Sesi : Journalistic Writing

Foto : Rahadian Wijaya

Foto-foto karya jurnalistik tanpa disertai teks ataupun kalimat pengantar, tak jarang bisa menimbulkan penafsiran dan pemahaman yang berbeda di mata pembaca. Karenanya, semakin dekat menuju sesi final kelas Permata Photojournalist Grant (PPG) 2012 yang akan berakhir pada bulan November ini, para peserta kelas mendapat bekal materi Penulisan Jurnalistik sebelum menampilkan hasil akhir karya mereka di hadapan publik.

Materi diberikan langsung oleh Zamira Loebis, atau akrab disapa Mbak Tatap. Bertempat di Binus FX, Jakarta (20/11), ia memaparkan dasar-dasar dan teknik penulisan jurnalistik seperti pentingnya unsur-unsur 5W + 1 H dalam sebuah penulisan, penulisan kalimat yang baik, serta beberapa elemen penting seperti informasi, signifikansi, fokus, konteks, dll.

 “Tulisan yang baik adalah hasil ramuan ketrampilan menggali bahan penting di lapangan dan melalui riset, dan kemampuan menuliskannya secara hidup,” ujar Mbak Tatap di hadapan para fotojurnalis peserta PPG 2012.

Usai pemaparan, kelas dilanjutkan dengan interaksi dengan peserta. Di sesi ini, Mbak tatap menyunting (meng-edit) tulisan pengantar foto esai para peserta. Sebagian tulisan peserta ditampilkan di slideshow dan dibahas bersama-sama di depan kelas.

Fernando Randy dari Viva News adalah salah satu peserta kelas yang tulisannya sama-sama dibahas di depan kelas . Di sesi ini, tak jarang Mbak Tatap mengingatkan untuk memperbaiki tulisannya agar susunannya menjadi lebih baik, benar, dan efektif.  “Sebelumnya gue nulis asal aja, tapi setelah sesi ini gue jadi tahu pentingnya informasi dan data untuk menunjang tulisan. Yang penting sih gue jadi tahu gimana caranya membuat tulisan efektif, singkat tapi baik dan benar,” kata Nando.

Sayangnya, akibat keterbatasan waktu, pada malam itu tidak semua peserta mendapat kesempatan untuk dibahas dan disunting tulisannya secara bersama-sama. Sebelum menutup kelas, Mbak Tatap tak segan-segan mengingatkan peserta dalam membuat tulisan... Strength your conclusion and your opinion! (DIKA/AWS)

 

 

 


Sesi : Photo Editing

Foto : Rahadian Wijaya

Fotografer peserta Permata PhotoJournalist Grand (PPG) 2012 memasuki tahap editing ke-2, di Binus Fx lantai 6, Jakarta, (13/11). Puluhan foto berjejer di atas meja dalam sesi tersebut. Dengan seksama Deny Salman dan Edy Purnomo memperhatikan tiap detailnya, kemudian memilih foto yang mendukung dan memisahkan foto yang tidak sesuai dengan alur photo story mereka.

Salah satunya photo story milik Sumaryanto Bronto, tentang anak jalanan di Ciroyom Bandung. Menurut Deny  yang perlu ditambahkan pada foto Bronto adalah foto aktifitas anak-anak jalanan yang belajar life skill sebagai unsur pendidikan dalam photo story-nya. Sementara Edy berpendapat bahwa foto-foto Bronto sudah mendapat alur cerita secara visual.

Kedua mentor tersebut memberikan masukan kepada peserta dengan pengalamannya masing-masing di dunia fotografi. Saat mengedit Deni menulis catatan di sebuah lembar kertas terkait perbaikan photo story, kemudian diberikannya ke masing-masing peserta.

Di akhir kelas, mereka membahas persiapan seluruh peserta PPG 2012 menyambut kelas Kadir Van Lohuizen (NOOR) yang datang secara khusus menjadi mentor tamu dalam workshop ini (DIKA).

 

 


SESI: Sejarah Fotografi Dokumenter

Foto : Rahadian Wijaya

Setelah sebelumnya para peserta PPG 2012 mempresentasikan photo story hasil karyanya, hari Jumat (9/11) lalu mereka pun kembali duduk di kelas untuk mengikuti sajian materi dari mentor Edy Purnomo tentang Sejarah Foto Dokumenter.

Sekitar 30 menit pertama, Edy membuka kelas dengan menampilkan slideshow berisi kumpulan foto hitam putih karya Dorothea Lange yang mewakili foto-foto pada era Great Depression dan beberapa foto karya Walker Evans serta Lewis Hine tentang buruh anak. Tak lama Edy pun melanjutkan slideshow yang kedua dengan foto-foto karya Nan Goldin. Selesai menampilkan slideshow, kelas dibagi menjadi dua kelompok untuk diskusi singkat mengenai perbedaan kentara dari foto-foto yang baru saja mereka lihat.

Pada sesi yang berlangsung selama dua jam ini, mentor juga mengupas kapan dimulainya foto dokumenter, definisi foto dokumenter, termasuk saat terjadinya perubahan akan foto dokumenter itu sendiri ke ranah kontemporer, dimana fotografer tidak lagi menampilkan hal-hal yang bersifat publik melainkan 'bermain' ke ranah privat.

Intinya, Edy mengatakan, meski foto dokumenter mengalami perubahan, toh fotografer tetap melakukan hal yang sama. Yakni, "to see, to record, and to document." Dimana di era kontemporer ini, fotografer tidak sekadar merekam tapi juga mendokumentasikan (to document), bahkan terlibat di dalamnya. (DIKA)

 


Presentasi Peserta Permata Photojournalist Grant (PPG) 2012

Peserta PPG 2012 mempresentasikan photo story mereka dihadapan tim panelis hari Selasa (6/11). Adapun keempat tim panel tersebut adalah Leila Djafar (Executive Vice President Corporate Affairs Permata Bank), Sinartus Sosrodjojo (PannaFoto), Dita Alangka (AP) dan Kemal Jufri (Pewarta Foto Freelance).

Bagi peserta, presentation ini bisa saja bukan sebagai hasil dari proses selama ini, karena peserta masih dapat melakukan photo shoot kembali sebelum akhirnya diproses untuk dicetak.  Keseluruhan foto yang dibuat oleh peserta akan dipamerkan di bulan Desember 2012.


Undangan : Photo Seminar Via PanAm - Kadir van Lohuizen (NOOR)

Photo : Kadir van Lohuizen (NOOR)

 

PermataBank and Erasmus Huis proudly present :

Photo Seminar 'Via PanAm'  -  Kadir van Lohuizen

A 12-month journey along the Pan-American highway, investigating contemporary migration in the Americas

 

Monday November 19, 2012

7 - 9 pm

Open for public

 

Auditorium Erasmus Huis

Jl. HR Rasuna Said Kav. S - 3

Jakarta 12950

(+62) 21 524 1069

 

Cp Elisha

085692021655

info@pannafoto.org

 

 

Kadir van Lohuizen (The Netherlands, 1963) has covered conflicts in Africa and elsewhere, but is probably best known for his long-term projects on the seven rivers of the world, the diamond industry and migration in the Americas.  He has received numerous prizes for his work, including two World Press Photo awards.

In September 2007, Kadir and ten others established the photo agency and foundation NOOR. Kadir became a member of the supervisory board of World Press Photo in 2008.

To date, he  has published four photo books, including “Diamond Matters, the trail of the diamond” and “Rivers”. In 2011, Kadir started Via PanAm, a 12-month journey along the Pan-American highway, investigating contemporary migration in the Americas. Kadir is based in Amsterdam.


Sesi : Bertemu Sasa Kralj Lagi

Foto : Rahadian Wijaya

Peserta Permata Photojournalist Grant 2012 kembali berinteraksi dengan Sasa Kralj, fotografer asal Kroasia via Skype pada hari Jum'at (2/11) .

Dalam pertemuan kedua, Sasa kembali menekankan pentingnya riset dalam pembuatan photo story. Riset akan membantu fotografer memahami isu dan permasalahan tema yang akan digarap. Riset yang 'dalam' akan tercermin dalam caption yang menyertai setiap photo story.

Ia sempat menyebutkan bedanya fotografer dan pewarta foto, "A photographer takes pictures, a photojournalist tells stories". Dengan pengertian tersebut, Sasa selalu mendorong setiap peserta PPG 2012 untuk memikirkan apa yang penting dari cerita mereka, mengapa harus diangkat, pelajaran apa yang bisa didapat oleh pembaca dengan melihat photo story mereka.

Menurut Sasa tema-tema yang diangkat para peserta PPG tahun ini sangat variatif. Mereka melihat tema "Pendidikan" dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang mengangkat pendidikan diluar sistem pada komunitas Punk, peering education, pendidikan agama, pengaruh televisi. Dengan riset dan caption yang kuat, photo story mereka akan mempunyai cerita yang luar biasa.    ( sw).

