‘Rambo’ di Teluk Jakarta

Rambo di Teluk Jakarta: Potret Nelayan Tradisional Bagan yang Bertahan Dari Pembangunan dan Perubahan Iklim di Teluk Jakarta

Iqbal Lubis (Pewarta Foto Lepas, Makassar)

Ombak bergulung-gulung di laut lepas. Bunyinya bak hendak mencengkeram badan kapal. Namun Teguh tetap tenang. Ia tidak takut. Bersama lima orang rekannya, ia terus meniti rangka bambu, menarik jaring dengan bantuan generator. Kapal tempat Teguh bekerja ini adalah armada ke-17 milik Haji Coetang. Namanya Mutiara 17.

“Dulu, masih ramai Bagan Tancap di depan rumah. Namun, sekarang sudah dilarang,” kata Teguh. Bagan Tancap mulai dilarang sejak adanya proyek NPCT-1 dan pembangunan tanggul raksasa di sepanjang pesisir Jakarta. Kini mereka harus mencari lokasi penambatan di kawasan Teluk Jakarta, seperti Pulau Bidadari, yang jaraknya kurang lebih 45 mil. Pelarangan Bagan Tancap ini menurunkan minat warga untuk menjadi nelayan di Teluk Jakarta. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan profesi nelayan, dari 6.095 menjadi 3.381, dalam rentang waktu 2016–2017.

Sekarang mereka menggunakan cara baru yang mereka sebut Bagan Rambo. Seperti halnya tokoh Rambo yang diperankan Sylvester Stallone, bagan ini pun bekerja secara bergerilya. Bergerilya di laut Jakarta, memancing ikan-ikan dengan kilau lampu dan memerangkap mereka dengan jaring bagan yang digerakkan generator 29,8 PK. Bagi saya, inovasi ini bukan sekadar perubahan metode kerja, melainkan cara para nelayan ini bertahan hidup.

Di tepian Pulau Bidadari, malam itu, hanya terjaring beberapa tiris ikan. Lalu bagan mereka pun kembali bergerak mencari titik harapan selanjutnya. Ketika bagan itu bergerak, Teguh berdiri memandang laut malam yang riuh disapu ombak. Berjarak 45 mil laut dari tempatnya berdiri, istri dan anak di rumah menunggunya. Di atas Bagan Rambo, ia merapal harapan, kelak anak-anaknya juga menjadi nelayan.