Akar

Akar
Bhagavad Sambadha, Tirto.id – Jakarta

“Terkadang akarmu tertanam begitu dalam sehingga meskipun kamu ingin meninggalkannya, ia tidak mengizinkanmu.”

Amaranthine Poetry, Ami Sanghvi (2018)

Sekitar tahun 90an awal, sekelompok anak muda Jakarta mulai menganut sebuah subkultur yang ditandai pernyataan kesadaran identitas sebagai kelas pekerja, semangat persaudaraan, dan penampilan khas termasuk rambut cepak, sepatu bot bertali, celana jin, dan kemeja pas badan. Mereka menyebut diri sebagai bagian dari gerakan skinhead.

Danan Hermawan (42) adalah bagian dari generasi tersebut. Ia melekatkan identitas skinhead pada dirinya sejak 20 tahun lalu, menggawangi sebuah band tradisional ska bernama Bois Stompin, mengenakan sepatu bot merek Dr.Martens dan celana jin kemanapun ia pergi. Ia juga selalu hadir di stadion dalam hampir setiap pertandingan sepakbola Persija Jakarta.

Bermula di Inggris pada tahun 60an, generasi awal skinhead berasal dari kelas menengah suburban yang meleburkan kultur mod berpakaian necis dengan kultur imigran Jamaika serta kecintaan mereka terhadap musik reggae, ska, rocksteady, dan sejenisnya. Dekade 70an menjadi penanda berkembangnya gerakan skinhead ke berbagai negara di dunia. Era tersebut ditandai oleh meleburnya elemen punk rock dalam subkultur skinhead dan merebaknya sentimen rasialisme akibat membludaknya gelombang imigran yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penyebab berkurangnya lapangan pekerjaan bagi warga kulit putih.

Sekalipun pada awalnya mereka seringkali berusaha mencitrakan diri sebagai apolitis, gelombang sentimen rasialisme tersebut justru melahirkan salah satu gerakan paling signifikan dalam subkultur skinhead yang dikenal sebagai SHARP (Skinheads Against Racial Prejudice). Gerakan tersebut berbentuk seruan dan perlawanan untuk mengembalikan skinhead menjadi sebuah subkultur yang inklusif dan egaliter, disatukan oleh kebanggaan dan solidaritas sebagai kelas pekerja. Namun, di Indonesia skinhead kerap mendapat stigma buruk dari masyarakat karena penampilan mereka yang cenderung militeristik, bertato, atau malah dianggap tidak berfungsi secara sosial karena kemiripan penampilan mereka dengan komunitas punk.

Danan meyakini skinhead sebagai pedoman nilai dalam menjalani rutinitasnya sehari-hari: bekerja keras, egaliter, serta menikmati hidup dengan berpakaian pantas, begitu ia menyebutnya. Meskipun banyak penganut skinhead dari generasinya yang kini sudah meninggalkan identitas tersebut – sebagian berfokus pada peran baru sebagai orang tua atau mengamini identitas baru yang lebih religius – Danan dan segelintir skins lainnya masih mempertahankan penampilan dan menjalankan nilai-nilai dari komunitas tersebut. Ia percaya bahwa skinhead adalah akar tempat ia bertumbuh dan pulang, tempat pohon bergantung ketika badai datang.