 


Sesi : Editing Bersama Kemal Jufri

Foto : Rahadian Wijaya

 

Kemal Jufri fotografer dengan reputasi internasional ,pemenang World Press Photo 2011 kategori People in the News Story, hadir di kelas Permata Photojournalist Grand (PPG) 2012 untuk berbagi pengalamannya tentang photo story kepada peserta, di Binus Fx, Jakarta (30/10).

Kelas dimulai dengan menampilkan beberapa photo story karya peserta PPG 2012 yang akan dipilih untuk dipamerkan. Kemal menyaksikan satu persatu foto tersebut, kemudian mendengarkan persentasi singkat dari mereka terkait fotonya.

Ia menilai secara keseluruhan ide-ide yang  ditampilkan peserta PPG 2012 sangat menarik, termasuk pendekatan-pendekatan berbeda yang dilakukan beberapa fotografer. Salah satunya photo story peserta PPG 2012 karya Fernando Randy bertajuk “Aku dan Idolaku”. Nando menjelaskan konsep photo story-nya termasuk pendekatan seri portrait yang ia lakukan.  Tak hanya kepada Fernando, komentar dan saran ditujukan pula kepada peserta yang lain.

Selama diskusi Kemal berpesan kepada peserta untuk menjadikan pendapat siapapun sebagai masukan dan saran. Pendapat itu dapat diterima atau ditolak sepenuhnya karena pada akhirnya sang fotografer lah yang akan memutuskan.

Saya bukan menggurui,  kita sama-sama belajar, saya hanya bisa beri masukan, karena kalian yang lebih tahu konteksnya. Intinya harus kalian yang menentukan ” tandas Kemal. (Dika)


Sesi : Personal Project oleh Sasa Kralj

Foto : Rahadian Wijaya

Pada pertemuan hari Kamis (25/10) fotografer peserta Permata Photojournalist Grant 2012 mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan Sasa Kralj, fotografer asal Kroasia. Meski tidak tatap muka melainkan via Skype peserta tetap semangat mengikuti kelas.

Saat memulai kelas, Sasa mencoba memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia. “Halo selamat malam, nama saya Sasa” ucapnya dengan cukup lancar. Selanjutnya, Panitia mengundang Roni Zakaria untuk membantu sebagai penterjemah demi kelancaran proses belajar mengajar di kelas.

Sebagai pembuka Sasa mengajak peserta menilai dan mengomentari sebuah foto dengan dua alternatif caption. Dari latihan tersebut dapat diketahui bagaimana caption sangat mempengaruhi cerita dari sebuah foto. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya melakukan riset untuk mendapatkan caption atau cerita yang berarti. Ia pun menyayangkan jika ada foto yang bagus tapi tidak mempunyai caption. “Tanpa caption penilaiannya hanya berdasarkan suka dan tidak suka. Saya merasa sedih ketika menerima foto bagus tetapi tanpa caption” kata Sasa.

Pada pertemuan itu Sasa memberikan pendapat atas beberapa karya foto peserta. Di akhir kelas, Sasa berpesan kepada peserta agar photo story mereka memberikan informasi dan ‘pelajaran’ baru kepada pembaca. Tak kalah penting adalah berani keluar dari zona nyaman yang dirasakan oleh fotografer dan melakukan pendekatan yang baru dalam mengerjakan photo story (Dika / sw).


SESI : PHOTO EDITING

Foto : Rahadian Wijaya

Memasuki pertemuan ke-8, para mentor kelas Permata Photojournalist Grant (PPG) tidak lagi menyampaikan materi di depan kelas. Di sesi Photo Editing pada hari Selasa (23/10), kedua mentor PPG Ahmad 'deNy' Salman dan Edy Purnomo bersama dengan fotografer peserta program PPG mendiskusikan foto hasil bidikan mereka.

Seluruh foto para peserta yang sudah dicetak, dipresentasikan kepada mentor dan sesama peserta. Sebelumnya, para peserta PPG 2012 melakukan proses self-editing dengan menyusun urutan setiap foto agar menjadi satu kesatuan photo story yang utuh. Dilanjutkan dengan proses diskusi antara mentor, fotografer dan sesama peserta.

Selama sesi Photo Editing, beberapa foto para peserta diubah susunan fotonya disertai masukan-masukan dari mentor, mulai dari teknik pengambilan gambar, susunan blok foto, penggalian ide, bahkan para mentor tak segan-segan untuk menyuruh para peserta kembali ke lokasi pemotretan dan melakukan reshoot.

