Waste Less

Waste Less

Sutanto Nurhadi Permana (Harian Umum Galamedia, Bandung)

Memori mengenai longsor gunungan sampah di TPA Leuwigajah masih terbayang di benak warga Bandung. Peristiwa menyedihkan pada Februari 2005 ini merenggut 157 nyawa dan meniadakan dua kampung. Sebuah tragedi yang menjadi tamparan sekaligus pelajaran.

Empat belas tahun setelah tragedi, Bandung Raya masih belum move on. Sampah mengiringi hajat manusia hingga akhirnya TPA Sarimukti, yang digunakan sebagai tempat pembuangan akhir sampah setelah tragedi Leuwigajah, menggunung. Masa penggunaan TPA Sarimukti pun akan berakhir pada 2022.

Melihat kondisi itu, ini adalah momentum yang pas untuk memulai gerakan sederhana berupa individu yang bijak mengelola sampah sehingga prosesnya tidak linear dan berakhir di TPA. Apalagi, dalam sehari Kota Bandung memproduksi sampah hingga 1.500 ton.

Gerakan sederhana bernama zero waste menjadi inovasi agar permasalahan sampah bisa terurai, bahkan teratasi. Melalui lima langkah, yakni Refuse, Reduce, Reuse, Recyle, dan Rot, gerakan zero waste berusaha mengurangi produksi sampah dan mengusung hidup tanpa sampah. Lima langkah yang menjadi prinsip dasar zero waste adalah hal paling mendasar dalam mengelola sampah.

Gaya hidup zero waste mengajak masyarakat untuk lebih memanfaatkan sampah organik. Memilih dan memilah sampah organik bisa mengatasi masalah sampah, karena dari 1.500 ton sampah yang dihasilkan tiap hari di Kota Bandung, 70% di antaranya adalah sampah organik.

Di RW 16 Kelurahan Sadang Serang, kebiasaan ini mulai diterapkan. Dibantu dua petugas pengangkut sampah dan edukasi rutin oleh Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), beberapa rumah mulai memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Selanjutnya, sampah organik dikelola langsung di kawasan tersebut. Sementara itu, di RW 9 Kelurahan Tamansari gerakan dilakukan oleh ketua RW Abah Dadi. Produksi sampah organik yang mencapai 50 kg/hari dari warganya diolah menggunakan maggot, sejenis serangga predator sampah organik. Nantinya, maggot memiliki nilai ekonomis karena dapat dijual sebagai pakan ternak.

Zero waste dalam struktur ekonomi dan sosial dihadapkan dengan tantangan yang berat dan berisiko. Pasalnya, gerakan tersebut menghadapi sebuah tatanan masyarakat yang begitu konsumtif dan praktis.

Pemerintah Kota Bandung membarengi gerakan zero waste dengan ajakan Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan); sebuah kebijakan politik demi terwujudnya Kawasan Bebas Sampah (KBS). Pemkot mengklaim laju pengangkutan sampah ke TPA dari Kota Bandung menurun. Jika sebelumnya peningkatan volume sampah mencapai 5–10% per tahun, maka pada 2019 mengalami penurunan menjadi 4%.

Gerakan zero waste merupakan langkah sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa pun untuk menghilangkan tragedi sampah Leuwigajah dari ingatan.