Photo Editing II

10 penerima Fotografi Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 kembali bertemu dengan mentor Edy Purnomo, Rosa Panggabean, dan Yoppy Pieter dalam sesi Photo Editing sesi II, selasa 15 Maret 2022.

Sama seperti Photo Editing I, kelas  dibagi ke dalam dua breaking room, kelompok Rosa dan kelompok Yoppy, masing-masing mengampu 5 peserta. Sebelumnya, masing-masing peserta telah mengirimkan 45 frame foto baru, dalam sesi ini peserta memiliki tugas untuk memilih 15 foto yang mereka anggap menarik. Lalu, bersama mentor, mereka berdiskusi foto-foto mana yang dapat digunakan dalam photo story mereka.

180 menit berlalu, seluruh peserta dan mentor kembali ke ruang utama untuk merekap dan diskusi singkat. Edy Purnomo berkomentar, “Kalian masih banyak menangkap hal-hal yang di depan mata. Kenali konflik lebih dalam. Banyak yang bisa dieksplor dari problematika, hubungkan dengan elemen-elemen visual yang terdapat di sana. Hadirkan lebih banyak problematika di sesi editing selanjutnya.” sambungnya.

“EDFAT adalah cara melihat bukan cara untuk membuat cerita,” tutur Yoppy Pieter.

Masih ada 9 sesi pertemuan yang harus diikuti oleh peserta untuk berproses dalam pelatihan ini untuk menghasilkan karya-karya yang tidak hanya menarik namun juga memiliki pesan yang kuat.  


Riset untuk Fotografi Dokumenter Bersama Saša Kralj

Rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 terbagi dalam lima sesi Developing Photo Story. Sesi pertama dibawakan oleh Edy Purnomo, sesi kedua oleh Yoppy Pieter, dan kali ini, peserta mendapatkan materi tentang Riset dalam Fotografi Dokumenter dari Saša Kralj, founder Živi Atelje DK, jumat 11 Maret 2022. 

Sebagai menu pembuka, ia menampilkan sebuah foto yang ia ambil di Cape Town. Ia memberi takarir 4W sederhana; Siraj and Fatima embrace and pose during the wedding photo shoot by the ocean at the Muillepoint in Cape Town, South Africa, January 30. 2010. Dengan foto itu, Saša menerangkan bagaimana riset sebagai ide dapat bekerja saat kita sedang membuat cerita foto. Takarir 4W foto tersebut menjelaskan hal-hal yang berada dalam level deskriptif– seperti tokoh protagonis yang dapat kita identifikasi sebagai Siraj dan Fatima. 

Pada level ini, kita juga dapat melakukan observasi singkat berdasar pengetahuan umum. Dari foto tersebut, pengetahuan umum yang tercetus adalah tentang pernikahan dan Afrika Selatan. Pernikahan berasosiasi dengan kebahagiaan, ditambah riset sederhana, kita akan mengetahui jika menurut laporan statistik Afrika Selatan, angka pernikahan meningkat 3% selama satu dekade ke belakang dan angka perceraian menurun hingga seperempatnya di periode yang sama. 

Di level deskriptif (descriptive level), foto itu adalah sebuah foto pernikahan bahagia yang klise, membosankan dan sering kita lihat. Oleh karena itu, Saša menyarankan untuk membawanya ke ke level representatif (representative level). Di level ini kita perlu mengajukan lebih banyak pertanyaan– landasan bagaimana kita melakukan riset. Sebagai contoh, 

“Apa yang direpresentasikan oleh si protagonis?

Apakah mereka hanya merepresentasikan pasangan bahagia atau sesuatu yang lain?

Apakah mereka merepresentasikan dominasi patriarki?

Apa yang mereka representasikan?”

Untuk berpindah dari level deskriptif ke level representatif, kita perlu menambahkan konteks.“Setiap foto memiliki konteks. Tidak ada hal di dunia ini yang eksis tanpa konteks,” ujar Saša.  Dengan berpikir menggunakan konteks, kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan tidak ada hubungannya dengan pengetahuan umum di awal. 

Saša lalu memberi data komoditas seperti telur, buah kering, susu, cincin kawin bahkan tiket penerbangan, yag ternyata mendapat keuntungan dari ajang perkawinan. Ia kemudian menjabarkan bagaimana 10 juta telur yang dibutuhkan untuk membuat kue pernikahan terkait dengan kondisi pekerja di peternakan ayam. Dengan berpikir menggunakan konteks, kita dapat mengembangkan ide cerita bahkan hingga ke arah sebaliknya. 

