomo. Di pertemuan ini, Edy Purnomo mengajak para peserta untuk mengenal topik Journey lebih dalam. Journey atau perjalanan secara harafiah dapat dimaknai sebagai proses perpindahan– fisik maupun mental. Edy Purnomo kemudian memberi beberapa contoh cerita foto yang merefleksikan konsep Journey. Usai pemaparan, salah satu peserta bertanya mengenai bagaimana cara menerjemahkan ide ke bentuk visual saat topik cerita bersifat perjalanan non-fisik. Menurut Edy, terdapat 3 metode pendekatan yang biasanya digunakan. Sepuluh fotografer muda akan diajak untuk mengenal lebih jauh ketiga metode itu bersama para mentor di pertemuan selanjutnya. Dua jam terakhir kelas perdana ini digunakan para peserta untuk mempresentasikan ide cerita foto mereka ke teman sekelas dan para mentor.
Para peserta akan mengikuti rangkaian kelas yang akan dilaksanakan setiap hari Kamis hingga 14 Juli 2022. Ikuti kanal sosial media Permata Photojournalist Grant untuk info terkini program Permata Youth Photostory (PYP) 2022.
Sesi Editing Bersama Jenny Smets
Rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 yang telah berlangsung sekitar 3 bulan hampir mendekati proses akhir. Dalam dua sesi terakhir, peserta PPG bertatap muka secara daring bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Dalam dua sesi, proyek foto masing-masing peserta akan ditinjau dan disusun ulang hingga menghasilkan final editing. Setiap peserta nantinya mendapat kesempatan sekitar jam untuk berdiskusi bersama Jenny dan mentor lainnya, serta mempresentasikan cerita foto dan dua belas foto terpilih.
Virliya Putricantika (Bandungbergerak.id, Bandung) menyajikan cerita tentang penyintas dan aktivis kekerasan seksual. Pilihan Virliya untuk membuka cerita dengan portrait subjek memegang payung cukup kuat, namun terlalu banyak foto simbolik dalam sequence meski masih dapat dimengerti. “Jika kamu kesulitan untuk memvisualkan cerita, foto-foto simbolik selalu jadi solusi yang mungkin dilakukan”, ujar Jenny.
Moch. M. Kavin Faza (Ayobandung.com, Bandung) bercerita tentang seorang seniman pantomim dan aktivis asal Bandung bernama Wanggi Hoed. Kavin membuat series potrait yang merekonstruksi isu aktivisme yang disuarakan Wanggi. Bagi Jenny, cerita foto Kavin agak sulit untuk dimengerti dalam sekali lihat sebab Jenny berasal dari Belanda dan asing dengan kegiatan Wanggi Hoed. Setelah Kavin menjelaskan latar belakang Wanggi, baru rangkaian fotonya menjadi lebih masuk akal. Kemudian Jenny membantu Kavin menyusun ulang cerita fotonya agar lebih mudah dipahami.
Iqbal Firdaus (Kumparan.com, Bekasi), menceritakan kisah seorang penyintas bunuh diri bernama Buluk/Lukman. Iqbal menggabungkan imaji dari keseharian Buluk/Lukman, momen di mana ia sedang pentas sebagai musisi dan fragmen memori keluarga kecilnya.
“Ini bukan hanya untuk Iqbal, namun juga untuk kalian semua. Kalian harus menyadari jika kalian tidak bisa menaruh semuanya di satu foto atau cerita. Kalian tidak bisa berekspektasi audiens akan mampu menangkap semua emosi hanya dengan menggunakan teknik fotografi. Sebab saya bisa saja mengartikannya berbeda dari yang kalian rencanakan. Untuk menangkap emosi dan empati, kalian harus mampu membangun koneksi dengan subjek. Untuk itu, setidaknya bagi saya, cerita-cerita ini menjadi abstrak jika kalian terlalu banyak menggunakan foto simbolis.” jelas Jenny menanggapi cerita yang ditampilkan Iqbal. Setelah melalui diskusi cukup panjang bersama Iqbal dan mentor Yoppie, Jenny puas dengan hasil akhir sequencing.
Sesi Editing Terakhir bersama Mentor PannaFoto
Pertemuan keempat belas pelatihan fotografi program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 merupakan sesi editing terakhir bersama para mentor PannaFoto Institute. Sesi ini sekaligus menjadi langkah awal menuju sesi editing yang lebih intensif dengan Jenny Smets, kurator independen dan editor foto pada jumat, 6 Maret 2022.
