Gabung 1Gabung 2

 

 

Kira-kira apa yang terlintas di benak para peserta ketika mendengar kata “Riset” atau “Proposal

Jawaban yang terlontar dari para peserta pun beragam.

 

“Penelitian oleh para ilmuwan,” jawab Hariandi Hafid, jurnalis foto TEMPO biro Makassar.

“Cari data sebanyak-banyaknya,” kata Dwi Prasetya dari Bisnis Indonesia

 

Lain lagi jawaban Galih Pradipta, fotojurnalis dari harian Media Indonesia

“Penting dan ribet. Risetnya penting, tapi proposalnya ribet,” ungkap Galih yang juga peserta termuda di kelas PPG tahun ini.

 

Bagi beberapa fotografer, melakukan riset dalam pengerjaan photo story sebetulnya bukan hal yang benar-benar baru. Namun satu hal yang menjadi tantangan bagi mereka adalah bagaimana melakukan riset yang benar, seberapa pentingnya peran riset sebelum memotret, dan tentunya bagaimana membuat proposal yang baik untuk mengajukan pengerjaan sebuah photo story.

Karenanya, salah satu materi yang diajarkan di dalam Kelas PPG adalah materi tentang Riset & Proposal yang kedepannya dapat membantu para fotografer untuk lebih menguasai story yang akan mereka kerjakan serta membantu menentukan visual yang akan difoto di lapangan.

“Bagi beberapa fotografer harian yang mempunyai kebiasaan kerja langsung ‘jalan’ dan memotret, riset mungkin dianggap sesuatu yang menyebalkan. Padahal, justru dengan melakukan riset itulah kita bisa mengurangi waktu yang terbuang karena kita lebih fokus dan sudah tahu apa yang akan kita foto,” papar Firman Firdaus, Editor Tulis National Geographic Indonesia, yang hari itu menjadi mentor tamu di kelas PPG pada hari Jumat (4/12).

Di sesi ke-4 Kelas PPG, pria yang akrab disapa Daus ini, juga menjelaskan beberapa tips dalam melakukan riset, jenis-jenis riset, pentingnya menemui nara sumber dari kalangan para ahli atau akademisi atau bahkan sekadar tips untuk menghindari agar story yang akan dikerjakan bukan sekadar sesuatu yang klise.

Setelah melakukan riset, lantas apa langkah selanjutnya? Proposal.

Masih menurut Daus, proposal pada dasarnya adalah panduan agar story yang kita kerjakan tetap fokus sekaligus menjadi ‘pegangan’ bagi fotografer mengapa karya yang ia kerjakan layak untuk dimuat dan penting bagi publik. Meskipun tidak ada format yang baku, menyertakan data dalam proposal bisa menjadi satu penting untuk memperkuat sebuah proposal.

Unsur “WHY” juga merupakan faktor penting dalam membuat proposal. Selain memperkuat dengan data, fotografer idealnya harus mampu memaparkan visi dan ‘the bigger picture’ dari karya visual yang akan diajukan.

“Disinilah pentingnya proposal karena fotografer menjadi terlatih untuk mempertahankan argumennya didukung dengan data dan faktor “why” tadi. Jadi dalam membuat story, bukan sekadar menarik menurut versi si fotografer, tapi juga menarik dan memiiki kepentingan bagi publik,” kata Daus di hadapan para peserta. (Okky / foto: Tyo)