Proses Penciptaan Karya Visual Bersama Arum Dayu

Kamis (16/23/2022), sepuluh fotografer muda kembali bertemu di kelas daring workshop Permata Youth Photostory 2022 dengan tema JOURNEY. Di pertemuan kedua ini, Arum Dayu berbagi proses penciptaan karya visual miliknya dengan teknik visual storytelling. 

Arum Dayu memulai presentasi dengan menceritakan proses penciptaan cerita foto ‘Goddess of Pantura’. Cerita foto ini adalah proyek panjang pertamanya yang tidak memiliki beban penugasan dari media. Saat itu, ia mengaku belum memiliki metode khusus dalam menciptakan karya. Ia hanya melakukan riset observasi ke daerah jalur Pantura, salah satunya Kota Cirebon. Kemudian ia melakukan pendekatan ke subjek, sehingga ia dapat mengikuti kegiatan grup dangdut kemanapun mereka pentas. Dengan latar belakang pewarta foto yang masih kental, Arum Dayu memotret momen-momen di pertunjukan biduan dangdut Diana Sastra dari Pantura.

Setelah menyelesaikan proyek ini, Arum Dayu merasa bosan dengan pendekatan reportase dalam penciptaan karya visual yang selama ini ia gunakan. Dilandasi oleh rasa bosan tersebut, Arum membuat proyek foto kedua yang bertajuk “Kapan Nikah”. Di proyek ini, ia meninggalkan pendekatan reportase yang ‘mengejar momen’ dan membuat cerita foto dengan teknik ‘menciptakan momen’. “Kapan Nikah” adalah proyek personal yang didorong oleh kejengahan Arum yang selalu ditanya ‘Kapan Nikah?’ oleh orang tuanya. “Fotografi aku buat menjadi medium berkomunikasi dengan orang tua”, kata Arum Dayu. Menurutnya, fotografi adalah bentuk bahasa universal yang mudah diterima, salah satunya foto pernikahan. Ia membuat rangkaian foto pernikahan palsu, lengkap dengan memakai baju pernikahan adat Jawa Solo dan empat model pria sebagai pengantin pria. Arum mengerjakan semua proses produksinya sendiri, dari merias diri hingga pemotretan. “Ini ceritaku, maka aku harus mengerjakannya sendiri”, jawab Arum saat ditanya orang tuanya mengapa tidak memotret peristiwa perkawinan orang lain. Proses proyek ini membuat permasalahan kegelisahan “Kapan Nikah” orang tuanya jadi cair.

Proyek selanjutnya dari Arum Dayu berjudul “Perempuan Yang Kehilangan Wajahnya”. Ia menciptakan dua tryptic foto wanita bercadar sebagai respon terhadap cerpen Feby Indirani bertajuk Bukan Perawan Maria. Dari proyek ini Arum menjadi tertarik mengulik topik tentang hijab lebih dalam. Namun, ia ingin membicarakan hijab tanpa menyinggung aspek agama sebab ia perempuan non-muslim. Untuk itu, ia mentransformasi metode penciptaannya dengan meminjam pendekatan dari seni rupa. Secara singkat, metode ini memiliki empat tahap. Tahap pertama adalah Persiapan atau Masukan. Di tahap ini, kita melakukan observasi lapangan, riset literatur dan mindmap. Selanjutnya, semua informasi yang kita terima di tahap pertama diendapkan di tahap kedua– tahap inkubasi/pengeraman.

Di tahap berikutnya, tahap inkubasi, kita mulai mencari inspirasi. Di proyek fotografi, contohnya dengan melakukan kaji banding fotografer. Kemudian di tahap terakhir, tahap verifikasi atau evaluasi, ide kita diuji terhadap realitas dengan mulai melakukan eksperimen/pengerjaan karya. Berbekal metode tersebut, Arum akhirnya membuat cerita foto bertema hijab dengan melihatnya sebagai tren fashion dengan judul “Pasar Baru”. Ia melakukan riset ke Pasar Baru Bandung sebagai salah satu pusat perbelanjaan busana muslim terbesar di Bandung.   

“Karyaku biasanya mengalami perkembangan atau pembaharuan”, ujar Arum Dayu. Hal tersebut terjadi karena Arum Dayu tidak cukup puas dengan hasil terakhirnya. Akhirnya ia membuat Proyek Seni Pasar Baru. Arum mendokumentasikan tren busana muslim, dari penjual, pengunjung, hingga para pekerja yang ada di Pasar Baru. Tak berhenti sampai sini, Arum mengembangkan lagi proyek “Pasar Baru” dan menjadikannya proyek “Novelty Vogue”. Di proyek ini, ia bereksperimen bentuk dengan ‘menciptakan’ tren baru hijab yang terinspirasi dari tren lokal; seperti sinetron, ojek online, tren berolahraga, berkebun, dll.  Usai pemaparan Arum Dayu, kelas dibagi ke dalam breakout room. Di ruang-ruang itu, satu persatu peserta mempresentasikan hasil pemotretan mereka selama seminggu. 

