Mata Jalan

Mata Jalan
Reza Saifullah – Universitas PGRI Indraprasta

 

Akhir 2020 hingga pertengahan 2021 menjadi periode tersulit bagiku. Dalam waktu kurang dari lima bulan, aku kehilangan dua sosok ayah yang menjadi mata jalan bagi kehidupanku. Mereka adalah ayah biologisku, “Abi”, dan ayah ideologis yang biasa aku panggil “Abuya”.

Abi dan Abuya adalah madrasah utama bagiku. Dari Abi aku belajar tentang kemandirian dan keistiqomahan. Dari Abuya, aku belajar kesabaran, kerendahan hati dan menjaga hati saat harus merantau dan menimba ilmu di pesantren. 

Tanggal 16 Desember 2020 adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Tanpa berpamitan, tiba-tiba Abuya pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan pesantren dan para santrinya. Masih terekam di ingatanku, pukul 02.00 dini hari ribuan pelayat tumpah ruah diiringi suara tangis. Semua turut menyaksikan Abuya untuk terakhir kalinya sebelum mengantarkannya ke peristirahatan terakhir.

 

Belum sirna rasa sedihku, kabar duka lainnya datang. Abi menyusul kepergian Abuya. Dua bulan sebelum kepergiannya, teringat suara lirih Abi yang memintaku pulang, namun aku tak mengindahkannya. Akhirnya aku pulang dengan penuh penyesalan karena Abi telah menutup mata untuk selamanya.

 

Kehilangan dua sosok panutan dalam waktu berdekatan membuat suasana hati tidak karuan. Aku terus berpikir, mampukah aku menjalani semua ini? Teringat masa-masa mengadu pada mereka ketika mengalami permasalahan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar bahwa mereka tidak pergi dengan sia-sia. Ajaran yang mereka tinggalkan tetap ada untuk mengiringi setiap langkahku.