The Good Mother

The Good Mother

Bayu Eka Novanta (Pewarta Foto Lepas, Malang)

Puluhan orang berpenampilan seksi, namun bertubuh cukup kekar terlihat berjajar di tepi Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat malam itu. Sambil menenteng tas berisi alat make-up, mereka menunggu kedatangan ‘para tamu’.

Mereka adalah waria yang hampir tiap malam menjajakan diri demi mengais uang dari para pria hidung belang ibu kota. Beberapa catatan mengisahkan bahwa Taman Lawang sebenarnya sudah jadi lokasi berkumpulnya waria sejak tahun 1970-an.

Meski hingga kini masih terlihat segelintir waria yang ‘berjualan’ di kawasan itu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berhasil keluar dari lembah hitam itu. Salah satunya Yulianus Rettoblaut, atau yang lebih akrab disapa Mami Yuli.

Waria yang tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan, itu mengaku pernah menjadi ‘anak’ Taman Lawang. Dia mangkal dan menjajakan jasa seks berbayar di sana.

Setelah 15 tahun bekerja di bawah remangnya lampu jalan Taman Lawang aura Mami Yuli perlahan meredup. Pasalnya, para pelanggannya pergi dan beralih ke waria yang lebih muda.

Pensiun akhirnya jadi satu-satunya pilihan Mami Yuli. “Saya keluar dari dunia pelacuran karena sudah tidak laku lagi,”ceritanya.

Saat menerima kenyataan tak lagi diminati pria hidung belang itulah Mami Yuli kemudian membuat titik balik dalam hidupnya.

Dia kembali ke gereja, mendekatkan diri pada penciptanya dan berusaha bangkit dari kesuraman hidup yang selama ini membayanginya.

Perlahan Mami Yuli juga kembali ke tengah masyarakat. Dia melibatkan diri dalam kegiatan sosial. Hingga akhirnya kini menjalani peran sebagai Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI).

Bersama komunitasnya itu, Mami Yuli mengajak waria-waria untuk membuat hidup yang lebih baik dibanding harus menawarkan seks di tepi jalan.

Dia juga kerap berkunjung ke Taman Lawang untuk mengajak waria-waria lain mengikuti pelatihan keterampilan yang digelar FKWI bersama beberapa lembaga.

Di tengah misi sosialnya itu, Mami Yuli pun berusaha menjalani peran sebagai seorang ibu. Layaknya seorang wanita, dia hidup mengurus empat anak hasil adopsi dari beberapa saudaranya.

Berjalan memperbaiki hidup bagi Mami Yuli tak hanya lepas dari dunia hitam, tapi juga dengan memberi cahaya untuk saudara-saudaranya, seperti yang dia beri pada empat anak asuhnya sejak bayi.

“Dua anak laki-laki sudah duduk di bangku SMA dan yang nomor tiga masih SD. Sementara paling kecil ini berusia tujuh bulan,” tutur Mami Yuli sambil menimang Maria, anak bungsunya.

Mengingat lintasan hidupnya yang pernah kelam, Mami Yuli mengaku tak pernah terbayang akan menghabiskan masa tuanya dengan mengurus anak. Dia hanya dapat menyebut hidupnya saat ini sudah ditakdirkan kepadanya.

“Saya tak pernah menyangka. Yah, mungkin inilah kuasa Tuhan,” katanya. Usaha yang dilakukannya ini adalah salah satu bagian dari membangun cara pandang bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama.