Mbah, Gendong Mbah

Ada kesibukan yang diharapkan, baik dalam keramaian atau kesunyian, di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Sahutan dari para penjual maupun pembeli di tempat itu menjadi sesuatu yang dinanti. Di kios, lapak, maupun sudut-sudut pasar, para wanita perkasa menunggu untuk dipanggil namanya.

Wanita-wanita perkasa itu tidak berusia muda, tapi jiwanya muda. Kerutannya bukan penanda kelanjutan usia, tapi keperkasaan yang menjiwa. Keikhlasannya ditujukan kepada semesta, atas apa yang ia capai dan dapatkan.

“Alhamdulillah, berapa pun itu sudah rezekinya.”

Berat yang dipanggul dianggap sebagai anugerah. Dua digit kilogram beban di pundak sudah menjadi hal yang biasa, memikul berbagai rempah, sayur mayur, daging, dan bahan makanan lainnya. Kakinya tetap mampu melangkah dengan kokoh, menaiki dan menuruni setiap anak tangga dari dalam pasar menuju area parkir yang tidak dekat. Tubuhnya memang bukan tubuh binaraga, tapi ototnya telah terlatih sejak lama.

Tokoh-tokoh dalam kumpulan foto ini terlihat apa adanya, mencerminkan realitas dalam sebuah visual cerita. Jejak mereka akan tetap abadi, keikhlasan dan kebaikannya dirasakan seluruh penghuni pasar. Kisah mereka diungkapkan melalui gambaran yang dapat dirasakan dengan mata, hati, dan pikiran; merasuki apa yang menjadi pandang mata.

Buruh gendong Pasar Beringharjo, rupa dedikasi untuk kehidupan.