Setelah mantap dibekali dengan banyak wawasan teks dalam fotografi beberapa pekan silam, di sesi ini, Tri Joko Her Riadi mengajak para peserta mengedit langsung tulisan yang sudah mereka kirim sebelumnya sebagai pekerjaan rumah.

Sebelum mengulas tulisan pesert astau per satu, Joko membuat ringkasan apa yang ia tangkap dari mayoritas tulisan peserta, “Teman-teman harus bisa peka apakah narasi kita sudah jadi cerita utuh atau masih sekadar tumpukan paragraf? Masih banyak pula yang belum mengeksplor gambaran subyek jadinya ia ditampilkan pas-pasan betul,” ungkapnya.

Joko kembali membuka presentasinya beberapa pekan silam, formula 5W+1H tidak hanya harus dikuasai secara harfiah tapi juga dikembangkan dengan eksplorasi, “Misalnya Who itu tidak hanya siapa subyek kita, berapa umurnya, tapi coba melihat ia sebagai manusia yang punya riwayat masa kecil atau masa remaja. Cerita kita bisa lebih kaya,” sambungnya.

Ia lantas mencontohkan tulisan Kristi Dwi Utami, menurutnya, pewarta Harian Kompas itu menulis dengan sangat baik riwayat seorang ibu nelayan bahkan mampu menggugah empatinya sebagai pembaca, “Perempuan yang sejak usia 20 tahun itu bekerja sebagai buruh pengupas bawang dan buruh bangunan. Kalimat itu lentur sekali dan memberi gambaran jelas bahwa sebelum jadi nelayan, ibu ini sudah menjajal banyak profesi sebelumnya. Di situlah empati pembaca terbangun,” terangnya.

Dari kata-kata yang luwes mengalir, Joko beranjak ke tulisan Adwit Pramono yang disisipi banyak data. Menurutnya, hal itu tepat karena isu yang Adwit angkat terbilang keras yaitu konservasi Anoa, “Tapi, seharusnya kamu menghindari kalimat diprediksi telah ada sejak ribuan tahun lalu. Untuk isu sekeras itu, seharusnya pakai angka yang konkret atau jika tidak ada bisa kutip mitos atau dongeng warga setempat,” sarannya.

Namun ia juga mengingatkan, penggunaan angka terus menerus juga kurang bagus. Karena selain terkesan kaku, secara kenyamanan membaca, melihat gabungan angka dan huruf tidaklah menyenangkan.

Adwit lantai merespons Joko dengan sebuah keluhan yang ia rasakan berulang kali saat meliput isu ini, “Aku sudah ceritakan Mas, subyekku sangat sulit digali informasi pribadinya, jadi mau tidak mau aku menggunakan data terus menerus,” jelasnya. Joko pun menimpali, justru jika masalahnya ada pada subyek yang kurang interaktif, penggunaan data keras akan membuat semakin kaku.

Ia lantas mengapresiasi upaya Adwit yang sudah melakukan pendekatan intens dengan narasumber. Ada satu kalimat penting yang justru bisa menguak kepasifan subyeknya, “Pada kalimat selanjutnya kamu justru bisa menggali saat subyek berhasil melakukan operasi Anoa secara caesar. Pasti masih banyak saksi matanya kan? Kamu bisa tanya rekan kerjanya,” saran Joko.

Dari kedua contoh baik, Joko lalu memberikan contoh tulisan peserta yang hampir baik. “Tulisan Abdan Syakura dibuka dengan hal yang definisi Slow Living. Ini terlalu luas, pembaca berpotensi kehilangan selera sejak awal,” ungkapnya.

Serupa dengan Adwit, ia malah menemukan kalimat yang lebih tepat dijadikan paragraf awal justru pada kalimat setelahnya, “Tekadnya semakin bulat ketika ia ditinggal oleh orang yang tersayang untuk selamanya. Ini justru kuat sekali! Menyentuh perasaan pembaca sejak awal,” sambungnya.

Dari pembacaan Joko pada tulisan para peserta, ia merangkum beberapa poin yang mesti dieksplorasi lagi, pertama, pentingnya penggunaan kutipan langsung narasumber yang memberi nyawa pada tulisan juga membuat pembaca merasa lebih dekat serta yang kedua sekaligus terakhir, “Jangan lupa eksplorasi 5W+1H itu akan sangat berguna,” tutupnya.