Rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 terbagi dalam lima sesi Developing Photo Story. Sesi pertama dibawakan oleh Edy Purnomo, sesi kedua oleh Yoppy Pieter, dan kali ini, peserta mendapatkan materi tentang Riset dalam Fotografi Dokumenter dari Saša Kralj, founder Živi Atelje DK, jumat 11 Maret 2022. 

Sebagai menu pembuka, ia menampilkan sebuah foto yang ia ambil di Cape Town. Ia memberi takarir 4W sederhana; Siraj and Fatima embrace and pose during the wedding photo shoot by the ocean at the Muillepoint in Cape Town, South Africa, January 30. 2010. Dengan foto itu, Saša menerangkan bagaimana riset sebagai ide dapat bekerja saat kita sedang membuat cerita foto. Takarir 4W foto tersebut menjelaskan hal-hal yang berada dalam level deskriptif– seperti tokoh protagonis yang dapat kita identifikasi sebagai Siraj dan Fatima. 

Pada level ini, kita juga dapat melakukan observasi singkat berdasar pengetahuan umum. Dari foto tersebut, pengetahuan umum yang tercetus adalah tentang pernikahan dan Afrika Selatan. Pernikahan berasosiasi dengan kebahagiaan, ditambah riset sederhana, kita akan mengetahui jika menurut laporan statistik Afrika Selatan, angka pernikahan meningkat 3% selama satu dekade ke belakang dan angka perceraian menurun hingga seperempatnya di periode yang sama. 

Di level deskriptif (descriptive level), foto itu adalah sebuah foto pernikahan bahagia yang klise, membosankan dan sering kita lihat. Oleh karena itu, Saša menyarankan untuk membawanya ke ke level representatif (representative level). Di level ini kita perlu mengajukan lebih banyak pertanyaan– landasan bagaimana kita melakukan riset. Sebagai contoh, 

“Apa yang direpresentasikan oleh si protagonis?

Apakah mereka hanya merepresentasikan pasangan bahagia atau sesuatu yang lain?

Apakah mereka merepresentasikan dominasi patriarki?

Apa yang mereka representasikan?”

Untuk berpindah dari level deskriptif ke level representatif, kita perlu menambahkan konteks.“Setiap foto memiliki konteks. Tidak ada hal di dunia ini yang eksis tanpa konteks,” ujar Saša.  Dengan berpikir menggunakan konteks, kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan tidak ada hubungannya dengan pengetahuan umum di awal. 

Saša lalu memberi data komoditas seperti telur, buah kering, susu, cincin kawin bahkan tiket penerbangan, yag ternyata mendapat keuntungan dari ajang perkawinan. Ia kemudian menjabarkan bagaimana 10 juta telur yang dibutuhkan untuk membuat kue pernikahan terkait dengan kondisi pekerja di peternakan ayam. Dengan berpikir menggunakan konteks, kita dapat mengembangkan ide cerita bahkan hingga ke arah sebaliknya. 

Saat membuat cerita foto, secara bergantian kita dapat berpindah dari level deskriptif ke level representatif. Namun, lebih jauh lagi, Saša mengajak kita untuk menapak level intim (intimate level). Di level intim, kita perlu menggali pengetahuan lebih dalam tentang tokoh protagonis dan tindakan mereka. Meski Saša tidak berkesempatan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Siraj dan Fatima, ia memberi contoh pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengenal situasi mereka,

“Mengapa mereka menikah?”

Apa yang terjadi jika dia tidak menikah?”

Saša mengutip ucapan seorang storyteller yang ia temui di sebuah lokakarya, sebagai storyteller, kita harus mengetahui semua aspek cerita yang ingin kita ceritakan. Tetapi saat kita bercerita, kita tidak boleh menceritakan semuanya. Kita harus selalu memilih apa yang akan kita katakan. 

