Seroang fotografer tak hanya wajib mengasah kemampuan teknis fotografinya tapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis agar  foto cerita yang dibawakan tidak klise. Selama hampir 3 jam, Sasa Klarj mentor PPG asal Kroasia menantang peserta untuk berani bertanya, tak peduli seaneh apapun pertanyaannya.

Sebelum masuk pada pemaparan teori, secara singkat Sasa mengulas beberapa foto piihan dan mind map para peserta. Dimulai dari Muhammad Tohir yang mengangkat  isu anak disabilitas di sekolah inklusi, menurut Sasa, foto yang dihadirkan Tohir – seorang anak termangu sendiri dengan warna hitam putih muram justru berpotensi melanggengkan stigma anak berkebutuhan khusus, “Inklusi itu seharusnya melibatkan semua orang, semua orang merasa terlibat. Dalam foto ini kamu justru seperti meliyankan mereka dengan yang tidak disabilitas,” jelas Sasa.

Ia kemudian beralih ke foto Muhammad Ihsan yang bercerita tentang penyintas bipolar. Sebelum menilai foto, Sasa dengan cepat menanyakan apa itu bipolar? Sejauh mana riset yang kamu lakukan pada isu ini? Ia meminta Tohir untuk memperkaya referensi bacaan, tak hanya dari Ilmu Psikologi, tapi juga lintas ilmu lainnya agar pemahamannya semakin kritis. Sasa lalu melompat ke foto Muhammad Bagus, ia menilai mind map yang dibuat Bagus terlalu dangkal untuk mengangkat isu pekerja imigran. Ia kemudian mereferensikan Bagus untuk membaca tema serupa karya Au Loim Fain (Romy Perbawa) dan Hopes and Dreams (Okky Ardya).

Penilaian Sasa terus beranjak dari satu peserta ke peserta lainnya. Secara keseluruhan, Sasa menangkap kurangnya riset dan daya kritis terhadap isu yang akan diangkat. Tanpa riset mendalam, semua isu yang dibawakan terkesan menjustifikasi subyek cerita. “Kita tidak lihat apa yang tidak kita tahu, untuk itulah kita perlu riset dan eksplorasi mendalam,” sambungnya.

Untuk menghasilkan foto yang tak klise dan banal, Sasa menawarkan lima cara berpikir kritis dan kreatif: (1). Descriptive level, (2). Representative level, (3). Intimate level, (4). Implication level, dan (5). Purposes level.

Menurut Sasa, apa yang para peserta hasilkan sampai saat ini baru menyentuh level deskriptif. Untuk itu, sebelum datang ke lokasi penting bagi mereka untuk mengasah terlebih dulu pisau analisis dengan riset dan mind map yang tajam. Merespons Sasa, Himawan sepakat berpikir kritis pada segala hal tentu tidak nyaman, tapi di baliknya justru muncul kreativitas yang tanpa disangka dapat menjadi solusi atas isu yang kita angkat.

Ia menekankan, lima level tadi bukan resep yang harus ditaati tiap tahapnya, tapi satu tawaran berpikir yang akan berguna sebagai bekal apapun isu peliputannya, “Fotografi akan terus berubah seiring zaman, tapi tawaran ini semoga akan terus relevan di masa mendatang,” pungkasnya.