Renjana

Renjana
Audrey Kayla, Universitas Katolik Parahyangan & Potret UNPAR

Aku masih duduk di bangku sekolah dasar ketika orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Mereka terus berkata tanpa henti: “Ini bukan salahmu, tetapi salah kami.” Mereka bilang keputusan itu tidak mudah, tapi mesti dijalani. Saat itu, aku tidak mengerti dan terus bertanya kepada diri sendiri. “Apa karena salahku, maka mereka bercerai?” Dengan pola pikir yang masih sederhana, aku menolak untuk mempercayai mereka. Aku menarik kesimpulan sendiri bahwa mereka bercerai karena aku. Karena itu, aku sangat marah pada diriku dan dunia.

Seiring bertambah dewasa, aku kembali memberanikan diri bertanya “mengapa” kepada mereka. Lagi-lagi aku kembali disuapi alasan “ini salah kami.” Aku kembali terjatuh ke lubang gelap yang sama. Lagi-lagi dengan pemikiran bahwa perceraian ini terjadi karena aku. Kerap kali aku berandai-andai, jika waktu dapat diputar kembali, apakah aku akan menjadi anak yang lebih baik sehingga perceraian ini tidak terjadi? Aku terus larut dalam pikiran-pikiran itu.

Ketika berselancar di internet, tidak sengaja aku menemukan suatu teori yang berjudul Five Stages of Grief (Lima Tahap Kesedihan) milik Kübler-Ross. Teori tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia yang mengalami kejadian sedih seperti perceraian atau kematian seseorang akan mengalami lima fase emosi, yakni denial (penolakan realita), anger (kemarahan), bargaining (tawar-menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan). Semula aku marah hingga menolak untuk mempercayai kenyataan yang telah dipaparkan kepadaku. Hal tersebut mengantarkanku pada kesedihan belaka. Namun kini, aku dapat melihat perceraian tersebut dari perspektif baru, bahwa keputusan yang dibuat oleh orang tuaku memang tepat. Meskipun berat, alasan sederhana tersebutlah yang membantuku untuk menerima kenyataan.