Forum Editor merupakan rangkaian dari program Permata Photojournalist Grant. Forum Editor ini pertama kali diadakan tahun 2019 di Erasmus Huis (sebelum COVID-19) dan tahun ini merupakan kedua kalinya Forum Editor diadakan secara tatap muka setelah pandemi COVID-19. Di masa pandemi, Forum Editor tetap diadakan meski secara daring dan berupa seminar foto yang mengundang Adek Berry (AFP) dan Muhammad Fadli (Fotografer dokumenter lepas) sebagai pembicara. Kegiatan Forum Editor kali ini diselenggarakan pada Selasa, 5 Juli 2022 di Kedai Tjikini Jakarta Pusat. Selain dihadiri perwakilan dari PermataBank, forum ini juga dihadiri oleh: Dicky Sastra (Detik.com), Dwi Prasetyo (Narasi TV), Edwin Putranto (Republika/Pemantik Diskusi), Ricky Yudhistira (Projek Multatuli/Pemantik Diskusi), Safir Makki (CNN Indonesia), Unang Ramdhani (Media Indonesia), Wahyu Saputro (Antara Foto), Yuniadhi Agung (Kompas).

Forum Editor ini digagas lantaran melihat perlunya diskusi, pembicaraan, saling tukar-pikiran, dan mempertemukan para editor untuk membicarakan isu-isu yang terjadi di media-media di Indonesia. Selama 11 tahun Program PPG berjalan, program ini menawarkan pendidikan bagi para pewarta foto di Indonesia. Namun, di satu sisi, bagi para pewarta foto yang telah mendapatkan pendidikan (workshop) di PPG, kerap kali mengalami kendala saat para pewarta foto (alumni PPG) kembali bekerja di media masing-masing terkait komunikasi dengan editornya, publikasi karya, dll. Sehingga muncul usulan dari para pewarta foto (peserta/alumni PPG) untuk melibatkan para editor foto terkait bagaimana mentransformasikan karya-karya yang mungkin tidak mainstream, tapi bisa diterima oleh media. Pada Forum Editor di tahun 2019, sempat mengundang Jenny Smets (Editor, Edukator, Kurator) untuk mengetahui situasi dan lanskap media di Belanda. Ternyata, lanskap industri media di Indonesia pun memiliki cukup banyak isu-isu menarik untuk dibahas bersama para editor maupun pewarta foto.

Sesi pemaparan singkat 11 tahun perjalanan PPG disampaikan oleh Ng Swanti yang diawali dengan pemutaran video singkat perjalanan PPG serta perkembangan pewarta foto muda di Indonesia saat ini. Ng Swan Ti menyampaikan Kilas balik perjalanan PPG selama 10 tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 2011; mulai dari belum memiliki poster yang memadai untuk pembukaan pendaftaran PPG hingga ragam pemilihan tema yang semakin memancing pemikiran kritis di setiap tahun.

Dari keberagaman isu tersebut, PPG tetap memegang teguh marwah jurnalisme; bagaimana merespons isu-isu terkini, konteksnya, dll, dengan memperhatikan dan mempertimbangan segala risiko jika karya-karya tersebut dipamerkan. Isu-isu yang muncul lebih kompleks, mengantisipasi respons/reaksi di media sosial, dan perlunya mitigasi konten. Beragamnya isu-isu yang diangkat peserta PPG XI turut dibahas dalam Forum Editor. Dengan terpilihnya tiga pewarta foto yang berasal dari luar Jakarta, yaitu Palembang, Kendari, Makassar, sehingga cerita dan isu yang diangkat tidak hanya berasal dari ibu kota, tapi juga mengangkat kisah-kisah lain dari daerah.

Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, peserta PPG XI—yang kebanyakan adalah generasi Z atau generasi milenial—lebih mengangkat isu-isu yang mewakili zaman mereka (seperti isu-isu kesehatan mental, open-relationship, dll). Pada generasi sebelumnya, isu-isu marginal yang dibicarakan seputar isu-isu sosial (misalnya kemiskinan). Di PPG XI, meski isunya berangkat dari sesuatu yang personal, tapi masih tetap menangkat isu jurnalistik. PPG juga menerima masukan dari rekan salah satu peserta PPG yang menyampaikan bahwa saat ini sudut pandang anak muda, apapun dilihat dalam ranah personal, tidak lagi struktural.

