Foto : Muradi (Kontan)

Jika Anda membaca satu artikel di koran atau majalah, biasanya tak hanya berisi teks semata tapi juga foto-foto untuk menunjang isi artikel. Nah, jenis foto-foto yang dibuat untuk mendukung kebutuhan editorial sebuah media inilah secara umum dikenal dengan istilah Editorial Photography.

 Pada prakteknya, foto-foto untuk kebutuhan editorial sangat beragam. Ambil contoh media cetak, misalnya majalah atau koran seperti Vanity Fair, TIME, Newsweek, TEMPO, KOMPAS, Kontan, dll. Mereka memuat foto-foto dari berbagai katagori sesuai dengan kebutuhan, bisa berupa katagori potret, spot news, features, olah raga, dan masih banyak lagi. Untuk menunjang artikel maupun kebutuhan cover, media banyak memanfaatkan jenis foto potret yang mengangkat figur seseorang, baik tokoh kenamaan maupun orang biasa – kita menyebutnya Potret Editorial (Editorial Portraits).

Menyadari fungsi penting dan kekuatan foto Potret, presentasi foto dan diskusi yang diadakan oleh PannaFoto Institute kali ini mengangkat tema “Menangkap Karakter”. Dalam event pembuka rangkaian Permata Photojournalist Grant 2012, pewarta foto Ahmad Zamroni (Forbes Indonesia), Muradi (Kontan) dan S. Bronto (Media Indonesia) berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka membuat foto-foto Potret.

Foto Potret memang selalu berhubungan dengan memotret wajah, profil, atau orang. Sehingga orang seringkali menganggapnya hanya sebagai pasfoto saja. Padahal jenis foto ini mempunyai kekuatan tersendiri dan dalam eksekusinya sendiri seringkali tidaklah mudah.

“Semua potret bagi saya menarik. Pasfoto untuk KTP, paspor, forensik polisi, album keluarga dan semuanya menarik. Semua orang suka dan akrab dengan potret. Tapi ada satu aspek yang membuat yang editorial menjadi istimewa. Ia diterbitkan, digandakan, diperbanyak untuk disebarluaskan. Menjadi publik, tak lagi personal atau privat dengan suatu pesan yang disadari untuk disampaikan atau disebarluaskan,” papar Ahmad Deny Salman, seorang fotojurnalis, pendidik, maupun kurator.

Foto-foto potret sebetulnya bukanlah hal yang baru. Pada masa-masa awal, dunia fotografi justru dimulai dengan jenis foto potret yang banyak melahirkan fotografer-fotografer dunia kenamaan. Sebut saja seperti Yousuf Karsh (1908 – 2002) yang terkenal dengan foto potret Winston Churchill, Eve Arnold (1912 – 2012) yang memotret Marilyn Monroe, Cecil Beaton (1904 – 1980), Richard Avedon, hingga Annie Liebovitz yang banyak menggarap foto cover untuk majalah Rolling Stone dan Vanity Fair. Siapa yang tak ingat foto Migrant Mother karya Dorothea Lange. Kita juga mengenal nama Kassian Cephas, fotografer kraton di jaman Hindia Belanda yang banyak membuat foto-foto potret.

Meskipun berada dalam satu genre yang sama, tentunya ada perbedaan yang signifikan antara Potret Editorial dengan jenis foto Potret di luar kebutuhan editorial. Dalam hal ini Deny berpendapat bahwa perbedaan tersebut hanya terletak pada fungsi atau penggunaannya saja. Menurut salah satu mentor Permata Photojournalist Grant 2011 yang juga berprofesi sebagai fotografer lepas ini, siapa saja bisa menggunakan potret yang sama untuk editorial, untuk digantung di dinding, di dalam koleksi album keluarga, atau untuk photo profile-nya di sosial media.

“Sekali lagi, itu hanya beda di penggunaannya saja. Yang berbeda adalah gaya atau style dari masing-masing fotografernya atau karena tuntutan editorialnya.”

