Merangkul Harapan
Isu kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia tak kunjung usai. Salah satu yang paling sering terdengar adalah kasus penyiksaan fisik. Hingga kini, nasib para pekerja belum dijadikan prioritas oleh pemerintah.
Komnas HAM mencatat dalam rilis terakhirnya pada 2022 bahwa selama 2017-2022, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mendokumentasikan setidaknya 2.637 kasus kekerasan terhadap pekerja. Koordinator Koalisi Sipil Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) Eva Sundari juga mengatakan, 10 hingga 11 PRT menjadi korban kekerasan setiap hari. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami oleh pekerja rumah tangga beragam bentuknya – termasuk kekerasan ekonomi, psikis, fisik, dan seksual. Psikolog Vitria Lazzarini mengatakan dampak kekerasan bagi korban sangat fatalistik, bahkan berujung kematian memengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun mental.
JALA PRT dibentuk pada 2004 sebagai wadah diskusi dan advokasi bagi PRT. Misinya sejauh ini adalah mendesak pemerintah untuk mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Namun, sejak 2004 rancangan tersebut belum juga disahkan menjadi undang-undang. Pengamat ketenagakerjaan Tadjuddin Nur Effendi menduga penyebabnya rancangan undang-undang ini prioritasnya rendah dan tidak menguntungkan bagi para pemangku kepentingan.
Siti Khotimah adalah salah satu penyintas kekerasan di kalangan profesi pekerja rumah tangga. Ia disiram air panas, dirantai, juga dikurung di kandang anjing karena kedapatan mencuri di apartemen tempatnya bekerja di Jakarta Selatan. Keluarganya terdampak secara ekonomi karena mesti mendampingi Siti selama dirawat di RS Polri I R. Said Sukanto, Jakarta.
Walau telah memfasilitasi kekerasan terhadap PRT selama 19 tahun, JALA PRT baru dapat menyelesaikan 17 kasus. Namun mereka terus berusaha membuat isu ini tidak terlupakan. Kegiatan ‘Rabuan’ rutin digelar di depan gedung DPR/MPR agar pemerintah dan masyarakat turut mendukung.