Regenerasi Tradisi Makan Singkong

Regenerasi Tradisi Makan Singkong

Deden Iman Wauntara/Harian Pikiran Rakyat

 Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.

Saat hampir semua warga Indonesia mengalami ketergantungan terhadap beras akibat program rezim Orde Baru pada 1980-an, yang memaksakan penanaman padi di setiap daerah, warga Kampung Cireundeu, Kelurahan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, tidak ikut-ikutan mengikuti program tersebut. Mereka memilih untuk mandiri dengan mengonsumsi singkong yang dijadikan rasi (beras nasi) sebagai makanan pokok sehari-hari.

Sejak 1918, warga kampung Cireundeu memutuskan untuk mulai berpindah memakan singkong akibat sulitnya mendapatkan beras pada waktu itu. Hingga akhirnya pada 1924, hampir semua warga sudah berpindah untuk memakan singkong dan meninggalkan beras. Lahan-lahan pertanian diubah untuk dijadikan kebun singkong dan mulai belajar mengolahnya hingga bisa dikonsumsi setiap hari.

Saat teknologi dan pendidikan menjadi sebuah kewajiban, para tetua di kampung tersebut mulai khawatir. Pasalnya, para generasi penerus sedikit demi sedikit mulai mengganti pekerjaannya, karena ijazah yang mereka dapatkan dirasa tidak sebanding jika harus bertani. Tidak sedikit pemuda Kampung Cireundeu yang bekerja di kota atau di pabrik, dan lahan pertanian pun menyisakan para petani yang sudah tidak muda lagi.

Namun, tidak semua generasi muda memutuskan untuk bekerja di kota. Beberapa yang peduli memilih untuk bertani, meneruskan tradisi untuk melanjutkan hidup di tengah isu global ketahanan pangan yang kini mengguncang dunia. Anak-anak pun secara tidak langsung belajar saat orang tua sedang mengolah singkong.

Warga kampung Cireundeu tidak khawatir saat dunia menjerit karena semakin berkurangnya makanan pokok yang selama ini mengikat mereka. Mereka hanya takut para generasi muda tidak mau lagi pergi ke kebun untuk menanam dan memanen singkong yang selama ini menghidupi mereka.

 

Biodata

Deden Iman Wauntara lahir di Bandung, 31 Januari 1987. Mengenal fotografi sejak 2005, ketika masih SMA, dan mulai menekuni saat kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Komputer Indonesia, pada 2006. Ia bergelut dengan foto jurnalistik saat magang di Harian Seputar Indonesia (Sindo) Jabar pada 2010, dan mulai bekerja di tempat yang sama hingga 2012.

Pada 2012-2013, ia bekerja sebagai fotografer lepas di Greenpeace, mendokumentasikan Sungai Citarum dan beberapa sungai di Provinsi Banten, kemudian menetap di Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung hingga sekarang.

Sejumlah penghargaan bidang fotografi yang pernah diraih di antaranya Juara II Lomba Foto MDGs 2008, Best Human Interest dalam Lomba Foto Best Collection PAF, Penghargaan dari Salon Foto Indonesia, Juara Harapan pada Lomba Foto Ketenagakerjaan Jabar Banten 2011, Juara II Anlene Photo Journalistic Award, Juara Harapan 1 Lomba Foto Karst Citatah, Juara 1 Lomba Foto NBL Seri Bandung, Juara 1 lomba foto Provinsi Banten. Selain itu, ia juga pernah mengikuti beberapa pameran foto dan pembuatan buku.