Program terbaru Permata Bank dan PannaFoto Institute, Permata Youth Photostory (PYP) 2022, diramaikan dengan seri Webinar Fotografi Permata Youth Photostory 2022 (17 Mei – 30 Juni). Di seri ini, para pelaku fotografi dapat mencari inspirasi dengan mendengar lebih banyak JOURNEY dari para praktisi fotografi yang berpengalaman.

Kamis (02/06/2022), tiga fotografer membagikan pengalaman mereka merekam spektrum musik Indonesia. Tidak terbatas pada memotret aksi panggung sebuah grup musik, mereka berupaya mendokumentasikan musisi dan kehidupan mereka dalam foto-foto dan arsip tentang musik. 

Andre Sebastian (VP, Head of External Communications) memberi sambutan dengan memberi semangat untuk fotografer muda dari semua kalangan agar mengikuti semua sesi webinar gratis. Beliau juga mengingatkan audiens untuk mengikuti akun instagram Permata Photojournalist Grant (PPG) yang baru saja diaktifkan.

Kurnia Yaumil Fajar memulai diskusi dengan memperkenalkan ketiga panelis. Pembicara pertama adalah Malahayati, fotografer dokumenter dan komersial yang tinggal di Jakarta, sekaligus co-founder Women Photograph Indonesia. Panelis kedua adalah Aziziah Diah Aprilya, fotografer lepas bertempat tinggal di Makassar. Ia belajar dan bekerja bersama Tanahindie, institusi riset perkotaan, dan Yayasan Makassar Biennale. Panelis ketiga adalah Gevi Noviyanti, fotografer asal Cirebon, lulusan studi Etnomusikologi ISI Yogyakarta dan salah satu pengurus Kelas Pagi Yogyakarta.

Gevi Noviyanti berbagi tentang pengalamannya sebagai fotografer musik. “Dengan perkembangan teknologi, saat ini penonton secara aktif ikut mendokumentasikan pertunjukan musik di atas panggung,” ujarnya. Ia tak hanya memotret aksi pemusik, namun juga kerap membidik pengalaman penonton saat mengambil gambar atau merekam musisi idola mereka. Tantangan seorang fotografer musik adalah mampu menangkap suasana pertunjukan secara keseluruhan; aksi musisi di atas panggung, interaksi musisi dan penonton, keunikan riders musisi, kesibukan staff di belakang panggung, hingga aksi drummer yang biasanya duduk di area paling belakang.

“Seringkali setelah mendapatkan foto-foto ‘aman’, fotografer jadi punya kesempatan untuk bereksperimen dengan gaya visual sesuai keinginan mereka”, ungkap Malahayati. Tak hanya foto-foto aksi panggung musisi, ada berbagai insiden di belakang panggung yang Malahayati sempat dokumentasikan. Sayangnya, ia menyimpan foto-foto itu di compact disc (CD) yang saat ini tidak bisa lagi diakses karena rusak. Merefleksikan hal tersebut, teknik pengarsipan musik menjadi sangat penting.

Pengarsipan visual dapat menjadi referensi bagi musisi atau siapapun yang tertarik dengan musik. “Pendokumentasian musik di Indonesia itu penting sekali, sebab ternyata banyak sekali peristiwa musik yang luput kita catat”, ucap Aziziah atau yang akrab dipanggil Zizi. Ia dan Tanahindie fokus meneliti isu-isu urban di wilayah Indonesia Timur. Di 2019 mereka mengerjakan film dokumenter tentang 100 tahun musik populer di Makassar berjudul “Bunyi Kota”. Dari proyek itu Zizi tersadar jika musik bukan hanya sekadar nada, irama, lirik lagu, atau pemanggungan. Ternyata dari cover album, distribusi kaset/CD, peran komunitas musik hingga situasi politik saat itu penting untuk diarsipkan.

Menggunakan fotografi, Zizi mengarsipkan sejarah kota lewat pertumbuhan musik. Ia berharap foto-foto/arsip ini dapat menjadi pintu masuk yang menyenangkan untuk membicarakan perkembangan musik di Makassar atau kota-kota lain. Melalui arsip tersebut, non-musisi atau orang yang aktif di skena musik dapat mengetahui perkembangan kotanya. “Saya juga merasa arsip ini dapat hidup kembali dalam bentuk yang lain”, imbuh Zizi. Gagasan itu ia nyalakan lewat pameran arsip budaya pop 80-an bertajuk ‘Kawula Ria’.

Saat berproses pengerjaan Kawula Ria, Zizi bertemu dengan musisi/fotografer/mantan penyiar radio di era 70-an bernama Opa Ferial. Tak hanya memotret acara pernikahan, Opa Ferial ternyata tekun mengarsipkan foto-foto bioskop tua di Makassar. “Orang seperti Opa Ferial– orang yang sadar akan pendokumentasian dan arsip, harus ada banyak. Bagi saya ini bisa menjadi salah satu bagian dari pencatatan sejarah. Buku sejarah di sekolah hanya menceritakan pahlawan dan peristiwa besar. Sedangkan membaca sejarah dari fragmen budaya pop ternyata menyenangkan dan penting. Bukan saja untuk menghindari narasi tunggal, tapi juga untuk melihat bahwa di satu masa ada banyak sekali hal yang terjadi dan saling mempengaruhi ”, tutup Zizi.

Kunjungi permata-photojournalistgrant.org untuk mendapat inspirasi dari para praktisi fotografi yang berpengalaman melalui seri program fotografi oleh PannaFoto Institute.