Para peserta akan mengikuti rangkaian kelas yang akan dilaksanakan setiap hari Kamis hingga 14 Juli 2022. Ikuti kanal sosial media Permata Photojournalist Grant untuk info terkini program Permata Youth Photostory (PYP) 2022.


Webinar PYP: Saujana Sumpu

Program terbaru Permata Bank dan PannaFoto Institute, Permata Youth Photostory (PYP) 2022, diramaikan dengan seri webinar fotografi Permata Youth Photostory 2022 (17 Mei - 30 Juni). Di seri ini, para pelaku fotografi dapat mencari inspirasi dengan mendengar lebih banyak JOURNEY dari para praktisi fotografi yang berpengalaman.

Kamis (23/06/2022), program webinar gratis memasuki sesi kedelapan. Andre Sebastian (VP, Head of External Communications) mengapresiasi PannaFoto yang setia mendukung terselenggaranya Permata Photojournalist Grant (PPG) serta Permata Youth Photostory (PYP).

Sesi webinar kedelapan PYP mengundang Yoppy Pieter sebagai narasumber dan Caron Toshiko sebagai pemandu. Saujana Sumpu merupakan salah satu proyek foto Yoppy Pieter, sekaligus nama sebuah desa kecil dekat Danau Singkarak di Sumatera Barat. Cerita foto ini menyorot topik perantauan– kisah tentang desa yang sepi karena ditinggal penduduknya untuk merantau. Selama dua tahun, 2013 hingga 2015, Yoppy bolak-balik Jakarta-Sumatera untuk mengerjakan proyek foto ini hingga akhirnya diterbitkan menjadi sebuah buku. 

“Saya orang Jawa, orang luar Sumatera, namun jatuh cinta pada kampung ini. Kampung ini punya tanah yang luar biasa subur dan kehidupan yang tidak pernah saya temukan dimana pun”, ungkap Yoppy menjawab pertanyaan Caron Toshi perihal mengapa mendokumentasikan Desa Sumpu. “Sumpu adalah desa yang sangat subur, namun desa yang sangat sunyi dan sepi”, imbuh Yoppy. Dari proyek foto ini, Yoppy juga menemukan pergeseran konsep merantau dari pergi untuk kembali menjadi pergi dan menetap di kota. “Ini lebih dari sekadar merekam desa yang ditinggalkan, tapi bagaimana aku merepresentasikan kameraku sebagai mata para perantau yang merindukan kampungnya’, ujar Yoppy Pieter.

Caron Toshi menyoroti tiga pembabakan dalam buku foto Saujana Sumpu; kelahiran (anak muda) - kesedihan dan kesendirian - kebangkitan. Yoppy menjelaskan, pembabakan itu lahir saat proses produksi buku di tahap dummy. Pembabakan itu merepresentasikan bentuk-bentuk merantau itu sendiri. Dari awal mula merantau di usia muda untuk menghidupi diri sendiri, kerinduan akan kampung halaman hingga cara-cara berbeda untuk “kembali ke kampung” seperti menyekolahkan anak-anak Desa Sumpu atau merevitalisasi rumah.  

Dari aspek personal, Saujana Sumpu adalah perjalanan Yoppy meredefinisi identitas dirinya, akar kampung halaman dan jelajah kuliner. Saujana, secara harafiah berarti “sejauh mata memandang”. Yoppy merekam lanskap Desa Sumpu secara harafiah dan simbolis melalui gambar hitam putih. Menampilkan kemuraman sekaligus keelokan desa di punggung kaldera hingga tepi Danau Singkarak ini. Bagi Yoppy, fotografi tak hanya berfungsi sebagai medium bercerita tapi juga medium pengetahuan. Ia berharap suatu hari nanti, rekaman visual ini dapat menjadi referensi riset. Yoppy juga menaruh perhatian mendetail tentang bagaimana Saujana Sumpu ditampilkan tak hanya secara dua dimensi dalam bentuk buku, tapi juga bagaimana cerita ini dipamerkan di ruang seni. 

Yoppy Pieter kemudian menceritakan pengalamannya saat berpartisipasi di Joop Swart Masterclass 2019. Ia memperluas narasi cerita foto tentang perantauan, bermula dari tanah kelahiran para perantau hingga tanah dimana mereka saat ini menetap. Yoppy bertandang ke Indramayu untuk mendokumentasikan kehidupan warga Sumpu sebagai pelengkap rangkaian cerita Saujana Sumpu.

Kunjungi permata-photojournalistgrant.org untuk mendapat inspirasi dari para praktisi fotografi yang berpengalaman melalui seri program fotografi oleh PannaFoto Institute.