Di sesi ini, tidak hanya mentor yang bisa memberi masukan. Sesama peserta PPG pun tak jarang saling me-review karya masing-masing dan memberi kritik maupun saran.

“Proses editing itu ternyata cukup sulit dan dari sesi ini gue banyak dapat masukan dari para mentor dan teman-teman. Intinya sih, dengan sharing foto-foto kita ke orang lain, termasuk ke mentor bisa membantu kita bukan cuma soal editing, tapi ngingetin kita sama hal-hal yang sering gue lupa ketika motret,” kata Dwianto Wibowo, salah satu peserta PPG 2012.

Dwianto yang saat ini berprofesi sebagai Stringer Tempo News Room mengungkapkan bahwa ia merasa terbantu dengan sesi photo editing dalam menggarap photo story-nya.

Ia juga menambahkan, “Gue jadi tahu dan sadar kalau untuk lebih konsisten dengan frame dan unsur-unsur di dalamnya, termasuk color dan angle. Kalau nggak diingetin lewat mentor atau sharing ke teman-teman lain, sering banget lupa.”

Bisa dibilang, sesi kelas kali ini, baik Deny maupun Edy tidak sekadar me-review semua foto para peserta. Pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki keduanya pun ditularkan ke peserta. Tak hanya Dwianto, pada umumnya semua peserta PPG mendapat banyak saran, kritik bahkan pencerahan terkait evaluasi perbaikan projek foto masing-masing. (DIKA/AWS)


SESI : Journalistic Research

Foto : Rahadian Wijaya

Setelah materi photo story, kali ini peserta Permata Photojournlaist Grant 2012 mendapat pengetahuan tentang riset jurnalistik dengan pemateri yang kompeten dan pengalaman di bidangnya, Zamira Loebis, di Binus Fx, Jakarta hari Jum'at (19/10).

Zamira yang akrab dipanggil mbak Tatap berpendapat riset menjadi kunci penting dalam pembuatan photo story. Mengutip fotografer terkemuka John Stanmeyer, sahabat sekaligus rekan kerjanya, ia mengatakan kurang lebih pembuatan photo story terdiri dari 70 % riset, 20% logistik, dan 10% fotografi. “Anda harus excited menjadikan riset ini yang utama dari proyek foto Anda” ujar Mbak Tatap.

Selain berbagi bagaimana melakukan riset, mbak Tatap memberikan contoh-contoh dari pengalamannya ketika bekerja dengan para fotografer dengan reputasi internasional seperti James Nachtwey dan John Stanmeyer. Ia juga menekankan betapa pentingnya membaca ketika melakukan riset.

Jangan takut membaca buku. Rubah lah cara pikiran Anda, membaca bisa santai kalau membacanya benar. Gak perlu baca detil karena bukan ujian, ketika meriset lari ke kata kunci. Kembali ke buku untuk riset” papar Mbak Tatap.  (Dika)

 


Sesi : Photo Story

Foto : A. Rahadian Wijaya

Setumpuk ‘Post-It’ dan spidol langsung tersedia di meja setiap peserta PPG 2012 saat mereka memasuki kelas. Mentor sesi ini, Ahmad ‘DeNy’ Salman atau lebih sering disebut Bung Deny, mengajak mereka untuk menuliskan apa saja yang para peserta PPG pikirkan atau ketahui tentang photo story dalam 10 kata.

Jawaban yang dituliskan beragam. Ada yang menulis ‘Cerita’, ‘Struktur’, ‘Detail’, ‘Riset’, ‘Alur’ dan lain-lain. Setelah membaca sekian jawaban yang mereka tulis dan ditempelkan di white board, Deny pun akhirnya membuka materi sesi tiga mengenai “Introduction to Photo Story” pada hari Selasa (9/10).

“Yang membedakan photo single dengan photo story adalah jumlah fotonya,” kata Deny.

Photo story tak lain adalah foto yang bercerita dengan menggunakan foto sebagai medianya dan biasanya terdiri dari sekumpulan foto. Deny menjelaskan bentuk-bentuk Photo Story yang terbagi atas tiga, yakni Descriptive, Narrative, dan Essay. Setiap bentuk Photo Story juga dijelaskan secara mendalam lengkap dengan contoh-contoh fotonya, definisi dan ciri khas masing-masing bentuk Photo Story tersebut.

