Perahu Asa Pencari Suaka

Perahu Asa Pencari Suaka
Andri Saputra, Harian Rakyat Sulsel – Makassar

AJ, seorang laki-laki Rohingya (28), tak pernah membayangkan menjadi seorang pelarian. Akibat konflik agama Islam dan Buddha yang terjadi di negaranya, Myanmar, ia memutuskan untuk mencari suaka ke negara lain. Pada 2013, ia menaiki perahu dengan tujuan Malaysia.

AJ mengatakan, di perahu kayu itu ada 128 orang, lima di antaranya perempuan dan anak-anak. “Kami berlayar selama sembilan hari, mencoba bertahan hidup dengan makan seadanya.”

Cuaca buruk menghadang mereka di tengah perjalanan. Perahu terombang-ambing akibat gelombang tinggi di tengah laut sebelum terdampar di perairan Aceh Utara. Mereka diselamatkan nelayan setempat dan diberi makan, pakaian ganti, dan tenda darurat.

AJ ditahan polisi imigrasi selama tiga hari, sebelum dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Banda Aceh selama tiga bulan, kemudian Rudenim Tanjung Pinang selama dua tahun. Setelah dua kali pindah lokasi, AJ diterbangkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan ditempatkan di penampungan sementara.

Selama 10 tahun di Makassar, hidup AJ terkatung-katung tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Ia berharap mendapatkan kejelasan sehingga bisa beraktivitas layaknya warganegara, termasuk bekerja dan membawa kendaraan.

Perubahan besar dalam hidupnya terjadi saat dia bertemu YZ (35), perempuan asal Makassar di Anjungan Pantai Losari. Mereka mengaku mengalami cinta pada pandangan pertama. Setelah tiga bulan berpacaran, mereka menikah pada Kamis, 18 Februari 2016.

“Sebelum kami memutuskan menikah, saya sudah berkata jujur kepada orang tua pacar saya. Saya orang Rohingnya pencari suaka dan akan bertanggung jawab dengan menikahi anak mereka sesuai kemampuan,” kata AJ.

“Waktu saya menikah dengan AJ di Pondok Pelangi, kami memakai busana pengantin adat Bugis, dan menghadirkan simbol perkawinan khas Myanmar yaitu sirih, pinang dan kapur yang melambangkan pemersatu keluarga dari pihak perempuan serta tanda penerimaan sebagai anggota keluarga Rohingya,” kata YZ.

AJ dan YZ sudah lima tahun berumah tangga, dan hidup bersama anak perempuan pertama mereka, AK (5). Mereka menetap di rumah orang tua YZ di Jalan Toddopuli. Dengan bantuan mertuanya, AJ memiliki mata pencaharian sebagai peternak kambing.

Namun, hingga kini pernikahan mereka belum diakui negara. Bahkan, setelah menikah AJ sempat ditahan selama lima hari oleh petugas imigrasi karena statusnya yang masih terhitung sebagai imigran ilegal berdasarkan hukum di Indonesia. AJ belum patah arang menunggu kepastian dari UNHCR dan IOM, yang ia harap dapat memberinya status WNI dan tempat tinggal permanen di negara suaka, yaitu Australia. Dengan begitu, AJ berharap dapat secara resmi mencari nafkah untuk keluarganya.