Rangkaian progam Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 hampir mendekati proses akhir. Namun sebelum itu, peserta PPG harus melewati workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Dalam sesi khusus ini, proyek foto masing-masing peserta akan ditinjau dan disusun ulang hingga menghasilkan final editing.

Kelas dibagi menjadi tiga kali pertemuan. Pada hari Jumat, (29/01/2021), ada tiga peserta yang mengikuti sesi khusus bersama Jenny ini, yaitu Indra Abriyanto (Harian Rakyat Sulsel, Makassar), Fanny Kusumawardhani (Fotografer Lepas, Jakarta), dan Rifkianto Nugroho (Detikcom, Bekasi).

Setiap peserta nantinya mendapat kesempatan sekitar satu jam untuk berdiksusi bersama Jenny dan mentor lainnya, mulai dari mempresentasikan karya, menampilkan enam puluh foto terpilih, mengeliminasinya menjadi dua puluh foto, hingga menyisihkan dua belas foto yang diurutkan dengan metode sequencing.

“Setiap kali melakukan proses editing, saya selalu ingin melihat all take-nya sehingga saya bisa membaca pendekatan yang dipilih oleh fotografer. Yang paling penting bagi saya sebagai editor, adalah melihat dan memahami suatu cerita tanpa harus ada yang bercerita secara harfiah kepada saya. Jadi, jika semua visual yang diperlukan ada dan lengkap, kita bisa melihat itu semua,” papar Jenny saat memulai sesi.

Menurut Jenny, untuk membangun photo story yang bagus, kita harus menyiapkan berbagai stok foto, tidak hanya yang memperlihatkan isi cerita tetapi juga yang bisa menentukan ritme dalam cerita. Misalnya, foto yang direkam dengan jarak pandang dekat maupun jauh (overview), foto yang bisa mengenalkan lokasi cerita, atau foto portrait dari orang-orang yang terlibat di dalam cerita. Sehingga, saat proses editing kita tidak kekurangan bahan cerita.

“Indra, dari editing yang sudah Anda kerjakan, foto mana yang paling penting bagi Anda? Foto mana yang bisa menceritakan seutuhnya dan mungkin bisa menjadi pembuka cerita?” Tanya Jenny kepada peserta pertama, Indra Abriyanto, sambil mempelajari berbagai macam foto.

Jenny selalu bertanya dan berdiskusi dengan para peserta tentang foto apa yang cocok dijadikan sebagai pembuka, kemudian bergerak alur demi alur, sampai pada penutup cerita dan mengapa foto-foto tersebut pantas dipertahankan.

“Bagi saya editing yang bagus itu adalah kombinasi yang mencakup dari berbagai aspek. Tidak hanya memmpertimbangkan foto dari segi konten, tapi juga foto-foto mana yang paling menarik bagi orang yang sedang melihat,” tutur Jenny.

Yang menarik dalam kelas kali ini, ketiga peserta menyajikan cerita dengan pendekatan, mood visual, dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Proyek foto yang dikerjakan Indra, misalnya, bercerita tentang seorang penyintas Covid-19 yang mengalami stigma dari tetangga di sekitar rumahnya. Menurut Jenny, foto-foto dari proyek ini terasa gelap dan gloomy. Ia memberi peringatan bahwa kita harus berhati-hati ketika menyusun urutan foto, jangan sampai kesan cerita yang dihasilkan terlalu berat dan kelam.

Selain Indra, cerita reportase juga dibuat oleh Rifkianto Nugroho. Cerita Rifki berfokus pada masalah body shaming dan standar kecantikan perempuan. Tokoh utamanya adalah seorang binaragawati yang mengalami body shaming, entah itu ketika kondisi tubuhnya masih gemuk maupun setelah melakukan aktivitas olah otot dan diet ketat.

Proyek foto yang dibuat Rifki cukup sulit untuk dibentuk dan disusun menurut Jenny. Ada banyak bahan, lokasi, dan komponen yang menarik. Namun pada saat yang sama, hal itu jadi sulit untuk menentukan dan memilih mana foto yang penting dan mana yang perlu dikeluarkan dari sequence.

Lalu, ada Fanny Kusumawardhani yang menyajikan cerita dengan pendekatan personal. Berbeda dengan Indra dan Rifki, foto cerita yang dibuat Fanny sifatnya konseptual. Ia membuat foto dari pantulan gambar yang diproyeksikan di dinding tempat tinggalnya yang sekarang. Subjek dalam foto yang dibuat Fanny adalah anggota keluarganya yang terpisah jauh akibat situasi pandemi Covid-19. Proyeksi itu menciptakan kesan yang seolah-olah nyata, padahal mereka tidak hadir secara fisik bersama Fanny.

“Perbedaan yang sangat besar dari cerita ini dengan cerita sebelumnya adalah karena foto-fotonya agak mirip. Jika Anda biasanya membuat photo story dengan narasi yang memiliki alur awal sampai akhir, kali ini tidak ada. Untuk mengurutkannya, kita harus melihat komposisi serta warna, dan bukan isinya. Sebab proyek ini konsepnya sama, formatnya sama, warnanya juga hampir sama. Jadi, kita harus mempertimbangkan ritme,” jelas Jenny menanggapi cerita yang ditampilkan Fanny.

“Bagaimana pendapatmu melihat hasil karyamu yang sekarang?” tanya Ng Swan Ti di sela-sela diskusi. Fanny mengungkapkan bahwa proyek ini cukup menantang bagi dirinya karena harus keluar dari zona nyaman dan mulai berani bercerita tentang dirinya sendiri.

Di akhir sesi, Jenny mewanti-wanti bahwa tidak ada editing foto yang paling benar dan selalu ada alternatif yang beragam. Fotografer juga harus punya pertimbangan apabila ingin mengeliminasi satu foto dan menggantinya dengan foto yang lain. Mengganti urutan foto berarti akan mengubah isi dari cerita yang ingin disampaikan.

“Pesan saya, jika nanti Anda mengubah editing yang sudah dikerjakan ini, lakukanlah dengan sadar sebab cerita Anda bisa berubah,” kata Jenny. // Rizka Khaerunnisa