Foto : Muradi (Kontan)

 

MENANGKAP KARAKTER & PENDEKATAN

Potret Editorial dituntut untuk mampu menyampaikan pesan editorial atau media  yang bersangkutan tanpa harus meninggalkan kepentingan untuk menghadirkan karakter dari tokoh/profil yang difoto. Karenanya ekspresi wajah sangat dominan untuk mengungkapkan karakter, kepribadian bahkan perasaan dari tokoh/profil tersebut. Disinilah kemampuan seorang fotografer diuji untuk bermain ide maupun konsep dalam pengerjaan Potret Editorial.

Kolaborasi antara kemampuan menangkap karakter sekaligus mampu menyampaikan pesan sesuai isi artikel atau pesan editorial, tentunya bukan hal yang mudah. Muradi salah satu fotografer Harian KONTAN juga mengakui hal ini.

“Kendala tentu ada, makanya sebelum pemotretan kita selalu ada rapat redaksi. Jadi penentuan konsep, perlengkapan, sudah dibahas dan didiskusikan sebelum pemotretan. Mengenai ide, tak jarang ide maupun konsep bisa datang dari fotografer itu sendiri,” ujar Muradi.

Konsep maupun ide bisa jadi cukup penting. Namun bagi Muradi yang juga menjadi salah satu peserta workshop Permata Photojournalist Grant 2011, pendekatan adalah faktor lain yang sangat penting bagi seorang fotografer dalam mengerjakan assignment Potret Editorial.

Untuk mengenal tokoh atau profil yang akan difoto, ia kerap meluangkan waktu untuk tandem dan ikut meliput bersama-sama reporter. Menurut pria kelahiran 29 Juni 1981 ini, cara tersebut cukup jitu untuk perkenalan diri sebagai langkah komunikasi awal sekaligus membangun kedekatan dengan subjek yang akan difoto.

 

Foto : Ahmad Zamroni (Forbes Indonesia)

Lain fotografer, lain cerita. Ahmad Zamroni mengungkapkan tantangan yang berbeda dengan Muradi, mengingat ia bekerja untuk Forbes Indonesia, media yang mengangkat profil para pebisnis sukses. Narasumber yang akan difoto sebagian besar bukan orang-orang yang butuh publikasi dengan jadwal kesibukan yang sangat tinggi.

Sebagai pemilik perusahaan atau orang pertama di organisasi, mereka (para pebisnis dan CEO) mempunya staf-staf yang berlapis, sistem birokrasi yang rumit, dan tidak pernah ada yang berani meminta mereka melakukan sesuatu. Sementara untuk kebutuhan Potret Editorial, yang terjadi justru sebaliknya, mereka yang biasanya memerintah kali ini justru diperintah oleh seorang fotografer. Terlepas dari itu semua, hal tersebut malah menjadi tantangan bagi Roni untuk mendapatkan hasil foto seperti yang ia mau.

Dalam pengerjaan Potret Editorial, Roni juga mengingatkan beberapa hal lain seperti kerjasama antara redaksi dan investor ketika menentukan foto mana yang akan dimuat.

“Untuk cover, foto yang diperlukan terkadang justru foto yang sederhana. Dalam media, ada pro-kontra antara fotografer dan publisher,” kata Rony saat berbagi pengalaman. Tak hanya itu, fotografer juga harus siap akan kemungkinan foto yang dibuat akan dijadikan cover. Artinya, fotografer perlu memiliki imajinasi akan tata letak (layout), posisi teks dan masthead, perlunya space dalam foto yang dibuat.

Ide, konsep, dan pendekatan memang diperlukan. Dalam eksekusinya, adakalanya fotografer dihadapkan pada lokasi atau kenyataan di lapangan yang jauh dari konsep yang sudah disiapkan sebelumnya. Seperti yang dialami Bronto yang banyak memotret foto potret untuk majalah Kick Andy. Tak jarang ia harus memotret tokoh kenamaan, seniman, public figure dengan keterbatasan waktu dan lokasi dimana ia hanya punya kesempatan memotret mereka 15 menit sebelum tapping acara Kick Andy Show.

