Resilient

Resilient

Aprillio Akbar (Antara Foto, Jakarta)

Alangkah senangnya bila semua laki-laki bisa memahami wanita. Mencintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta menyadari bila perbuatannya telah menyakiti perasaan pasangan hidupnya. Namun, bagi sebagian perempuan, ini hanya sebuah angan-angan.

Musriyah (49), misalnya, pernah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sehari-hari, ibu satu anak ini bekerja mengurus toko. Hidupnya berjalan penuh tekanan karena sang suami kerap melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan. Apalagi, sang suami saat itu tidak bekerja dan enggan membantu aktivitasnya.

Meski mengalami masa-masa pahit, Musriyah tetap memilih keutuhan rumah tangganya. Dia bertahan demi masa depan anaknya. Musriyah memegang prinsip bahwa keluarga itu akan utuh apabila terdapat komitmen dan prinsip yang dipegang teguh bersama sang suami.

Mulanya, Musriyah tidak menyadari bahwa yang terjadi pada dirinya merupakan salah satu bentuk KDRT. Dia juga tidak peduli bahwa banyak korban KDRT lainnya yang tinggal di lingkungan rumahnya. Hingga akhirnya, dia mendapatkan edukasi dari Yayasan KAPAL Perempuan tentang kesetaraan gender dan pentingnya perempuan menyuarakan pendapat.

Atas inisasi yayasan tersebut, Musriyah bersama beberapa perempuan yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Rawajati mendirikan Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati pada Oktober 2003.

Sekolah itu didirikan sebagai wadah belajar bersama agar perempuan memahami kesetaraan gender, isu KDRT, dan mencari solusi apabila menjadi korban. Ini dilakukan untuk membentuk kesetaraan gender di lingkungan mereka, terutama di keluarga. Sejak didirikan hingga sekarang, setidaknya ada lima kasus KDRT yang sudah ditangani oleh Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati. Salah satunya kasus yang dialami oleh Yati (57).

Yati bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dia pernah mengalami masa kelam ketika mengetahui suaminya berselingkuh. Perempuan yang tidak lulus SD itu juga mengalami kekerasann psikis karena perilaku suami kepadanya. Setelah mendapat pendampingan dari Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati, Yati memutuskan untuk berpisah dan memilih hidup sendiri. Dia sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya.

Pada 2017, Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT menjadi kasus dengan angka paling tinggi, yaitu 335.062 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga belum berhasil sepenuhnya untuk menekan tingkat KDRT yang setiap tahun terus bertambah.

“Kami berharap pendidikan gender yang diajarkan di dalam Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati ini dapat menekan tingkat KDRT yang setiap tahun bertambah”, kata Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati, Musriyah.

“Aku perempuan, aku terus berjuang, melawan KDRT,” begitulah sepenggal lagu yang dinyanyikan para perempuan di Sekolah Perempuan Ciliwung Rawajati. Nyanyian ini menggema, seolah menjadi nafas semangat melawan tindakan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.