Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa pengetahuan visual tak benar-benar penting untuk dipelajari. Sejak lahir hingga dewasa, kita telah terbiasa menerima fungsi panca indera tanpa perlu dipertanyakan lagi. Sehingga muncullah anggapan bahwa kita bisa menangkap arti dan makna yang dilihat lewat mata hanya berdasarkan insting.

“Ini yang kadang pincang. Di Indonesia, Visual Literacy itu memang tidak dipelajari di sekolah-sekolah, dianggap ilmu ini tidak begitu penting. Padahal, kalau kita lihat di masa sekarang, kita hidup di era budaya visual. Coba hitung, berapa persen kita menggunakan visual dalam kehidupan sehari-hari?” Ujar Edy Purnomo, mentor PannaFoto Institute, dalam kelas daring ketujuh yang merupakan bagian dari Pelatihan Fotografi program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020, Jumat, (8/1/2021).

Setidaknya, Edy menyebutkan tiga poin yang perlu digarisbawahi kenapa Visual Literacy menjadi penting untuk dipelajari.

Pertama, seperti yang sudah dikatakan, sekarang kita hidup dalam era budaya visual. Apa yang kita produksi dan konsumsi, semuanya berbahasa visual. Apalagi didukung oleh media sosial, penyebaran informasi visual tentu jauh lebih cepat menyebar.

Disadari atau tidak, sesungguhnya informasi visual lebih memorable atau mudah lekat pada memori kita ketimbang informasi tekstual. Menurut Edy, 70 s.d. 85% informasi yang diserap manusia didapatkan lewat bahasa visual. Ditambah pada fakta dalam sepanjang hidupnya, manusia akan selalu mengingat memori-memori visual itu.

Kemudian poin kedua, wujud visual mempermudah cara manusia berkomunikasi. Dan yang ketiga, Visual Literacy dapat memperkaya pemahaman kita terhadap sesuatu.

Maka bagi para peserta PPG 2020 yang notabene fotografer, tak pelak bahwa pengetahuan Visual Literacy ini sangat membantu mereka untuk menggodok karya yang akan digarap.

Untuk memahami seperti apa cara membaca dan memaknai karya foto, Edy memaparkan perihal elemen-elemen visual dan teori Gestalt sebagai alat bantu membedah karya. Nantinya, bagi kreator, kedua pengetahuan itu sangat berguna untuk menciptakan imaji yang diinginkan. Sementara bagi pembaca/audiens/penikmat karya, hal tersebut memudahkan analisa seseorang ketika membangun sebuah persepsi.

“Terkadang Nopri baru sadar [red: ada] makna visual setelah memotret, apakah itu baik?” Tanya Nopri Ismi, pewarta foto Mongabay Indonesia, yang juga peserta PPG 2020.

Menurut Edy, sebetulnya harapan untuk peserta setelah mempelajari Visual Literacy ini adalah bisa membuat analisa terlebih dahulu sebelum memvisualkan ide yang ingin disampaikan. Analoginya sama seperti seseorang yang ingin membuat tulisan, setidaknya ia punya bekal teoretis dan tahu goals atau tujuan apa yang ingin dicapai. Jika seorang kreator tidak tahu cara membaca atau buta visual, pesan maupun maknanya jadi tak begitu jelas. Memang, karya itu kemungkinan besar masih bisa dibaca, tetapi tak seperti apa yang diharapkan.

Di sisi lain, Yoppy Pieter, fotografer dan Mentor PPG 2020, menambahkan bahwa sesungguhnya Visual Literacy lebih dari sekadar pre-visualisasi sebelum seseorang memotret. Dengan kemampuan Visual Literacy yang kaya, cara seseorang melihat subjek maupun objek sudah pasti berbeda.

“Jadi, mau di medan apapun, mau di kondisi apapun, ya kita sudah siap dan nggak takut lagi atau bingung mau memotret apa dan seperti apa,” ujarnya.

Pengetahuan tentang Visual Literacy pada akhirnya memegang peran vital saat mematangkan proses visualisasi, bahkan jauh sebelum karya itu diproduksi. Ia akan jadi stimulus di kepala seorang fotografer dan proses memotret pun jauh lebih mudah secara intuitif. // Rizka Khaerunnisa