Saat membuat cerita foto, secara bergantian kita dapat berpindah dari level deskriptif ke level representatif. Namun, lebih jauh lagi, Saša mengajak kita untuk menapak level intim (intimate level). Di level intim, kita perlu menggali pengetahuan lebih dalam tentang tokoh protagonis dan tindakan mereka. Meski Saša tidak berkesempatan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Siraj dan Fatima, ia memberi contoh pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengenal situasi mereka,

“Mengapa mereka menikah?”

Apa yang terjadi jika dia tidak menikah?”

Saša mengutip ucapan seorang storyteller yang ia temui di sebuah lokakarya, sebagai storyteller, kita harus mengetahui semua aspek cerita yang ingin kita ceritakan. Tetapi saat kita bercerita, kita tidak boleh menceritakan semuanya. Kita harus selalu memilih apa yang akan kita katakan. 

Di level keempat, Saša menguraikan tentang bagaimana berpindah dari level intim ke level implikasi (implications level). Di tahapan ini, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri; Apa yang akan saya lakukan dengan proyek ini? Apakah proyek ini membawa perubahan? Perubahan seperti apa? Jika proyek ini selesai, apakah akan menguntungkan atau merugikan si protagonis? Bagaimana dengan respon yang berlawanan?. Pertanyaan-pertanyaan penting ini memerlukan teknik riset yang berbeda. Proses ini esensial bagi usaha kita untuk memahami cerita lebih dalam.

Tidak berhenti di sini, Saša membawa kita ke level berikutnya, yaitu level tujuan (purpose level). Di level ini, kita menginterogasi diri sendiri lebih jauh dan mempersoalkan,

“Bagian mana dari pengetahuan saya yang saya anggap enteng?

Bagian mana dari data ini yang perlu saya pertanyakan lebih lanjut?

Apa yang saya ingin audiens rasakan? 

Mengapa saya ingin mereka merasakannya? 

Apa yang harus saya lakukan selain menulis atau memotret? 

Adakah hal tak terduga terjadi dan membuatku terkejut?”

Kelima level di atas terjalin berkelindan dan merupakan lima cara berpikir untuk melakukan riset. Saat membuat cerita foto, kita harus melewati kelima tahapan ini. Nantinya, saat kita mendapat data yang melimpah– hasil dari bertukaran lima cara pikir, kita dapat memilih tataran mana yang menjadi tumpuan cerita foto. 

“Kita tidak melihat apa yang tidak kita ketahui. Kita hanya melihat apa yang kita pikir kita tahu. Inilah sebabnya mengapa cara kita memotret berubah jika kita melakukan riset dengan lima cara berpikir ini,” terang Saša. Kemudian sepuluh peserta dibagi kelompok kecil untuk saling berdiskusi, mengaitkan mind map proyek foto mereka dan lima level cara berpikir.

Setelah sesi diskusi, Saša melanjutkan materi dengan membedah cara kerja mind map dalam riset fotografi. Masih terkait dengan lima level cara berpikir di atas, setiap level dapat memiliki mind map-nya sendiri. Meski memiliki metodologi yang berbeda-beda, kelima level tersebut memiliki kesamaan yaitu daftar pertanyaan umum tentang cara berpikir. Bagaimana cara berpikir di setiap level akan memandu kita– bagaimana mengajukan pertanyaan saat melakukan riset. Dengan demikian, mind map bukanlah lis hal-hal yang telah kita ketahui, namun sebuah kerangka provokasi. 

Maka, saat kita berpikir bahwa mind map yang kita buat sudah selesai, itu adalah sebuah kesalahan. Sebab kita berpikir jika kita sudah tahu. Mind map bukanlah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh foto. Mind map mestinya menjadi pemicu untuk mendapatkan lebih banyak pertanyaan tentang sebuah cerita. Sehingga kita bisa memiliki cerita yang berbeda dan bermakna.

Kita hidup di era semua orang dapat memotret dengan mudah, era di mana kita pikir kita dapat membuat foto yang bagus karena bantuan teknologi. Tidak ada foto tanpa konteks dan tak ada konteks tanpa pemikiran kreatif. Konteks adalah konsekuensi dari pemikiran kreatif. Sebagai seorang storyteller, penting untuk mampu menemukan konteks, yaitu daya untuk dapat menghubungkan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Memiliki daya tersebut memperkaya perspektif storyteller dan pada akhirnya memperluas relevansi cerita foto.   

Saša secara singkat menjabarkan pentingnya memiliki metode belajar. Sebagai seorang storyteller, kita adalah guru dan murid dalam waktu bersamaan. Saat kita mempublikasikan cerita foto, kita adalah guru. Saat kita sedang riset dan mengerjakan cerita foto tersebut, kita adalah murid. Metode belajar paling mudah adalah dengan melakukan repetisi dan memiliki keingintahuan tinggi. Kita juga perlu belajar untuk mengetahui siapa target audiens kita dan medium presentasi apa yang dapat digunakan. Semakin beragam target audiens, semakin banyak kemungkinan presentasi karya yang dapat dieksplorasi. Tak terasa 180 menit berlalu, Saša mengakhiri materi Riset untuk Fotografi Dokumenter setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta kelas.  


Photo Editing I

Memasuki minggu ketiga pelatihan fotografi program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021, kesepuluh penerima program akan melalui empat sesi Photo Editing. Saat materi Photo Editing, peserta diminta menyiapkan 45 frame foto dari seluruh foto yang telah mereka dapatkan saat pengerjaan proyek foto masing-masing. Dari 45 frame tersebut, mereka diminta untuk memilih 15 frame yang mereka anggap menarik dan dapat digunakan dalam rangkaian photo story mereka. 

Kesepuluh perserta dibagi ke dalam dua ruang breakout room, 5 orang dengan bimbingan mentor Rosa Panggabean (Fotografer Lepas) dan 5 orang dengan bimbingan mentor Yoppy Pieter (Fotografer Lepas). Di dalam kelas tersebut, masing-masing peserta mempresentasikan foto-foto yang mereka ambil. Mentor menjadi teman diskusi, menyampaikan pendapat dan masukan untuk frame-frame tersebut. Mereka juga merefleksikan penemuan data baru, kesulitan, dan pelajaran yang para peserta temukan selama proses pengerjaan di lapangan.

Setelah 120 menit di ruang breakout room, seluruh peserta dan mentor kembali ke ruang utama. Edy Purnomo menutup pertemuan dengan meminta peserta untuk berhati-hati dengan simbolisasi dari suatu cerita atau benda yang ingin disampaikan. Simbolisasi tidak sekadar menyematkan makna pada suatu hal. Lebih jauh tentang simbolisasi dan kaitannya dengan literasi visual akan disampaikan dalam kelas Visual Literasi. Catatan lain dari Edy Purnomo dan mentor lain terkait dengan hal-hal teknis yang masih perlu banyak diperbaiki oleh peserta. 


Menelaah Proyek Personal bersama Yoppy Pieter

Pertemuan ketiga program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 digelar di ruang virtual dengan tajuk Developing Your Project: Make It Personal & Matter, jumat (4/2/2022). Mentor Yoppy Pieter (Fotografer Lepas dan alumni PPG 2011) membuka kelas dengan mengajukan berbagai pertanyaan, 

“Kenapa proyek kita harus menjadi sesuatu yang personal dan otentik? 

Kenapa cerita kita penting untuk diceritakan? 

Kenapa pula cerita kita harus penting? Kenapa cerita kita harus memiliki relasi yang kuat dengan kita?”

Rentetan pertanyaan tersebut senjaga ditembakan Yoppy untuk memantik peserta agar dapat membayangkan proses yang harus dilalui dalam proyek foto. Dalam pemaparannya, Yoppy memberikan beberapa poin dari Kenneth Kobre dalam Photojournalism, The Professional Approach. Pertama, pentingnya ada ide dan tema yang kuat untuk diceritakan,”Sebaiknya proyek tidak dimulai dari ide bentuk visual, pikirkan terlebih dahulu ide dan tema yang kuat untuk diceritakan,” paparnya. Memotret dengan bentuk visual di benak bahkan sebelum tema cerita matang, cenderung menghasilkan proyek yang berantakan dan membatasi gerak eksploratif yang seharusnya dilakukan.

Kedua, Yoppy mengingatkan peserta untuk memiliki jawaban personal atas pertanyaan “Mengapa kamu orang yang tepat untuk mengerjakan proyek ini?” 

Poin ketiga, peserta perlu mencari relevansi proyek dengan topik yang sedang berkembang di masyarakat. Meski tema cerita merupakan isu domestik dan personal, perlu ditelisik lebih dalam aspek apa yang bisa diangkat untuk memperkuat cerita, serta membuatnya terhubung dengan realitas sosial yang lebih luas. 