Teknis dan proses pada kelas editing keempat ini tak jauh berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya. Peserta masih dibagi menjadi dua kelompok dalam breakout room yang dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Masing-masing kelompok diberi waktu dua jam lima belas menit untuk melakukan proses editing. Yang membedakan, pada pertemuan ini lebih fokus untuk menyusun dan merapikan dua belas photo sequencing yang materinya telah disampaikan dalam kelas editing ketiga pekan lalu.
Setelah breakout room selesai, seluruh peserta dan mentor bergabung kembali dalam satu room bersama. Mentor Edy Purnomo dan Swan Ti meminta para peserta untuk menyiapkan materi presentasi untuk sesi editing bersama Jenny. Perjalanan peserta PPG 2022 untuk menyusun proyek foto cerita hampir mendekati tahap akhir, proses yang tersisa yaitu mematangkan editing dan memikirkan konsep pameran dan multimedia.
Presentasi Cerita Foto Bersama Saša Kralj
Peserta Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2021 kembali bertatap muka dengan Sasa Kralj melalui kelas daring. Di sesi terakhir bersama Saša ini, satu per satu peserta mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan Saša perihal perkembangan cerita foto yang tengah mereka kerjakan. Sebelum sesi diskusi, peserta dibagi menjadi tiga kelompok kecil, mereka diminta untuk bertukar pikiran mengenai tiga poin penting bagi mereka dari materi Saša di kelas sebelumnya.
Bagi Feny Selly Pratiwi, pewarta Antara Foto Palembang, elemen terpenting bagi dirinya adalah intimacy. Sedangkan bagi Virliya Putricantika, pewarta Bandungbergerak.id, mencari sisi lain dari cerita yang dikerjakan adalah hal yang terpenting.
Saša melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis saat menanggapi presentasi kelompok mau pun personal. Saša telaten menelisik setiap jawaban yang diutarakan peserta dan melontarkan pertanyaan lanjutan, sehingga di beberapa kesempatan beberapa peserta terlihat mengalami kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sebagaimana riset dapat dilakukan dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan, Saša memandu setiap peserta dengan rentetan pertanyaan untuk mendapatkan perspektif yang lebih dalam dan luas. Kelas berjalan intens dan padat selama kurang lebih tiga jam.
“Satu hal terpenting yang harus diingat, konteks adalah kemampuan untuk menghubungkan hal-hal yang orang lain tidak bisa lihat. Untuk itu, Anda harus terus-menerus melontarkan pertanyaan absurd pada diri sendiri. Satu-satunya cara untuk dapat menceritakan sesuatu yang berbeda adalah dengan memutar perspektifmu. Jika tidak, cerita itu akan jadi dangkal, membosankan atau mudah ditebak”, tegas Saša.
Diskusi Penyuntingan Tulisan untuk Esai Foto
“Belajar menulis dapat dilakukan dengan mempelajari tulisan orang”, kata Budi Setiyono, wartawan dan Redaktur Pelaksana Historia.id, mengawali kelas penulisan narasi sesi dua, Selasa (29/3/2022). Budi juga menjelaskan pentingnya membuat kerangka cerita terlebih dahulu. Tujuannya agar ide-ide yang acak bisa tersusun, membuat kita lebih fokus dan memudahkan kita dalam proses penulisan. Setelah melewati tiga tahapan penulisan; persiapan, menulis dan mengoreksi tulisan, tahapan terakhir yang harus diselesaikan adalah menyunting tulisan. “Dalam proses penyuntingan, aspek substansi tak kalah penting dengan aspek bahasa”, ungkap Budi.
Tinggalkan kalimat-kalimat klise dengan gaya tulisan akademis dan menyajikan data sebagai pembuka tulisan. Poin paragraf pembuka lazim disebut lead. Lead yang baik akan membuat pembaca tertarik untuk menuntaskan cerita dari awal sampai akhir. Alih-alih penggunaan data keras, tulisan dapat dibuka dengan pengenalan tokoh atau deskripsi suasana. “Bagaimana menyajikan data yang menarik?”, tanya Felix Jody Kinarwan (pewarta Project Multatuli). Perihal ini, Budi mengingatkan bahwa tidak semua data perlu ditampilkan. Jika harus, data tak perlu diberikan secara detail dan hindari menaruh informasi data di pembuka tulisan. Data keras (statistik, tanggal, bulan atau tahun) bisa mengganggu alur tulisan. Untuk itu, sebaiknya ditaruh di pertengahan tulisan dan dipertimbangkan dengan baik penggunaanya.
Selama kurang lebih tiga jam kelas berlangsung, Budi mengulas satu per satu tulisan esai foto yang sudah dikerjakan oleh para peserta. Peserta diminta untuk membacakan tulisannya dan dilanjutkan dengan proses penyuntingan. Peserta juga mengutarakan tentang kesulitan-kesulitan saat proses menulis. Salah satunya Feny Selly Pratiwi, pewarta foto Antara Foto, yang mengalami kesulitan untuk meringkas poin-poin yang ingin disampaikan dalam satu setengah. “Saya memiliki banyak data untuk mendukung foto. Pertimbangannya apa saja dalam memilih data untuk melengkapi foto?”, kata Feny. Menurut Budi, tulis hal-hal yang tidak ada dalam foto dan tidak semua hal harus diungkapkan. Biarkan pembaca menginterpretasikan foto itu sendiri. “Terkait pendalaman, penting untuk menambahkan data. Tapi perhatikan porsi data dalam tulisan. Menurut saya, maksimal 30% agar tidak mengganggu alur tulisan”, tambah Budi.
Perihal ini, Budi mengakui memang sulit membuat tulisan pendek untuk tulisan yang bercerita. Untuk memudahkan proses penulisan, kita dapat mempersempit angle dari outline cerita foto yang kita telah miliki.
Photo Editing 3: Menyusun Foto Cerita
Rangkaian program Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2021 memasuki sesi photo editing tahap ketiga, jumat 25 Maret 2022. Seperti dua sesi sebelumnya, peserta dipecah menjadi dua sesi kelompok kecil. Masing-masing kelompok dibimbing oleh co-mentor, Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter.
Bersama para mentor, setiap peserta menyeleksi dan memilih 15 foto (minimal) dari empat puluh lima foto yang diajukan.Dalam sesi ini, peserta diarahkan untuk membuat kerangka cerita dari foto seleksi mereka. Dalam storytelling, membuat kerangka cerita dikenal dengan story arc. Teknik ini menggunakan plot (awal, konflik dan akhir cerita) sebagai kerangka cerita foto.
Tempo pelatihan program PPG 2021 tersisa sepuluh hari lagi. Yoppy Pieter berpesan agar peserta memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik mungkin, ia selalu terbuka untuk diajak berdiskusi di luar kelas. “Pahami sebaik mungkin cerita apa yang kalian sampaikan,” tutup Rosa Panggabean mengakhiri sesi kelas.
Unsur-Unsur Penting dalam Penulisan
Dilengkapi dengan kemampuan untuk membangkitkan emosi audiens tanpa menggunakan kata-kata dan menggiring persepsi dengan cepat, inilah keunggulan foto. Namun di sisi lain, foto memiliki kelemahan yakni visual tak dapat menceritakan semua hal dengan detail. Untuk itu, diperlukan medium komunikasi selain visual untuk mengisi detail cerita. Sejak pertama kali terselenggara, Permata PhotoJournalist Grant (PPG) selalu memberikan materi penulisan untuk menyiasati kebutuhan pewarta foto.
Program PPG 2021 mengundang Budi Setiyono, wartawan dan redaktur pelaksana Historia.id untuk memberikan materi Penulisan 1, selasa 22 Maret 2022. Materi kelas dimulai dari penjabaran singkat bentuk-bentuk penulisan berita; Berita Lempang, Feature, dan Narasi. Pengetahuan tentang bentuk-bentuk penulisan berita memberikan gambaran konten dan struktur tulisan yang akan dibuat. Misalnya, dalam Berita Lempang atau Berita Langsung, cukup berisi informasi umum 5W1H. Sementara untuk Feature dan Narasi, bisa memberikan informasi yang lebih mendalam.
Seiring perkembangan berita digital, wartawan bereksperimen dengan format baru untuk meningkatkan dan mengubah pengalaman audiens. Format ini adalah format multimedia; menggabungkan teks berita jurnalistik dengan foto, video, aplikasi atau animasi. Salah satu format multimedia yang meraih hadiah Pulitzer tahun 2013 dan menarik lebih dari 3 juta pengunjung adalah reportase “Snow Fall” di The New York Times. Mengisahkan sekelompok pemain ski yang terjebak dalam longsoran salju. Kisah lain yang tak kalah populer adalah “Firestorm” di The Guardian UK, kisah keluarga Holmes yang terjebak di tengah kebakaran hutan. Format multimedia seperti itu telah jamak dilakukan oleh media-media luar negeri, namun belum banyak dilakukan oleh media di Indonesia.
“Belajar menulis itu sama seperti orang belajar naik sepeda,” kata Budi Setiyono, sambil menunjukkan ilustrasi orang yang tengah belajar naik sepeda di layar zoom meeting. Satu-satunya cara paling tepat adalah mencoba. Dalam prosesnya, kita akan terjatuh dan bangkit berulang kali. Jarak perjalanan kita mengendarai sepeda berbanding lurus dengan tingkat kesulitan penulisan yang kita coba. Semakin jauh kita mengayuh, semakin sulit namun terlatih dalam penulisan. Dalam proses penulisan, kita membutuhkan seorang teman atau seorang editor untuk mendorong kita agar terus maju dan mencoba.
Kemudian beliau menjelaskan bagaimana cara menggali atau mencari tema. Tema ada di mana-mana dan mudah dicari. Namun, tidak semua tema menarik atau layak untuk diberitakan. Kesulitan menentukan tema adalah hal yang wajar. Untuk itu, kita perlu merawat rasa ingin tahu, skeptis, penasaran, tak gampang puas serta gairah untuk mengasah insting kita. Menjadi pemburu sekaligus peramu yang melahap informasi dan bacaan apa saja, mengoleksi data, mengamati lingkungan sekitar, mengikuti peristiwa aktual atau tahunan yang membentuk pola, dan lainnya.
Menurut Budi Setiyono, sebuah tema dianggap menarik jika belum ada yang menuliskannya. Setelah menemukan tema, lakukan riset dan pendalaman tema. Langkah yang dapat dilakukan berupa; riset di internet, membaca buku dan berbagai sumber lain, mencari sumber dari kliping koran, observasi lapangan, wawancara ahli, cermat memilih angle berita dan menyusun kerangka liputan (outline). Dalam proses penulisan, Budi Sutiyono menyarankan untuk menyelesaikan draft tulisan lalu fokus penyuntingan di akhir proses menulis.
Selanjutnya, beliau menjelaskan unsur-unsur penting dalam penulisan. Unsur pertama adalah plot. Plot adalah rantai hubungan sebab-akibat yang menciptakan pola tindakan dan perilaku. Plot menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang akhirnya membangun keseluruhan cerita. Unsur berikutnya adalah deskripsi.
Unsur ini menimbulkan realitas kesadaran bagi pembaca, membuat pembaca bertindak sebagai partisipan dalam suatu cerita. Unsur ketiga adalah karakter, yang membuat pembaca mengenal tokoh cerita. Lalu unsur terakhir adalah dialog yang membuat tokoh-tokoh tersebut hidup. Budi juga mengingatkan tentang pentingnya membuat kerangka dan struktur cerita terlebih dahulu. Tujuannya agar ide-ide yang acak bisa tersusun rapi dan tidak menyulitkan kita ketika menulis.
Setelah kurang lebih dua jam menyampaikan materi, pada 60 menit terakhir ia pergunakan untuk mengajak peserta berdiskusi dan membedah satu per satu naskah yang mereka kerjakan.
Membaca Foto Menggunakan Teori Gestalt
“Dalam melihat sebuah visual, kita biasanya menangkap dua informasi; editorial level dan visual level”, ungkap Edy Purnomo (mentor PannaFoto Institute) di pelatihan fotografi program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2022, Jumat 18 Maret 2022.
Dalam pertemuan virtual ketujuh ini, Edy Purnomo menyampaikan materi literasi visual. Literasi visual adalah kompetensi yang penting dimiliki oleh siapa pun– terutama fotografer, untuk memahami dan memproduksi karya visual. Dalam editorial level, kita memperoleh informasi dari 5W1H yang terdapat dalam visual tersebut. Sedangkan di tataran visual, informasi yang kita peroleh terkait dengan persepsi dan ingatan visual yang dimiliki. Dua tataran ini yang menyebabkan kita bisa memiliki pembacaan yang berbeda dari satu visual.
