Program terbaru Permata Bank dan PannaFoto Institute, Permata Youth Photostory (PYP) 2022, diramaikan dengan seri webinar fotografi Permata Youth Photostory 2022 (17 Mei – 30 Juni). Di seri ini, para pelaku fotografi dapat mencari inspirasi dengan mendengar lebih banyak JOURNEY dari para praktisi fotografi yang berpengalaman.

Kamis (30/06/2022), program webinar gratis memasuki sesi terakhir. Webinar dibuka dengan pemutaran kembali video program PYP sebagai perluasan program PPG dan dipandu oleh Ibu Ng Swan Ti selaku Managing Director PannaFoto Institute. Selanjutnya, Andre Sebastian selaku Head of External Communications PermataBank memberi sambutan sekaligus apresiasi kepada seluruh mitra yang turut mendukung terlaksananya Permata Youth Photostory (PYP) 2022.  

Pendidik fotografi sekaligus pecinta alam Edy Purnomo menceritakan kisahnya menjelajahi alam bebas di berbagai daerah. Dalam perjalanannya, ia menemukan jeda dari kesibukan untuk refleksi diri dan inspirasi baru yang berfungsi sebagai tombol reset dalam kehidupan profesionalnya. Beawiharta, pewarta foto kawakan, membuka sesi dengan menceritakan dua buku foto karya Edy Purnomo, “Passing” dan “Wildtopia”. “Buku Wildtopia buatku adalah masterpiece Edy karena di sini dia berbicara soal alam, binatang, manusia dan perubahan iklim. Banyak fotografer bicara climate change dengan rumit, Edy berbeda. Ia menyajikannya dengan sederhana. Sebagai pendidik, pengamatannya tentang hewan dan alam disajikan seperti buku anak-anak untuk pengantar tidur,” ungkap Beawiharta. 

Kecintaan Edy Purnomo pada alam telah tumbuh semenjak usia kanak-kanak. “Healing in Nature” merupakan refleksi masa kecilnya di kampung halaman. Alam dan pendidikan adalah dua hal yang meramaikan masa kecilnya. Ia berusaha memberi jarak antara kecintaan pada alam dan rutinitas harian agar semangat hidupnya tak padam. 

Perjalanan Edy dengan fotografi membawanya berkarir di Agence-France-Presse, kantor berita Perancis di Indonesia. Ia menjadi saksi sejarah dan memotret aksi-aksi demonstrasi yang terjadi di tahun 90-an. Setelah masa reformasi, Edy mengalami kebuntuan dalam berkarya. Untuk membebaskan diri dari creative block, ia melakukan perjalanan ke Nepal, destinasi impiannya sejak kecil. Pada 2003 ia memberanikan diri mendaki Gunung Everest untuk pertama kalinya. Selain menikmati keindahan alam Nepal, ia juga berinteraksi dengan penduduk lokal. Dokumentasi perjalanannya di Nepal sempat dimuat di majalah lokal dan membawanya bertransisi dari pewarta foto ke fotografer lepas yang kerap mengkombinasikan alam ke karyanya.

Bagi Edy Purnomo, apa pun pekerjaanya, jika dijalankan tanpa passion atau sekadar menjadi rutinitas, maka hasilnya tidak akan maksimal. Saat mengalami kejenuhan, Edy pergi ke alam bebas dan menemukan kembali kecintaannya pada fotografi. Seiring berjalannya waktu dan teman perjalanan yang berkurang, ia mulai sering menjalani solo travelling ke alam bebas. Dengan perjalanan alam, ia membuka semua panca indera dan memberi jeda agar dapat memperhatikan sekeliling dengan lebih seksama. Alam bebas memberikannya banyak hal untuk direfleksikan. Ia juga menekankan pentingnya persiapan keamanan agar zero accident saat melakukan solo travelling.

Edy menjawab pertanyaan salah seorang fotografer muda terkait hal-hal yang perlu diperhatikan dalam storytelling, yakni dengan menguasai medium fotografi itu sendiri dan belajar memahami teknik storytelling yang berkaitan dengan cerita apa yang ingin kita ungkapkan. “Perpaduan keduanya– ketertarikan pada hal yang ingin diceritakan dan penguasaan medium fotografi menjadi kunci,” kata Edy.

Kunjungi permata-photojournalistgrant.org untuk mendapat inspirasi dari para praktisi fotografi yang berpengalaman melalui seri program fotografi oleh PannaFoto Institute.