Living in A Dilemma

Living in a Dilemma

Rahmad Azhar Hutomo (National Geographic Indonesia, Jakarta)

Memang dilema, beridentitas gelap di Negeri Kincir Angin dan hidup merana di antara bayang-bayang hukum deportasi dan blakclist. Gelap adalah julukan teruntuk buruh migran ilegal. Tertipu iming-iming agen nakal, gagal bermitra dagang menjadi beberapa alasan memaksa berstatus gelap, tanpa dokumen yang legal untuk bekerja. Pemutusan hubungan kerja sepihak, tanpa tunjangan sakit dan sulit mendapatkan tempat tinggal. Inilah santapan kecut para kaum gelap setiap harinya.

Semula para kaum pekerja gelap memasuki Belanda memang melengkapi diri dengan izin dokumen yang legal. Namun, permasalahannya mereka menetap dan tinggal terlalu lama melebihi batas waktu visa (overstay). Kasus ini merubah menjadi buruh migran ilegal. Koloni Belanda yang pernah menduduki Indonesia selama tiga abad menjadikan hubungan historis kedua negara berlanjut. Hubungan ini yang menjadikan alasan kota Belanda menjadi primadona untuk memburu mata uang Euro dibanding negara Eropa lainnya.

“Hingga kini jumlah buruh migran tak berdokumen yang terdata sekitar 2.000-4.000 orang, kemudian yang tidak terdata mungkin bisa sampai ribuan” ujar Yasmine Soraya, pengagas Indonesian Migrant Workers Union Netherlands (IMWU NL). Mereka biasanya bekerja di sektor domestik, hotel, kafe, restoran, pekerja konstruksi dan sektor lainnya.

Hancur-lebur sudah usaha minyak ikan yang diimpikan Edy. Modal ratusan juta lenyap begitu saja, ia termakan jebakan mitra kerjanya. Edy adalah bagian dari kaum pekerja gelap yang berasal dari Indonesia. “Saya sudah siap bekerja tanpa dokumen, karena memang senjata terakhir” keluh Edy. Negara Belanda menjadi sandaran terakhir Edy untuk menyokong kehidupan keluarganya.

Kehadiran para pekerja gelap ini sebenarnya selalu dibutuhkan oleh pasar kerja. Tanpa mereka, roda perekonomian di Belanda akan macet. Jerih payah dan keringat-keringat para kaum gelap sejatinya mengalir ke devisa negara asal maupun tempat mereka bekerja.

“Kesimpulannya begini, kalau di negara kita gak hancur ngapain jauh-jauh ke negara orang, jauh dari keluarga” tutup Edy. Pulang ke Indonesia bukanlah suatu pilihan. Akankah negara asal menjamin kesejahteraan para pekerja gelap ini?