Dalam poin keempat, Yoppy menekankan aspek standar teknis fotografi yang wajib dikuasai sebelum membuat proyek foto. Konsistensi dalam hal teknik fotografi dan modus visual berperan besar dalam membentuk nuansa cerita foto. Nuansa visual yang diaplikasikan secara tepat dalam sebuah cerita berpotensi untuk menggerakkan emosi seseorang yang melihatnya nanti. Di poin kelima, penyusunan cerita akan berakhir di proses Editing. Proses ini mencakup post processing, bentuk narasi visual dan sequence. Semuanya diperlukan dalam mendukung ide dan tema.  

Di sesi selanjutnya, Yoppy memaparkan tentang metode Mind Mapping. Metode ini perlu dilakukan untuk mengukur pemahaman cerita dan isu dalam sebuah proyek visual storytelling, melalui pendekatan flowchart dan mengatur informasi secara visual. Metode ini juga dikenal sebagai diagram laba-laba, disusun dengan membentuk ide sentral yang dikelilingi oleh cabang subtopik. Cabang-cabang tersebut menghasilkan sub-cabang berupa kata dan frasa pendek yang terkait dengan sub-topik.

Mind Mapping bukanlah daftar frame yang akan difoto, namun lebih kepada metode dalam memahami suatu masalah menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Melalui daftar pertanyaan kritis tersebut, kita akan diarahkan untuk memotret yang terlihat (seen) dan sesuatu yang tidak terlihat (unseen). 

“Kita cenderung melihat sebuah cerita hanya dari lapisan A (seen), padahal kita harus menceritakan juga hal-hal yang berada di lapisan terbawah (layer B, unseen) untuk mendapatkan cerita yang jernih.” Untuk mengeksplorasi layer B, dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap isu yang akan diceritakan. Perlu spirit investigatif untuk menemukan tidak hanya fenomena, namun juga perasaan, emosi dan filosofi dari subjek yang akan dipotret.   

Menurut Yoppy, Mind Mapping juga bermanfaat sebagai, 1) membantu mengingat informasi karena konsep dan data yang kompleks dapat ditampilkan dengan sederhana lewat bentuk, warna, kata dan gambar; 2) mendorong praktik creative thinking dengan melihat konsep sentral dari berbagai sudut yang berbeda, yang pada gilirannya dapat melahirkan ide-ide baru; 3) menguraikan masalah kompleks ke dalam komponen solutif untuk merespons suatu kasus. Memusatkan masalah ke topik utama kemudian meluaskannya ke luar dapat mempermudah proses analisis secara terstruktur.

Kemudian Yoppy memperinci tiga lapisan dalam Mind Mapping, 1) lapisan ‘Cerita Utama’ sebagai lapisan pokok dalam flowchart yang ditempatkan sebagai sumber cabang-cabang pembantu. Di lapisan ini, fotografer diharapkan sudah memiliki “protagonis”/tokoh utama dalam proyeknya. Protagonis tidak sebatas manusia, dia bisa juga berupa benda atau fenomena; 2) lapisan ‘Mengapa’ sebagai ranah fotografer mempertanyakan kembali tentang pentingnya proyek yang akan dibuat, dan landasan apa saja yang menjadi pondasi munculnya gagasan di lapisan “Cerita Utama”; 3) lapisan ‘Pertanyaan’ berisi daftar pertanyaan kritis yang merujuk pada lapisan ‘Mengapa’ dan nantinya akan dijawab melalui visual atau data.

Pertanyaan memiliki kekuatan investigatif dan menjadi upaya fotografer untuk mengkaji: riset apa yang harus dilakukan, siapa narasumber yang akan ditemui, dan mengumpulkan informasi-informasi penting yang baru. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, fotografer akan memiliki fleksibilitas dalam memotret tanpa harus kebingungan “Saya motret apa lagi ya?”.  

Sebelum menutup presentasinya, Yoppy memperlihatkan Mind mapping karya personalnya yang berjudul Trans Woman: Between Colour and Voice yang memperlihatkan headline dan cabang-cabang berisi informasi dan data yang ia dapat dari risetnya.

