Exile

Exile

Rosa Panggabean (Freelance Photographer, Jakarta)

Tiga lelaki yang saya temui tampak seperti orang lanjut usia yang berusia 80-an pada umumnya. Rata-rata berambut penuh uban dan beraktivitas layak orang biasa di Amsterdam, Belanda.  Namun mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa itu. Mereka adalah Chalik Hamid, Ibrahim Isa, dan Sarmadji, sedikit dari ratusan orang eksil 65 di Belanda yang mau terbuka tentang kisah hidupnya.

Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno di tahun 1964. Pada masa itu lewat jargon politik Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) dan dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, pemerintah RI melakukan kerjasama dengan negara asing untuk mengirim orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga seni seperti sastra dan film. Cita-cita Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya alam Indonesia kelak.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu sejalan dengan Uni Sovyet yaitu anti imperialisme. Sementara itu, Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan China karena kedua negara sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada Blok Barat dan Blok Timur. Oleh karena itu, beberapa negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania serta China. Pelaku sejarah menyebutkan sekitar 1500 orang dikirim ke negara-negara di Eropa Timur.

Eksil 65 adalah mereka yang pada masa itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi di negara-negara sosialis. Keseluruhan peristiwa tersebut berlangsung dalam konteks perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.

Setelah Orde Baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dituduh sebagai komunis. Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap dan diinterogasi oleh pihak militer.

Bertahun-tahun para eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, China serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil. Maka pada tahun 1980-an sebagian dari mereka berimigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda. Mereka pun kemudian melamar menjadi warga negara Belanda. Karena rata-rata para eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para eksil ini sejatinya warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia merdeka atau masih dianggap lahir di wilayah Nederlandsch-Indische. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para eksil ini sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tempat asal mereka, Indonesia.

Para eksil 65 hingga kini berharap pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak muluk-muluk berharap mendapat kompensasi materi atas penderitaan mereka karena tragedi 1965 memakan terlalu banyak korban. Yang mereka harapkan hanyalah permintaan maaf.

SARMADJI

Sarmadji sudah berprofesi sebagai guru saat ia dikirim ke China untuk belajar tentang pendidikan anak di luar sekolah pada tahun 1965. Setelah kejadian 30 September 1965, Sarmadji dituduh menjadi bagian dari komunis karena ia mengaku sebagai Soekarno-is. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil paspornya dan ia tidak dapat kembali ke Indonesia.

Sarmadji tinggal di China hingga ia berusia 45 tahun. Pada saat itu, ia memutuskan untuk pindah ke Belanda. Ia kemudian diterima sebagai warga negara Belanda, namun ia diharuskan untuk bekerja. Di usia yang tidak muda lagi, Sarmadji pun mencari pekerjaan dan diterima sebagai buruh pemotong kaca di sebuah perusahaan. Di perusahaan itu pula ia bertemu dengan orang-orang Suriname yang pandai berbahasa Jawa. Oleh teman-teman Surinamenya itu pula, Sarmadji diminta untuk mengajarkan cara menulis dalam bahasa Jawa.

Dalam pergulatannya melawan orde baru, Sarmadji kemudian membuat Perkumpulan Dokumentasi Indonesia atau disingkat Perdoi. Perdoi memuat kumpulan arsip dan dokumentasi tentang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan tragedi 65/66. Sekarang sekitar 20 orang Indonesia menjadi relawan untuk menjalankan perpustakaan tersebut. Perdoi dapat diakses oleh publik umum jika ada yang orang yang memerlukan data atau arsip yang berkaitan dengan sejarah 1965. Sarmadji bahkan bersedia memfotokopi beberapa dokumen jika ada yang membutuhkan.

Pria asal Solo yang kini berusia 83 tahun tersebut tidak menikah dan berketurunan. Selain mengurus Perdoi, Sarmadji dengan sukarela membantu mengurus cucu dari keluarga temannya, yang bahkan sudah ia anggap sudah seperti cucu sendiri. Sarmadji percaya untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan hal itulah yang tetap membuat Sarmadji bertahan.

IBRAHIM ISA

Ibrahim Isa tinggal di Kairo sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization) pada tahun 1960-1966. Pada Januari 1966 ia berbicara mengenai kondisi politik Indonesia mengenai apa yang terjadi pada Oktober 1965 dalam Konferensi Solidaritas Rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (Tricontinental Conference) yang berlangsung di Kuba. Setelah ia berbicara di konferensi tersebut paspornya dicabut dan  pria asal Minang itu pun menjadi eksil. Lewat surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda, pemerintah Indonesia yang pada saat itu diambil alih oleh militer menyatakan bahwa Isa adalah agen Gestapu dan harus digantung.

Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Pada saat yang bersamaan Isa mendapat informasi bahwa istri dan ketiga anaknya yang pada saat itu masih berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat menyusul Isa ke Tiongkok. Mereka sekeluarga tinggal di Tiongkok selama 11 tahun. Isa memutuskan untuk ke Belanda pada November1987 dan meminta suaka politik. Isa kemudian menjadi warga negara Belanda dan tinggal di Amsterdam hingga kini.

Namun pria kelahiran Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta) pada 20 Agustus 1930 itu tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai pemikirannya tentang Indonesia lewat tulisan. Isa menulis sebuah memoir Kabar dari Negeri Seberang dan Bui Tanpa Jerajak Besi Lewat tulisan-tulisannya itulah Isa mencoba melawan lupa.

CHALIK HAMID

Chalik Hamid adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) atau organisasi sayap kiri yang berkonsentrasi di bidang seni dan budaya. Pemerintahan Soekarno mengirim Chalik ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Setelah pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, paspor Chalik dicabut sehingga ia tidak bisa pulang atau kembali ke Indonesia. Karena tak punya identitas legal sebagai warga negara, Chalik pun tidak dapat melanjutkan studinya dan kemudian bekerja sebagai montir di sebuah pabrik mobil, jauh berbeda dari apa yang ia pelajari di universitas.

Saat Chalik menjadi eksil pada masa itu, istri yang ia tinggalkan di Indonesia kemudian ditangkap dan ditahan. Usaha surat menyurat ia lakukan untuk tetap berhubungan dengan keluarga di Indonesia. Ia kembali ke Indonesia pertama kali pada tahun 1995, saat itu ia sudah menikah dan mempunyai kehidupan baru dengan perempuan Albania, sementara istri pertamanya pun sudah mempunyai suami baru.

Pada tahun 80-an itu, Albania pun mengalami krisis ekonomi, kemudian Chalik pindah ke Belanda pada akhir tahun 1989. Ia pun kemudian menjadi warga negara Belanda. Pria asal Sumatera Utara tersebut menikah lagi dengan seorang perempuan dari Indonesia dan menjalani masa tuanya di kawasan Amsterdam Utara. Ia aktif menulis di milis, dan masih menulis sajak, serta menjadi redaktur di kalangan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI).