Virtual Insanity: Inside The Life of Pro-Gamer

Virtual Insanity: Inside The Life of Pro-Gamer

Hafitz Maulana (Tirto.id, Jakarta)

Sekitar lima tahun terakhir, e-Sports atau olahraga virtual berkembang pesat di Indonesia. Revolusi digital telah mengubah gaya hidup orang Indonesia, khususnya Generasi Z.

Sebuah riset mandiri oleh Tirto.id yang dirilis 2018 lalu melaporkan bahwa pekerjaan impian Generasi Z sebagai professional gamer menempati peringkat kedua (14,3%) setelah dokter (15,1%). Angka pemain gim dari Generasi Z terus mengalami peningkatan; ini dipengaruhi akses internet, suburnya industri perusahaan manajemen e-Sports, dan pertumbuhan mobile game di gawai yang mengakibatkan pengguna gim tidak terbatas pada tipe gim berbasis konsol.

Selama tiga bulan pengerjaan proyek fotografi ini, saya mencoba merespons ruang privat tiga figur professional gamer Indonesia yang saya temui untuk mengetahui cara seorang pro gamer membangun karir sekaligus menepis stigma negatif gamers. Melalui tiga figur pro gamer ini, saya menawarkan kisah pro gamer yang telah membuktikan prestasi.

Monica Carolina (28), atau lebih akrab disapa Nixia, usai lulus SMA memilih bekerja untuk sebuah developer gim dibanding melanjutkan kuliah. Karirnya semakin sukses sebagai pro gamer saat ia membentuk klub e-Sports perempuan, NXA-Ladies. Bersama klubnya tersebut, Nixia kerap disponsori salah satu merek hardware komputer. Sayangnya, kini klub e-Sports yang ia rintis hibernasi karena alasan pribadi.

Ketty Towiro (18), figur nyata dari perwakilan Generasi Z, terjun sebagai pro gamer dan mandiri secara finansial lewat profesinya. Ketty melatih kemampuannya bermain gim di warnet gim dekat kampusnya. Sekitar tahun 2018, Ketty direkrut Nixia menjadi aset NXA-Ladies. Kini Ketty memilih jalur mandiri menjalani karir sebagai pro gamer.

Hartanto (26), pro gamer sekaligus aset klub e-Sports Indonesia, EVOS. Bersama timnya, ia meraih medali perak SEA Games 2019 di Manila untuk nomor gim MOBA Arena of Valor. Jelang kejuaraan turnamen, Hartanto berlatih intensif bersama timnya di bootcamp. Seperti halnya olahraga kompetitif tradisional, e-Sports membutuhkan keterampilan, strategi, komunikasi, dan kerja tim. Untuk menjaga kestabilan konsentrasi, Hartanto melatihnya dengan olahraga fisik.

Olahraga virtual menuntut pro gamer total bermain gim memenangkan turnamen. Jika manajemen pembinaan pro gamer buruk, tidak tertutup kemungkinan terjadinya masalah kejiwaan dan kehilangan kesadaran ruang. Revolusi digital mampu mengubah orientasi impian sebuah generasi. Teknologi bergerak lebih cepat menembus sekat-sekat virtual yang kini menjadi sumber penghidupan. Bagaimanapun, pada substansinya manusia adalah makhluk yang selalu bermain (homo ludens) untuk menciptakan ruang hidupnya.