Di sesi diskusi, Forum Editor menghadirkan Ricky Yudhistira (Project Multatuli, Jakarta) dan Edwin Putranto (Republika, Jakarta) sebagai pemantik diskusi. Sesi dimulai dengan kedua pemantik, yakni Ricky dan Edwin, yang akan berbagi tentang lanskap industri media mainstream di Indonesia. Menurut Edwin, butuh waktu dan proses untuk mendobrak cara-cara kerja lama agar jurnalis foto tidak terjebak dengan karya-karya reportase. Dengan adanya editor yang jeli untuk memilih mana hal yang penting dan tidak penting untuk diliput, praktis memberikan ruang dan waktu bagi fotografer untuk eksplorasi ide dan konsep ketika ingin berkarya. Edwin mencontohkan apa yang sudah ia terapkan di medianya, yaitu mulai mengedukasi rekan-rekan editor untuk menentukan skala prioritas ketika si fotografer mendapatkan penugasan untuk liputan, sehingga fotografer bisa lebih memiliki waktu untuk eksplorasi atau sekadar melakukan riset foto.

Edwin memberikan saran, sebaiknya yang dididik tidak hanya para editor, tetapi juga para petinggi-petinggi media untuk menyadari bahwa visual saat ini bergeser, mulai dari cara pendekatan, gaya visual, hingga tema-tema/isu yang diangkat. Ia juga sepakat jika dahulu persoalan struktural adalah sesuatu yang sangat berjarak dan fotografer hanya sebagai observer, tetapi saat ini, isu-isu struktural menjadi sesuatu yang personal, riil dialami oleh mereka. Pendekatan semacam ini sudah sejak awal diadaptasi oleh Project Multatuli, yakni bagaimana hal-hal yang personal ini sebenarnya menguak sesuatu yang struktural.

Ricky Yudhistira (Project Multatuli) memberi catatan bahwa penting bagi jurnalis foto untuk tetap mengingat bahwa mereka bukan hanya fotografer, tapi jurnalis yang menyampaikan karyanya melalui medium fotografi. Dalam konteks esai foto, masalah yang sejak dulu sampai saat ini masih dihadapi oleh rekan-rekan jurnalis foto adalah kelemahan dalam menyusun narasi. Dari sisi visual, kemampuan teknis mereka tidak diragukan, tapi kemampuan bertutur dan hal-hal dasar, seperti menulis, wawancara, riset, melengkapi dengan data, dll, masih lemah sehingga berpengaruh pada kemampuan membangun narasi saat membuat esai foto. Terkait PPG, menurut Ricky, kelas penulisan & riset cukup penting sehingga bisa membantu fotografer untuk memperkuat narasi dan belajar penulisan. Saran lainnya, fotografer juga bisa tandem/kolaborasi bersama penulis jika si fotografer masih merasa ada kelemahan dari sisi penulisan.

Dicky Sastra (Detik.com) berpendapat, sebagai pewarta foto, sangat penting untuk memiliki idealisme. Namun, menurut Dicky, idealisme itu tidak harus diterapkan di kantor/media tempat si pewarta foto yang bersangkutan bekerja. Artinya, pewarta foto berada di dua sisi. Di satu sisi, sebagai seorang profesional, ia bekerja di media mainstream dengan tuntutan liputan atau memenuhi kuota foto. Di sisi lain, fotografer bisa berkarya secara mandiri tanpa harus tergantung dengan tim. Dengan terbiasa bekerja secara mandiri, fotografer masih bisa tetap menjaga idealisme dalam berkarya dengan menawarkan sudut pandang/perspektif yang berbeda ketika memotret isu-isu tertentu. Idealisme seorang fotografer tidak harus disalurkan di media/perusahaan tempat ia bekerja. Menurutnya, fotografer idealnya bisa menghasilkan atau membuat buku foto. Bukan sekadar buku sebagai bagian dari dokumentasi dan arsip, tapi juga menjadi sebuah peninggalan (legacy) dari si fotografer.

Mengakhiri diskusi dalam acara Forum Editor, Andre Sebastian selalu VP, Head of External Communications, Corporate Affairs PermataBank menutup acara berharap diskusi-diskusi semacam ini dan Forum Editor dapat berlangsung secara rutin karena kontribusi dan masukan dari para editor foto sangat berperan dalam perkembangan Program PPG.