“Kita semua bisa bercerita,” ujar Rosa Panggabean, di kelas kedua Permata Photojournalist Grant 2021, Jumat (25/02/2022). Alumni PPG 2011 ini membawakan tentang ragam narasi visual. Dalam paparannya, Rosa menjelaskan, otak manusia pada dasarnya bekerja dengan mengasosiasikan emosi dan visual. Karena itu, pada dasarnya, setiap manusia adalah seorang storyteller atau pencerita. 

Meski punya cara kerja otak yang sama, namun ada perbedaan antara orang biasa dengan fotografer atau storyteller, orang biasa bercerita untuk diri sendiri sementara fotografer atau storyteller bercerita dan menyampaikan ke publik. Namun baik orang biasa atau fotografer, keduanya sama-sama menggunakan asosiasi visual untuk memperkuat cerita foto. 

Selain persamaan dan perbedaan cara kerja, ia juga menerangkan kebutuhan manusia akan konsumsi visual dan format narasi visual terus berkembang. Dulu, mediumnya hanya foto/gambar untuk format publikasi koran dan majalah, tapi sekarang, ada banyak platform visual, dari pameran, buku foto, situs hingga media sosial. 

“Untuk mengetahui format narasi visual yang akan digunakan, kita harus tahu output dari foto cerita yang akan kita buat,” sambung Rosa. Dalam konteks program PPG misalnya, karya peserta akan dipresentasikan dalam format pameran dan buku. Namun harus juga dipertimbangkan, apabila cerita foto kelak akan dimuat di masing-masing media tempat peserta bekerja. 

Dalam perkembangan narasi visual, Rosa mendedah beragam bentuk klasik, seperti diptych, sequence, series, dan blok. Sekilas ia juga membahas tentang EDFAT (Entire, Detail, Frame, Angle and Time), metode yang kerap digunakan dalam foto jurnalistik, sebagai bentuk eksplorasi teknis untuk memperkaya cerita foto. Rosa memperkaya visual peserta dengan gagasan Marc Prust (peneliti, fotografer, dan staf ahli WordPress Photo). Menurut Marc Prust, bentuk-bentuk visual naratif saat ini berupa; visual diary, portofolio, narrative, typology, continuous story dan photographic essay

Rosa lalu berbagi berbagai referensi visual yang memperlihatkan ragam narasi visual karya-karya fotografer Indonesia maupun dunia berdasar gagasan Marc Prust. Untuk Visual Diary, foto-foto dari kisah personal yang kerap digabungkan dengan teks oleh si fotografer/seniman dengan perspektif personal, Rosa menyebut karya Ravy Shaker “Letter to Moses” dan mengenalkan bentuk-bentuk visual yang digagas oleh  Antonius Immanuel dengan karya “Online Dating”. 

Kisah mereka tidak hanya berbasis cerita personal namun diperkuat dengan layer cerita tambahan. Ravy Shaker tidak hanya mempresentasikan hasil diskusi bersama istrinya, tapi juga mengisahkan secuil realitas imigran. Antonius tidak hanya mencari tahu sendiri bagaimana fenomena online dating bekerja, ia juga menemukan bahwa teman kencan perempuan yang ia temui rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Metode kedua, portofolio adalah koleksi foto dengan format konsisten tentang satu topik spesifik, di mana setiap gambar mengilustrasikan sebuah aspek dari cerita. Karya “Red Ink” dari Max Pinckers dan Iqbal Lubis (alumni PPG) “Rambo di Teluk Jakarta” menggunakan pendekatan portofolio untuk menyusun cerita.

Selanjutnya, pendekatan yang paling umum digunakan untuk membuat photo story adalah Narrative. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Eugene Smith, fotografer yang kerap dipanggil sebagai bapak photo story. Dalam Narrative, cerita foto memiliki alur yang jelas. Cerita foto dibangun dengan foto pembuka, adegan klimaks dan foto penutup. Contoh karya dengan pendekatan ini adalah “Country Doctor” oleh Eugene Smith dan “Kresnapaksa” oleh Arif Hidayah (alumni PPG)   

Metode keempat adalah Typology. Metode ini menggunakan rangkaian foto untuk membicarakan tentang topik yang berdekatan melalui visual struktur yang hampir identikal, meski objek yang difoto berbeda. Jan Banning hampir selalu menggunakan metode tipologi dalam semua proyeknya. Atet Pramadia (alumni PPG) menggunakan pendekatan ini untuk membuat karya “Pusako Minang”.  

Pendekatan berikutnya adalah Continuous Story. Metode ini digunakan untuk menceritakan sebuah topik spesifik, gaya visual tidak perlu konsisten namun setiap foto merepresentasikan sebuah klimaks visual. Format ini biasanya digunakan oleh foto jurnalis untuk menceritakan mega isu yang sedang terjadi di dunia. Contohnya adalah karya Wasteland oleh Kadir Van Lohuizen.  

Format terakhir adalah Photographic Essay. Dalam photographic essay, sebuah cerita diutarakan lewat rangkaian foto, diperkuat oleh aspek estetika tata ruang halaman publikasi, dan dikombinasikan dengan beragam visual perspektif. Umumnya, format yang digunakan untuk cerita foto semacam ini telah ditentukan sebelumnya oleh editor foto/klien. Sebagai contoh, Putu Sayoga dalam reportase “The Ring of Fire” menggunakan format vertikal dan diptych sesuai dengan arahan penugasan. 

Salah seorang peserta, ​​Bhagavad Sambadha (wartawan Tirto.id) mengajukan pertanyaan, “Idealnya apakah kita sudah tahu format apa yang kita gunakan dari awal atau sembari jalan?.” Menanggapi pertanyaan tersebut, Rosa mengungkapkan, “Idealnya memang kita sudah tahu sedari awal format visual seperti apa. Namun, kita jangan menutup diri dengan apa yang kita temui di lapangan. Jika ada fakta atau data baru, sebagai jurnalis kita tidak boleh menutup mata. Ketika itu bisa dimasukkan dengan pendekatan lain yang berbeda, mengapa tidak?”

Rosa menutup sesi materi sekaligus mengingatkan peserta, “Saat membuat proyek visual, gunakan elemen visual untuk bercerita, bukan menggunakan elemen teks.” Elemen teks dinilai sulit digunakan untuk membangun asosiasi emosi dan visual. 

Setelah sesi materi usai, peserta bersama dengan para mentor: Edy Purnomo, Rosa Panggabean, dan Yoppy Pieter mendiskusikan dan mempertajam proposal masing-masing peserta. Kemudian peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk mempermudah proses mentoring.