Jalan Pintas

JALAN PINTAS
Dharma Wijayanto, Majalah GATRA

Menyontek bukan hal asing dalam dunia pendidikan. Ini adalah jalan pintas yang dilakukan untuk memperoleh hasil terbaik terlebih ketika menghadapi ujian.

Kasus ironis terjadi di SDN Gadel 2 Surabaya (2011) ketika seorang siswa bernama Alifah Ahmad Maulana (13) dipaksa gurunya memberikan sontekan kepada siswa lain saat ujian nasional agar semua lulus dengan nilai baik. Alifah menceritakan kejadian ini kepada sang ibu, Siami. Tidak terima dengan sikap guru tersebut, Siami melaporkan si guru ke pihak sekolah. Alih-alih mendapat respon positif, ia malah dikucilkan oleh orangtua siswa lainnya bahkan diusir oleh warga dari tempat mereka tinggal.

Berangkat dari kejadian ini, menyontek dianggap sebagai sesuatu yang permisif dan sah. Mencapai angka kelulusan ujian setinggi-tingginya menjadi ajang perlombaan sekaligus pertaruhan tersendiri bagi pihak sekolah dan pelaku pendidikan. Tak jarang berbagai pemufakatan yang berujung pada praktek menyontek menjadi hal lumrah. Kejujuran bukan lagi prioritas, bahkan harus berada pada level terakhir pencapaian proses belajar.

Siswa mengemukakan berbagai alasan mengapa mereka harus menyontek. Umumnya karena ada tekanan dan tuntutan yang dipaksakan di luar jangkauan kemampuan mereka. Selain itu, untuk memuaskan kepentingan berbagai pihak seperti dari orangtua, guru, maupun lingkungan sekitar.

Berbagai trik menyontek yang telah turun menurun dilakukan: memilin gumpalan kertas sekecil mungkin, menyembunyikan buku pelajaran di laci maupun di bawah meja, menulis catatan di paha atau anggota tubuh lain yang memungkinkan, fotokopi ukuran kecil, hingga pemanfaatan teknologi seperti telepon seluler.

Meski curang pelaku menyontek tidak pernah mendapat hukuman pasti, mereka hanya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Makna belajar dalam dunia pendidikan yang mereka tempuh tidak ada artinya kecuali memuaskan tuntutan orangtua, pihak sekolah dan diri sendiri lewat jalan pintas.