combo 1combo 2

Dalam sebuah penelitian, 90 persen informasi diterima melalui mata. Tapi kendala yang terjadi, kerap kali kita hanya sebatas dalam tahap “look” bukan tahap “see”. Dimana kita masih lebih sering melihat dan belum mengamati informasi yang dilihat oleh mata kita. Karenanya, sangat penting bagi seorang fotografer untuk tidak hanya memproduksi karya visual, tapi juga memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami sebuah karya visual.

Masih berkaitan dengan pentingnya pemahaman karya visual, pertemuan pertama di tahun 2015 diisi dengan kelas Visual Literacy yang berlangsung pada hari Jumat (9/1). Sebagai mentor, Edy Purnomo menjelaskan apa itu visual literacy, elemen-elemen visual, proses dalam “melihat: sebuah karya visual, termasuk beberapa teori terkait visual literacy yakni Teori Gestalt.

Dalam sesi kelas yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam, para peserta PPG diajak berdiskusi dan mencoba “membaca” karya visual dari beberapa contoh visual yang diberikan oleh mentor. Beberapa foto karya Sebastio Salgado, Henry Cartier Bresson, Robert Frank, atau karya-karya Edgar Rubin dan W.E Hill, menjadi bagian dari diskusi para peserta dalam memahami visual literacy.

“Visual Literacy penting sih, secara gak langsung ngajarin untuk memasukkan hal apa saja ke dalam foto,” kata Grandyos Zafna Manase Mesah, fotografer detik.com, yang menjadi salah satu penerima Permata Photojournalist Grant 2014. Sama halnya seperti Grandyos, Muniroh, fotografer Sinar Harapan, yang sebelumnya juga belum pernah mendengar atau tahu tentang visual literacy, mengungkapkan antusiasmenya saat mengikuti kelas. Menurutnya visual literacy adalah salah satu ilmu yang penting untuk melatih kepekaan indera penglihat. (AWS / EL )