Albertus Vembrianto_Fragmen Papua_diptych_01
Albertus Vembrianto_Fragmen Papua_diptych_02
Albertus Vembrianto_Fragmen Papua_diptych_03

FRAGMEN PAPUA karya Albertus Vembrianto

DISKRIMINASI DAN KEKERASAN TERHADAP ORANG PAPUA SELALU BERULANG.

“Saat yang ditembak bukan orang Papua, media arus utama ramai memberitakan. Beda saat orang Papua yang meninggal akibat aksi kekerasan aparat keamanan, hampir tak ada media di Jakarta yang memberitakan,” kata Ambrosius Mulaid (24 tahun), mahasiswa asal Lembah Baliem, Papua di Jakarta, menuturkan pengalaman diskriminasi orang Papua terkait peristiwa di Kabupaten Nduga, Papua.

Awal Desember, sejumlah media arus utama di Jakarta memberitakan 31 pekerja Trans-Papua dibunuh kelompok kriminal bersenjata di Nduga, Papua. Selang empat hari ada ralat bahwa jumlah pekerja Trans-Papua yang tewas sebetulnya 16 orang. Ada juga media yang memberitakan jumlah korban sebenarnya 19 orang.

Jarak geografis dan ketidaktahuan tentang konteks Papua membuat media di Jakarta cenderung memakai aparat keamanan sebagai sumber informasi. Alasan lain, peliputan di Papua perlu biaya operasional besar dan pemerintah melakukan pembatasan bagi jurnalis asing melalui prosedur clearing house.

Masalah serius terkait akses informasi di Papua juga dihadapi jurnalis di Papua. Mulai gangguan seperti suap, intimidasi maupun kekerasan dari aparat, pejabat publik, masyarakat, aktivis pro-NKRI dan aktivis pro-kemerdekaan, saat meliput isu yang peka. Malahan, jurnalis yang meliput tentang ketidakpuasan orang Papua terhadap keadaan sosial dan politik di Papua maupun pelanggaran oleh aparat keamanan negara akan diawasi dan dimata-matai. Alhasil liputan yang kritis, terverifikasi, dan mendalam soal beragamnya perkembangan Papua amat minim.

“Orang di sini sering tanya, apa ada mall di Papua? Ada mobil tidak? Apa orang Papua masih pakai koteka?” cerita Rosa Kamiroki (22 tahun), mahasiswa asal Nabire di Jakarta. Bukan mengada-ada jika Papua dianggap sebagai kawasan dengan peradaban primitif. Kenyataan bahwa strategi pembangunan yang diterapkan di Papua justru membuat orang Papua menjadi minoritas dan tersingkir di tanah sendiri, malah tak pernah diketahui publik. Apakah pembangunan infrastruktur seperti jalan Trans-Papua, merupakan jalan keluar permasalahan di Papua?

Pembangunan infrastruktur jalan Trans-Papua justru menuai banyak insiden penembakan. Peristiwa awal Desember 2018 di Nduga, Papua itu bukan kali pertama. Proyek Trans-Papua yang direncanakan sejak masa Presiden Habibie justru memicu rangkaian kekerasan di Papua. Bagi orang Papua, jalan Trans-Papua bukanlah infrastruktur untuk orang Papua, melainkan infrastruktur militer, peluang investasi bagi pendatang dan ancaman eksploitasi hutan maupun kekayaan alam Papua.

(Foto dan teks oleh Albertus Vembrianto)

Karya Fragmen Papua oleh Albertus Vembrianto ini menerima Best Work of PPG 2018 dan mendapatkan kamera Leica Typ TL dan Lensa 18mm yang dipersembahkan oleh Leica Store Indonesia. Karya selengkapnya saat ini karya tersebut tengah dipamerkan dalam Pameran Foto DIVERSITY di Erasmus Huis yang berlangsung hingga 12 April mendatang.

Pameran Foto DIVERSITY menampilkan karya pewarta foto penerima Permata PhotoJournalist Grant 2018, sebuah program yang didedikasikan bagi pengembangan keterampilan pewarta foto muda Indonesia berupa pelatihan fotografi dan grant untuk mengembangkan proyek foto bertutur (photo story) yang dipersembahkan oleh PermataBank dan Erasmus Huis, bekerja sama dengan PannaFoto Institute.