Literasi visual berhubungan erat dengan bahasa visual, komunikasi dan interaksi. Sayangnya, kita lebih banyak diajari cara membaca teks ketimbang membaca visual. Sedangkan di era visual ini, mata kita lebih banyak melihat informasi visual. Literasi visual penting bukan hanya karena informasi visual lebih mudah diingat dan tersebar dengan cepat, namun visual juga mempermudah cara komunikasi dan memperkaya pemahaman kita terhadap sesuatu.
Langkah-langkah belajar melihat (learning to look) adalah melihat sesuatu dengan cepat, kemudian mengamati, mendeskripsikan elemen-elemen visual, menganalisa, dan terakhir menginterpretasikannya. Lima tahapan ini perlu dilakukan secara bertahap untuk mendapat informasi visual secara komprehensif. Imaji yang kita lihat sehari-hari adalah bentukan pasangan-pasangan yang tidak tunggal, yang kita identifikasi menjadi dua bagian penting: figure (karakter utama/obyek interes) dan background (latar belakang cerita).
Dua elemen tersebut tidak bisa dilihat secara simultan, tetapi biasanya secara berurutan. Hubungan keduanya bersifat seleksi. Figur biasanya nampak lebih dekat pada orang yang melihat dan menempati area yang lebih kecil dibanding background. Figure biasanya ada kontur, sedangkan background tidak.
Pembacaan visual juga dapat menggunakan daya sensorik yang kita miliki. Ajaran yang cukup populer adalah Teori Gestalt, sebuah aliran psikologi yang dipelopori oleh Dr. Max Werthimer (1912). Secara singkat, teori ini menjelaskan bagaimana sensori menentukan persepsi kita. “Tentang Figure-Background tadi adalah teori pertama dari Gestalt. Untuk membedakan figure dengan background diperlukan 4 poin penting”, ujar Edy Purnomo.
Dalam teori Gestalt, otak manusia cenderung menyimpulkan atau mengelompokkan visual sehingga elemen itu terasa sebagai satu kesatuan. Prinsip pertama dari teori Gestalt adalah Proximity (kedekatan). Kedekatan terjadi ketika elemen ditempatkan berdekatan dan akhirnya membentuk format yang kita kenal. Prinsip kedua adalah Similarity (kesamaan). Elemen-elemen visual tampak menyatu karena memiliki kesamaan. Prinsip ketiga adalah Continuity (kesinambungan). Kesinambungan terjadi ketika mata dipaksa untuk bergerak melalui satu objek dan berlanjut ke objek lain. Prinsip terakhir dari teori Gestalt adalah Closure (penutup). Closure terjadi ketika sebuah benda tidak lengkap atau spasi tidak sepenuhnya tertutup. Visual yang tidak utuh atau terpotong, memori kita akan secara otomatis mengisi atau menutup informasi yang hilang.
Seseorang yang tidak buta visual tahu bagaimana membaca visual, mungkin memproduksi serta menginterpretasi produk visual sebagai bahasa komunikasi. Untuk menginterpretasi visual diperlukan elemen visual yang meliputi; color (warna), shape (bentuk), depth (kedalaman), space (ruang) dan typography (tipografi). Empat prinsip Gestalt dapat digunakan bersamaan dengan elemen visual untuk menciptakan imaji yang efektif membangun persepsi. Proximity dan similarity akan mengajak viewers untuk membuat sebuah hubungan visual. Memori visual selalu membawa kita pada pemaknaan sebuah imaji melalui konten dan konteks. “Setiap konsep dalam pemikiran kita, secara garis besar selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat psikologis,” tutur Edy mengutip Carl Jung. Fotografi pada akhirnya berfungsi untuk menyelaraskan sesuatu yang sudah tersimpan di dalam memori manusia.
Photo Editing II
10 penerima Fotografi Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 kembali bertemu dengan mentor Edy Purnomo, Rosa Panggabean, dan Yoppy Pieter dalam sesi Photo Editing sesi II, selasa 15 Maret 2022.
Sama seperti Photo Editing I, kelas dibagi ke dalam dua breaking room, kelompok Rosa dan kelompok Yoppy, masing-masing mengampu 5 peserta. Sebelumnya, masing-masing peserta telah mengirimkan 45 frame foto baru, dalam sesi ini peserta memiliki tugas untuk memilih 15 foto yang mereka anggap menarik. Lalu, bersama mentor, mereka berdiskusi foto-foto mana yang dapat digunakan dalam photo story mereka.