Penyajian materi di dalam kelas semakin menarik ketika Deny menampilkan contoh-contoh Photo Story dan mendiskusikannya dengan para peserta PPG. Mulai dari Photo Story ‘Global Health Crisis’ karya James Natchwey, Country Doctor karya Eugene Smith, ‘Mia – Living Life Trying’ karya David Hogsholt, dan masih banyak contoh Photo Story lainnya.

“Selama ini gue bikin photo story ‘ngasal’ aja, yang gue tahu kalau bikin photo story itu ya photo essay. Ternyata setelah belajar dari materi ini, gue baru tahu bentuk-bentuk dari Photo Story itu nggak cuma Essay,” tutu Ardiles Akyuwen sembari tertawa.

Alhasil setelah mendapatkan materi seputar pengenalan dasar Photo Story, Ardiles, fotografer harian Jurnal Nasional yang juga menjadi salah satu peserta PPG 2012, malah semakin terpacu untuk membuat photo story sesuai dengan bentuk-bentuk Photo Story yang baru saja dipelajari di kelas. Dari penyajian materi di kelas, Ia juga merasa semakin fokus dan bisa menentukan photo story jenis apa kedepannya yang ingin ia kerjakan.

“Gue jadi tahu dan sadar bahwa selama ini photo story yang gue kerjain baru sebatas bentuk yang Descriptive. Dan gue sekarang jadi pengen bikin Photo Essay dengan lebih benar, lengkap dengan analisa-analisa dan argumen gue sebagai seorang fotografer,” kata Ardiles menambahkan.

Dari penyampaian materi sesi ketiga, sebagai seorang mentor, Deny berharap semua peserta semakin memahami dasar-dasar dan bentuk Photo Story itu sendiri.

“Jadi, jangan ada lagi pertanyaan apa bedanya Photo Story dengan Photo Essay,” kata Deny mengingatkan. Setuju, Bung Deny!!! (DIKA/ AWS)


SESI : FROM A CONCEPT INTO A SOLID STORY

Foto : A. Rahadian Wijaya

Selain materi-materi yang disajikan sangat berbobot, salah satu yang menarik dari kelas Permata Photojournalist Grant 2012 adalah kehadiran para mentor tamu dari berbagai bidang ilmu yang sangat kompeten di bidangnya.

Seperti sesi 2 kelas PPG pada hari Kamis (4/10) kemarin yang menghadirkan mentor tamu Hadi Winarto, Senior Produser Metro Files, Metro TV. Hadi yang telah cukup lama dan berpengalaman dalam penggarapan film-film dokumenter sejarah di Metro TV membawakan materi “How to develop a concept into a solid story.”

Di sesi ini, Hadi banyak membagi pengalamannya saat ia membuat film dokumenter, sebelum akhirnya ia mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan kritis ke setiap peserta terkait dengan proposal photo story yang sebelumnya telah mereka buat.

Beberapa hal yang selalu ditekankan dan terus menerus ditanyakan Hadi ke para peserta adalah;

"Apakah dalam membuat proposal dan memilih ide cerita, Anda sudah melakukan riset yang cukup?

 "Seberapa jauh Anda telah melakukan riset untuk projek tersebut?"

 "What is your photo statement?"

Menurut Hadi, riset sangatlah penting sebelum seorang fotografer memulai sebuah projek. Ada empat hal penting terkait dengan keperluan riset, yakni; Riset Topik, Riset Karakter Cerita, Riset Lokasi, dan riset yang berhubungan dengan kehidupan di situ.

“Riset akan sangat berguna ketika teman-teman fotografer akan memvisualisasikan subjek yang akan dipotret dengan tujuan agar faktar tidak tergeser,” kata Hadi.

Lebih lanjut Hadi menambahkan, “Itulah fungsinya riset, karena sebuah karya dokumenter akan diukur dari seberapa dekat karya kita dengan kenyataan yang ada. Sesuatu yang sifatnya riil.”

Selama kurang lebih dua jam, Hadi 'membedah' setiap proposal sembilan peserta yang hadir dan membantu mereka untuk mempertajam proposal photo story masing-masing. Ia memberi masukan dari sisi  seorang Produser lantas membandingkannya dari angle seorang fotografer.

Dari pertemuan sesi 2 ini, semua peserta banyak terbantu dalam menyusun sebuah proposal, strategi dalam melakukan riset dan pentingnya memiliki photo statement dalam setiap karya/projek yang akan kita kerjakan. Bahwa photo statement seorang fotografer bersifat personal dan akan menjadi guidance, sikap fotografer untuk memvisualisasikan karyanya dan menentukan serta memilih subjek cerita. (AWS)