Di level keempat, Saša menguraikan tentang bagaimana berpindah dari level intim ke level implikasi (implications level). Di tahapan ini, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri; Apa yang akan saya lakukan dengan proyek ini? Apakah proyek ini membawa perubahan? Perubahan seperti apa? Jika proyek ini selesai, apakah akan menguntungkan atau merugikan si protagonis? Bagaimana dengan respon yang berlawanan?. Pertanyaan-pertanyaan penting ini memerlukan teknik riset yang berbeda. Proses ini esensial bagi usaha kita untuk memahami cerita lebih dalam.

Tidak berhenti di sini, Saša membawa kita ke level berikutnya, yaitu level tujuan (purpose level). Di level ini, kita menginterogasi diri sendiri lebih jauh dan mempersoalkan,

“Bagian mana dari pengetahuan saya yang saya anggap enteng?

Bagian mana dari data ini yang perlu saya pertanyakan lebih lanjut?

Apa yang saya ingin audiens rasakan? 

Mengapa saya ingin mereka merasakannya? 

Apa yang harus saya lakukan selain menulis atau memotret? 

Adakah hal tak terduga terjadi dan membuatku terkejut?”

Kelima level di atas terjalin berkelindan dan merupakan lima cara berpikir untuk melakukan riset. Saat membuat cerita foto, kita harus melewati kelima tahapan ini. Nantinya, saat kita mendapat data yang melimpah– hasil dari bertukaran lima cara pikir, kita dapat memilih tataran mana yang menjadi tumpuan cerita foto. 

“Kita tidak melihat apa yang tidak kita ketahui. Kita hanya melihat apa yang kita pikir kita tahu. Inilah sebabnya mengapa cara kita memotret berubah jika kita melakukan riset dengan lima cara berpikir ini,” terang Saša. Kemudian sepuluh peserta dibagi kelompok kecil untuk saling berdiskusi, mengaitkan mind map proyek foto mereka dan lima level cara berpikir.

Setelah sesi diskusi, Saša melanjutkan materi dengan membedah cara kerja mind map dalam riset fotografi. Masih terkait dengan lima level cara berpikir di atas, setiap level dapat memiliki mind map-nya sendiri. Meski memiliki metodologi yang berbeda-beda, kelima level tersebut memiliki kesamaan yaitu daftar pertanyaan umum tentang cara berpikir. Bagaimana cara berpikir di setiap level akan memandu kita– bagaimana mengajukan pertanyaan saat melakukan riset. Dengan demikian, mind map bukanlah lis hal-hal yang telah kita ketahui, namun sebuah kerangka provokasi. 

Maka, saat kita berpikir bahwa mind map yang kita buat sudah selesai, itu adalah sebuah kesalahan. Sebab kita berpikir jika kita sudah tahu. Mind map bukanlah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh foto. Mind map mestinya menjadi pemicu untuk mendapatkan lebih banyak pertanyaan tentang sebuah cerita. Sehingga kita bisa memiliki cerita yang berbeda dan bermakna.

Kita hidup di era semua orang dapat memotret dengan mudah, era di mana kita pikir kita dapat membuat foto yang bagus karena bantuan teknologi. Tidak ada foto tanpa konteks dan tak ada konteks tanpa pemikiran kreatif. Konteks adalah konsekuensi dari pemikiran kreatif. Sebagai seorang storyteller, penting untuk mampu menemukan konteks, yaitu daya untuk dapat menghubungkan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Memiliki daya tersebut memperkaya perspektif storyteller dan pada akhirnya memperluas relevansi cerita foto.   

Saša secara singkat menjabarkan pentingnya memiliki metode belajar. Sebagai seorang storyteller, kita adalah guru dan murid dalam waktu bersamaan. Saat kita mempublikasikan cerita foto, kita adalah guru. Saat kita sedang riset dan mengerjakan cerita foto tersebut, kita adalah murid. Metode belajar paling mudah adalah dengan melakukan repetisi dan memiliki keingintahuan tinggi. Kita juga perlu belajar untuk mengetahui siapa target audiens kita dan medium presentasi apa yang dapat digunakan. Semakin beragam target audiens, semakin banyak kemungkinan presentasi karya yang dapat dieksplorasi. Tak terasa 180 menit berlalu, Saša mengakhiri materi Riset untuk Fotografi Dokumenter setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta kelas.