Oase

Usia mereka sangat muda, satu sama lain hanya terpaut satu atau dua tahun. Ada 30 orang siswa dalam ruangan 4×6 meter di bangunan berlantai empat itu. Seperti layaknya anak-anak, mereka terlihat beraktivitas dengan bebas. Yang membedakan mereka dengan anak lainnya adalah disabilitas perkembangan yang dikenal dengan autisme. Kondisi ini menghambat komunikasi dan ekspresi emosi mereka.

Ada tiga pengajar yang terlihat sedang berkomunikasi dengan para siswa di Sekolah Dasar Luar Biasa Harapan Mandiri, Palembang, Sumatra Selatan ini. Mereka berbekal kesabaran ekstra untuk mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) yang belajar bersama anak-anak lainnya di sekolah inklusi tersebut.

“Penolakan salah satu sekolah terhadap anak saya membuat saya tergugah. Jangan sampai anak lain mengalami apa yang kami alami. Terapi ABK menjadi langkah awal untuk mengubah persepsi mereka yang memandang sebelah mata pada anak-anak autis,” kata Muniyati Ismail, perintis sekolah inklusi yang dinaungi organisasi bentukannya, Bina Autis Mandiri Palembang.

Muniyati pertama mengenal autisme dari anaknya, Muhammad Attar An-Nurilla (24). Kondisi ini mengharuskannya untuk memberikan perhatian ekstra pada anak bungsunya itu. Apalagi, fasilitas terapi ABK sulit ditemukan di areanya semasa Attar kecil.

Tapi sang ibu tak patah arang. Demi perkembangan Attar, Muniyati berkerja keras mencari informasi dan mempelajari penanganan ABK. Berbekal semangat itulah, Muniyati membuka kelas terapi autis bagi ABK di Palembang sebagai langkah awal dibentuknya sekolah inklusi yang dikelolanya itu.

“Saya ingin mengubah stigma masyarakat di Indonesia dengan mempraktikkan pendidikan yang setara antara ABK dan anak-anak lainnya,” katanya.

Pada 2004, sekolah inklusi miliknya pun berdiri. Secara proporsi siswa, ada lebih banyak ABK dibandingkan anak-anak lainnya dalam satu kelas. Kurikulum yang diterapkan sesuai standar nasional yang ditetapkan Kemendikbudristek. 

Tantangan terbesar Muniyati adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat Palembang mengenai keberadaan sekolah ini. “Banyak orang tua yang masih takut jika anaknya tertular autis. Paradigma ini harus diubah.” Ditambah lagi, rasio siswa dan pengajar yang menguasai pola pendidikan ABK tidak seimbang. 

Namun dedikasi Muniyati perlahan membuahkan hasil. Sekolah miliknya mulai diterima masyarakat. Kualitas pendidikan yang baik membuat banyak alumni sekolah ini berprestasi. Selain prestasi akademis, semua siswa sekolah ini diajarkan untuk menerima perbedaan, bersikap santun, berdisiplin, dan berempati.