180 menit berlalu, seluruh peserta dan mentor kembali ke ruang utama untuk merekap dan diskusi singkat. Edy Purnomo berkomentar, “Kalian masih banyak menangkap hal-hal yang di depan mata. Kenali konflik lebih dalam. Banyak yang bisa dieksplor dari problematika, hubungkan dengan elemen-elemen visual yang terdapat di sana. Hadirkan lebih banyak problematika di sesi editing selanjutnya.” sambungnya.
“EDFAT adalah cara melihat bukan cara untuk membuat cerita,” tutur Yoppy Pieter.
Masih ada 9 sesi pertemuan yang harus diikuti oleh peserta untuk berproses dalam pelatihan ini untuk menghasilkan karya-karya yang tidak hanya menarik namun juga memiliki pesan yang kuat.
Riset untuk Fotografi Dokumenter Bersama Saša Kralj
Rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 terbagi dalam lima sesi Developing Photo Story. Sesi pertama dibawakan oleh Edy Purnomo, sesi kedua oleh Yoppy Pieter, dan kali ini, peserta mendapatkan materi tentang Riset dalam Fotografi Dokumenter dari Saša Kralj, founder Živi Atelje DK, jumat 11 Maret 2022.
Sebagai menu pembuka, ia menampilkan sebuah foto yang ia ambil di Cape Town. Ia memberi takarir 4W sederhana; Siraj and Fatima embrace and pose during the wedding photo shoot by the ocean at the Muillepoint in Cape Town, South Africa, January 30. 2010. Dengan foto itu, Saša menerangkan bagaimana riset sebagai ide dapat bekerja saat kita sedang membuat cerita foto. Takarir 4W foto tersebut menjelaskan hal-hal yang berada dalam level deskriptif– seperti tokoh protagonis yang dapat kita identifikasi sebagai Siraj dan Fatima.
Pada level ini, kita juga dapat melakukan observasi singkat berdasar pengetahuan umum. Dari foto tersebut, pengetahuan umum yang tercetus adalah tentang pernikahan dan Afrika Selatan. Pernikahan berasosiasi dengan kebahagiaan, ditambah riset sederhana, kita akan mengetahui jika menurut laporan statistik Afrika Selatan, angka pernikahan meningkat 3% selama satu dekade ke belakang dan angka perceraian menurun hingga seperempatnya di periode yang sama.
Di level deskriptif (descriptive level), foto itu adalah sebuah foto pernikahan bahagia yang klise, membosankan dan sering kita lihat. Oleh karena itu, Saša menyarankan untuk membawanya ke ke level representatif (representative level). Di level ini kita perlu mengajukan lebih banyak pertanyaan– landasan bagaimana kita melakukan riset. Sebagai contoh,
“Apa yang direpresentasikan oleh si protagonis?
Apakah mereka hanya merepresentasikan pasangan bahagia atau sesuatu yang lain?
Apakah mereka merepresentasikan dominasi patriarki?
Apa yang mereka representasikan?”
Untuk berpindah dari level deskriptif ke level representatif, kita perlu menambahkan konteks.“Setiap foto memiliki konteks. Tidak ada hal di dunia ini yang eksis tanpa konteks,” ujar Saša. Dengan berpikir menggunakan konteks, kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan tidak ada hubungannya dengan pengetahuan umum di awal.
Saša lalu memberi data komoditas seperti telur, buah kering, susu, cincin kawin bahkan tiket penerbangan, yag ternyata mendapat keuntungan dari ajang perkawinan. Ia kemudian menjabarkan bagaimana 10 juta telur yang dibutuhkan untuk membuat kue pernikahan terkait dengan kondisi pekerja di peternakan ayam. Dengan berpikir menggunakan konteks, kita dapat mengembangkan ide cerita bahkan hingga ke arah sebaliknya.
Saat membuat cerita foto, secara bergantian kita dapat berpindah dari level deskriptif ke level representatif. Namun, lebih jauh lagi, Saša mengajak kita untuk menapak level intim (intimate level). Di level intim, kita perlu menggali pengetahuan lebih dalam tentang tokoh protagonis dan tindakan mereka. Meski Saša tidak berkesempatan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Siraj dan Fatima, ia memberi contoh pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengenal situasi mereka,
“Mengapa mereka menikah?”
Apa yang terjadi jika dia tidak menikah?”
Saša mengutip ucapan seorang storyteller yang ia temui di sebuah lokakarya, sebagai storyteller, kita harus mengetahui semua aspek cerita yang ingin kita ceritakan. Tetapi saat kita bercerita, kita tidak boleh menceritakan semuanya. Kita harus selalu memilih apa yang akan kita katakan.