Foto S. Bronto (Media Indonesia)

Pada akhirnya, foto potret kadang tak harus terkonsep yang penting adalah kemampuan fotografer menggali kreativitas. Bronto kadang mengakalinya dengan bertumpu pada peralatan, khususnya flash dan bermain dengan lighting. Bagi Bronto yang selalu membawa dua flash saat pemotretan, peralatan pun tidak harus yang serba canggih dan komplet. Yang penting adalah kemampuan menghasilkan sebuah foto potret yang maksimal meski dengan peralatan yang minim dan simple.

 

DUA MODAL UTAMA

Salah satu yang menarik dari Potret Editorial adalah tantangan bagi sang fotografer untuk mengeksplor ide, menggali kreativitas dan kemampuan untuk bermain-main dengan konsep pemotretan. Eksekusi yang maksimal didukung ide, kreativitas, dan konsep yang matang bisa menciptakan sebuah Potret Editorial yang berhasil. Tapi, Deny Salman kembali mengingatkan bahwa fotografer bisa saja bertopang pada teknik, peralatan, dan budaya sebagai sumber eksplorasi dari sebuah Potret Editorial.

Foto S. Bronto (Media Indonesia)

 

Deny pun menambahkan, “Khusus tentang budaya, ini yang sangat kurang. Fotografer kita lebih senang bermain-main dengan peralatan dan teknik, tidak pada bahasa visual atau gambar. Hal itu memerlukan pengetahuan tentang budaya dan tradisi atau perilaku kita sendiri, bukan sekadar mencontek bahasa gambar dari tradisi-tradisi masyarakat lain.”

 Dalam perkembangan media lokal sendiri, kita bisa lihat begitu banyak jenis media cetak maupun elektronik. Deny berpendapat, disatu sisi ini tentunya merupakan hal yang sangat bagus. Artinya, kebutuhan akan foto, termasuk potret, juga meningkat. Sayangnya, hal ini tidak serta merta diikuti dengan pertambahan ‘kualitas’ fotografi. Ia pribadi percaya ada cukup banyak fotografer yang bisa lebih dari sekadar memenuhi standar, namun tidak diimbangi dengan kemampuan seorang editor foto yang memadai. Tradisi apresiasi dan kritik/tantangan juga belum berkembang di sini.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, ia masih meyakini hal positif bahwa akan adanya keragaman gaya dalam Potret Editorial. “Tak hanya seperti pasfoto ala koran yang sering disebut ‘head shot’ itu. Kita bisa melihat beda antara TEMPO, Forbes, Esquire, Rolling Stones, dan lain-lain sekarang ini.”

Dengan kata lain, bukan hal yang mudah bagi seorang fotografer untuk menghasilkan karya Potret Editorial yang tak hanya indah saat dipandang tapi juga potret yang iconic dan begitu melekat di benak. Deny pribadi mencontohkan foto Potret Editorial yang cukup kuat di benaknya, yaitu potret Susi Susanti dengan medali emas olimpiade-nya, karya Alm. Kartono Riyadi, salah satu fotografer KOMPAS.

Singkatnya, bagi Deny Potret Editorial yang berhasil adalah potret yang menyampaikan pesan editorial-nya. Tapi, ia juga menekankan perlunya dua modal utama bagi seorang fotografer yang hendak menekuni dan bergelut di dunia Potret Editorial.

Pertama, menjunjung tinggi dan menghargai individualisme. Setiap orang adalah unik. melalaui potret itu lah kita menunjukkan rasa hormat dan menampilkannya sebagai individu, sebagai suatu karakter. Kedua, adalah pengetahuan. Tanpa pengetahuan fotografer hanya menjadi alat rekam saja, menjadi mekanis, seperti self-timer kamera belaka. Dia harus membuka diri, menyerap dan mengolah pengetahuan. Terus menerus. Belajar lagi. Belajar lagi. Tiada henti.”  (AWS)