GELOMBANG YANG HILANG
Nopri Ismi (Mongabay Indonesia, Kab. Bangka Tengah)

“Iya, masih ingat. Saat itu era pemerintahan Soeharto, kami dipindahkan dari Pulau Semujur ke Desa Baskara Bakti. Sejak saat itu, warga di sini mulai jarang melaut dan beralih menjadi penambang timah,” tegas Batman (83), tokoh adat keturunan Suku Laut Sekak yang berdiam di Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung.

Arus industri pertambangan timah telah membawa perubahan drastis bagi kehidupan salah satu suku tertua di Kepulauan Bangka Belitung ini. Hubungan erat mereka dengan laut seketika buyar ketika menambang timah tampak lebih menguntungkan dibanding mencari ikan.

Kini, Suku Sekak dan keturunannya tidak punya pilihan lain selain turut menambang timah untuk mencari nafkah, karena kondisi laut yang berjarak dua mil dari bibir pantai telah terdampak aktivitas tambang timah.

“Sekarang hanya tersisa dua orang nelayan, karena kapasitas kapal kami tidak mampu untuk melaut lebih jauh,” kata Batman, yang tetap berusaha mempertahankan identitas Suku Laut Sekak dengan terus menghidupkan seni tradisi sastra tutur.

Di masa lalu, Suku Sekak mempunyai ikatan yang kuat dengan laut. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya tradisi Taber Laot, sebagai bentuk harapan, doa, dan rasa syukur atas hasil laut yang diperoleh.

“Namun, kepercayaan serta ikatan spiritual masyarakat sekarang dengan laut mulai hilang. Akibatnya, roh angin, gelombang, dan bumi sering marah, ikan semakin sedikit, cuaca tidak menentu dan sering badai,” terang Batman.

Melihat ke depan, Batman berharap hubungan Suku Sekak dengan laut bisa membaik. Namun, jika melihat kondisi Suku Sekak dan laut hari ini, harapan Batman seolah menjadi simbol ketidakmampuan mereka dan kita semua dalam mengelola lingkungan, khususnya laut.