Di level keempat, Saša menguraikan tentang bagaimana berpindah dari level intim ke level implikasi (implications level). Di tahapan ini, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri; Apa yang akan saya lakukan dengan proyek ini? Apakah proyek ini membawa perubahan? Perubahan seperti apa? Jika proyek ini selesai, apakah akan menguntungkan atau merugikan si protagonis? Bagaimana dengan respon yang berlawanan?. Pertanyaan-pertanyaan penting ini memerlukan teknik riset yang berbeda. Proses ini esensial bagi usaha kita untuk memahami cerita lebih dalam.
Tidak berhenti di sini, Saša membawa kita ke level berikutnya, yaitu level tujuan (purpose level). Di level ini, kita menginterogasi diri sendiri lebih jauh dan mempersoalkan,
“Bagian mana dari pengetahuan saya yang saya anggap enteng?
Bagian mana dari data ini yang perlu saya pertanyakan lebih lanjut?
Apa yang saya ingin audiens rasakan?
Mengapa saya ingin mereka merasakannya?
Apa yang harus saya lakukan selain menulis atau memotret?
Adakah hal tak terduga terjadi dan membuatku terkejut?”
Kelima level di atas terjalin berkelindan dan merupakan lima cara berpikir untuk melakukan riset. Saat membuat cerita foto, kita harus melewati kelima tahapan ini. Nantinya, saat kita mendapat data yang melimpah– hasil dari bertukaran lima cara pikir, kita dapat memilih tataran mana yang menjadi tumpuan cerita foto.
“Kita tidak melihat apa yang tidak kita ketahui. Kita hanya melihat apa yang kita pikir kita tahu. Inilah sebabnya mengapa cara kita memotret berubah jika kita melakukan riset dengan lima cara berpikir ini,” terang Saša. Kemudian sepuluh peserta dibagi kelompok kecil untuk saling berdiskusi, mengaitkan mind map proyek foto mereka dan lima level cara berpikir.
Setelah sesi diskusi, Saša melanjutkan materi dengan membedah cara kerja mind map dalam riset fotografi. Masih terkait dengan lima level cara berpikir di atas, setiap level dapat memiliki mind map-nya sendiri. Meski memiliki metodologi yang berbeda-beda, kelima level tersebut memiliki kesamaan yaitu daftar pertanyaan umum tentang cara berpikir. Bagaimana cara berpikir di setiap level akan memandu kita– bagaimana mengajukan pertanyaan saat melakukan riset. Dengan demikian, mind map bukanlah lis hal-hal yang telah kita ketahui, namun sebuah kerangka provokasi.
Maka, saat kita berpikir bahwa mind map yang kita buat sudah selesai, itu adalah sebuah kesalahan. Sebab kita berpikir jika kita sudah tahu. Mind map bukanlah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh foto. Mind map mestinya menjadi pemicu untuk mendapatkan lebih banyak pertanyaan tentang sebuah cerita. Sehingga kita bisa memiliki cerita yang berbeda dan bermakna.
Kita hidup di era semua orang dapat memotret dengan mudah, era di mana kita pikir kita dapat membuat foto yang bagus karena bantuan teknologi. Tidak ada foto tanpa konteks dan tak ada konteks tanpa pemikiran kreatif. Konteks adalah konsekuensi dari pemikiran kreatif. Sebagai seorang storyteller, penting untuk mampu menemukan konteks, yaitu daya untuk dapat menghubungkan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Memiliki daya tersebut memperkaya perspektif storyteller dan pada akhirnya memperluas relevansi cerita foto.
Saša secara singkat menjabarkan pentingnya memiliki metode belajar. Sebagai seorang storyteller, kita adalah guru dan murid dalam waktu bersamaan. Saat kita mempublikasikan cerita foto, kita adalah guru. Saat kita sedang riset dan mengerjakan cerita foto tersebut, kita adalah murid. Metode belajar paling mudah adalah dengan melakukan repetisi dan memiliki keingintahuan tinggi. Kita juga perlu belajar untuk mengetahui siapa target audiens kita dan medium presentasi apa yang dapat digunakan. Semakin beragam target audiens, semakin banyak kemungkinan presentasi karya yang dapat dieksplorasi. Tak terasa 180 menit berlalu, Saša mengakhiri materi Riset untuk Fotografi Dokumenter setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta kelas.