Resiliensi Saputri

“Tuhan bisakah aku menggapai cita-citaku? Ataukah aku hanya orang gila yang berpikir muluk?” Itulah pertanyaan dalam buku autobiografi “I’m Not Crazy, I Am Bipolar” yang ditulis Maria Yeti Saputri (42). Buku ini berisi pengalaman hidup dan impiannya.

Saputri memberikan buku yang ia tulis pada 2020 itu seusai berbincang mengenai Yayasan Peduli Difabel Indonesia di Sanggar Modeling, salah satu rumahnya yang terletak di Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

Sesaat setelah memberikan buku itu, ia bercerita sekilas tentang masa lalunya. Dilahirkan dari keluarga sederhana dengan tiga bersaudara, ia adalah anak bungsu yang diasuh oleh ayah setelah perceraian kedua orang tuanya.

Selama diasuh oleh ayah kandung dan ibu tirinya, hidupnya dipenuhi kasih sayang. Ia juga menekuni tari dan modeling atas dorongan ayahnya. Namun, ia juga sering teringat cerita-cerita pahit yang hadir dalam hidupnya. Ayah Saputri pernah bercerita bahwa ibu kandungnya sempat ingin menggugurkannya saat orang tuanya dalam proses perceraian. Kenyataan ini menjadi pil pahit yang ia simpan hingga dewasa. Di sisi lain, pernikahannya sendiri juga tidak berjalan sesuai harapannya.

Tekanan hidup di masa itu memicu depresi dalam dirinya. Pada 2017, ia didiagnosa bipolar. Beberapa waktu setelahnya, ia berpisah dengan pasangannya. Dalam kondisi tersebut, Saputri tetap menggeluti profesinya sebagai model dan pengusaha mode.

Saputri berjuang keras agar hidupnya tetap dapat berdampak bagi orang lain. Ia mendirikan Yayasan Peduli Difabel Indonesia yang memberikan pelatihan gratis untuk pengembangan bakat dan rasa percaya diri bagi anak didik yang memiliki disabilitas fisik dan mental, salah satunya melalui modelling. Kiprahnya diapresiasi melalui penghargaan Merdeka Award 2022.

“Saat saya mendidik dan mengajar mereka, ternyata saya juga mendapatkan ilmu untuk lebih sabar dan memahami orang lain,” Saputri berefleksi.