Workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda, kembali dilanjutkan, Selasa, (02/02/2021). Sama seperti pekan lalu, setiap peserta membuka sesi editing dengan menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto terpilih dari 4 sesi Photo Editing. Kemudian dilanjutkan dengan dengan menampilkan dua puluh foto pilihan, lalu dipilih lagi menjadi dua belas foto untuk kemudian dirangkai menjadi final sequence.

Pada pertemuan kedua ini, ada empat karya yang ditelaah. Keempat karya itu dibuat oleh Suci Rahayu (Kompas.com, Malang), Johannes P. Christo (Pewarta Foto Lepas, Denpasar), Nita Dian Afianti (Tempo, Jakarta), dan Nopri Ismi (Mongabay Indonesia, Kab. Bangka Tengah).

Keempat karya memiliki pendekatan storytelling yang berbeda-beda, mood visual yang bermacam-macam, serta gaya dan teknik yang beragam. Dalam hal pemilihan warna foto misalnya, ada yang memilih foto berwarna seperti pada karya Suci dan Nita serta ada pula yang memilih foto hitam-putih seperti pada karya Christo dan Nopri.

Meski sama-sama foto berwarna, ada perbedaan signifikan pada karya yang dibuat Suci dan Nita. Suci misalnya, ia memainkan warna-warna yang menimbulkan rasa gloomy dan sendu dalam setiap potretnya. Tak heran, sebab rasa-rasa seperti itu cocok dengan cerita yang ingin ia angkat. Kisah di dalam fotonya sangat personal, ada semacam ruang dialog dengan dirinya sendiri. Ruang dialog itu adalah proses healing yang tengah ia hadapi atas situasi perpisahan dengan pasangan sekaligus memaknai kembali hubungan dengan orangtua dan anak-anaknya, sementara di sisi lain harus tetap bertahan dalam kondisi pandemi yang serba tidak pasti.

“Ini cerita yang sangat bagus. Foto-foto ini menggugah efek dan mood tertentu di dalam diri saya. Apalagi terkait dengan situasi pandemi yang membuat kita terkurung di dalam rumah. Namun pada saat yang sama, saya masih bisa merasakan harapan yang muncul di dalam foto ini,” komentar Jenny saat mencermati satu demi satu foto karya Suci.

Sementara itu, Nita memilih eksperimen dengan sentuhan warna-warna cerah, seperti kuning, merah muda, dan putih. Namun warna cerah tak serta merta mengindikasikan isi cerita yang gembira. Sebaliknya, cerita yang dimunculkan Nita cukup kelam, yaitu tentang seorang penyintas kekerasan seksual di halte Harmoni Transjakarta pada 2014 silam. Dalam konteks ini, warna-warna cerah direpresentasikan sebagai harapan dan kekuatan seorang penyintas yang berupaya merebut kembali hak dan kendali atas hidupnya.

“Cerita ini adalah contoh yang bagus tetapi cukup sulit disusun menjadi sebuah sequence ya, sebab kita harus mempertimbangkan banyak elemen. Selain pertimbangan unsur cerita dan warna, Anda juga harus mempertimbangkan antara foto yang tajam dan yang halus. Selain itu, di sini juga banyak foto yang simbolis, jadi kita harus berhati-hati menyeleksinya,” kata Jenny mengungkapkan kesulitannya saat melakukan proses editing.

Selanjutnya beralih ke foto cerita hitam-putih pada karya Christo dan Nopri. Christo membuat cerita dengan langgam serupa dokumenter sementara Nopri cenderung bersifat reportase.

“Apakah ada alasan khusus kenapa memilih warna hitam-putih?” tanya Jenny kepada Christo.

Christo menjelaskan bahwa pemilihan warna hitam-putih merujuk pada efek tertentu yang bisa menonjolkan sifat keliaran pada subjek foto, sehingga ia sengaja mengeliminasi warna-warna yang mengganggu. Sebagai informasi, proyek foto yang dibuat Christo bercerita tentang anjing-anjing di Bali yang dilepas-liarkan oleh pemiliknya dan hal tersebut telah menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Bali.

Selain Christo, ada Nopri yang mengangkat cerita reportase tentang komunitas suku laut Sekak di pulau Bangka. Imbas kebijakan pemerintah yang pernah dibuat pada era Soeharto membuat kehidupan suku laut berpindah ke daratan. Kini keberadaan mereka semakin terdesak akibat adanya aktivitas industri pertambangan timah serta problem regenerasi budaya dan kepercayaan lokal yang pelan-pelan mengikis.

Setelah mencermati foto-foto karya Nopri, Jenny mengungkapkan kesan bahwa ia seolah-olah mengenali karakter dan gaya tertentu yang acapkali diadopsi oleh banyak fotografer dokumenter. Ada permainan cahaya terang-gelap, efek blur, dan hitam-putih yang dramatis.

“Saya melihat kombinasi beberapa gaya fotografer dalam cerita ini dan itu sebetulnya bukan masalah besar. Namun jangan lupa, Anda juga harus mempertimbangkan bahwa orang-orang perlu mengenali karakteristik yang khas pada diri Anda, yang membedakannya dari fotografer-fotografer lain. Jadi harus berhati-hati saat mengadopsi gaya tertentu,” tutur Jenny memberi catatan. // Rizka Khaerunnisa