Usai pemaparan materi dari Yoppy Pieter, peserta terbagi dalam dua ruang breakroom untuk mempresentasikan hasil Mind Mapping yang mereka buat. Bersama mentor kelompok masing-masing, kesepuluh perseta dipandu untuk meluruskan keruwetan data riset dan observasi melalui metode Mind Mapping

 “Kembangkan ketertarikan lebih pada isu cerita. Sehingga pertanyaan yang mencuat tidak normatif dan berputar di situ-situ saja. Ciptakan lebih banyak pertanyaan dan gali lebih banyak informasi.” pungkas Rosa Panggabean, rekan sesama mentor menutup pelatihan. 


Photo Story I: Ragam Bentuk Narasi Visual

“Kita semua bisa bercerita,” ujar Rosa Panggabean, di kelas kedua Permata Photojournalist Grant 2021, Jumat (25/02/2022). Alumni PPG 2011 ini membawakan tentang ragam narasi visual. Dalam paparannya, Rosa menjelaskan, otak manusia pada dasarnya bekerja dengan mengasosiasikan emosi dan visual. Karena itu, pada dasarnya, setiap manusia adalah seorang storyteller atau pencerita. 

Meski punya cara kerja otak yang sama, namun ada perbedaan antara orang biasa dengan fotografer atau storyteller, orang biasa bercerita untuk diri sendiri sementara fotografer atau storyteller bercerita dan menyampaikan ke publik. Namun baik orang biasa atau fotografer, keduanya sama-sama menggunakan asosiasi visual untuk memperkuat cerita foto. 

Selain persamaan dan perbedaan cara kerja, ia juga menerangkan kebutuhan manusia akan konsumsi visual dan format narasi visual terus berkembang. Dulu, mediumnya hanya foto/gambar untuk format publikasi koran dan majalah, tapi sekarang, ada banyak platform visual, dari pameran, buku foto, situs hingga media sosial. 

“Untuk mengetahui format narasi visual yang akan digunakan, kita harus tahu output dari foto cerita yang akan kita buat,” sambung Rosa. Dalam konteks program PPG misalnya, karya peserta akan dipresentasikan dalam format pameran dan buku. Namun harus juga dipertimbangkan, apabila cerita foto kelak akan dimuat di masing-masing media tempat peserta bekerja. 

Dalam perkembangan narasi visual, Rosa mendedah beragam bentuk klasik, seperti diptych, sequence, series, dan blok. Sekilas ia juga membahas tentang EDFAT (Entire, Detail, Frame, Angle and Time), metode yang kerap digunakan dalam foto jurnalistik, sebagai bentuk eksplorasi teknis untuk memperkaya cerita foto. Rosa memperkaya visual peserta dengan gagasan Marc Prust (peneliti, fotografer, dan staf ahli WordPress Photo). Menurut Marc Prust, bentuk-bentuk visual naratif saat ini berupa; visual diary, portofolio, narrative, typology, continuous story dan photographic essay

Rosa lalu berbagi berbagai referensi visual yang memperlihatkan ragam narasi visual karya-karya fotografer Indonesia maupun dunia berdasar gagasan Marc Prust. Untuk Visual Diary, foto-foto dari kisah personal yang kerap digabungkan dengan teks oleh si fotografer/seniman dengan perspektif personal, Rosa menyebut karya Ravy Shaker “Letter to Moses” dan mengenalkan bentuk-bentuk visual yang digagas oleh  Antonius Immanuel dengan karya “Online Dating”. 

Kisah mereka tidak hanya berbasis cerita personal namun diperkuat dengan layer cerita tambahan. Ravy Shaker tidak hanya mempresentasikan hasil diskusi bersama istrinya, tapi juga mengisahkan secuil realitas imigran. Antonius tidak hanya mencari tahu sendiri bagaimana fenomena online dating bekerja, ia juga menemukan bahwa teman kencan perempuan yang ia temui rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Metode kedua, portofolio adalah koleksi foto dengan format konsisten tentang satu topik spesifik, di mana setiap gambar mengilustrasikan sebuah aspek dari cerita. Karya “Red Ink” dari Max Pinckers dan Iqbal Lubis (alumni PPG) “Rambo di Teluk Jakarta” menggunakan pendekatan portofolio untuk menyusun cerita.

Selanjutnya, pendekatan yang paling umum digunakan untuk membuat photo story adalah Narrative. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Eugene Smith, fotografer yang kerap dipanggil sebagai bapak photo story. Dalam Narrative, cerita foto memiliki alur yang jelas. Cerita foto dibangun dengan foto pembuka, adegan klimaks dan foto penutup. Contoh karya dengan pendekatan ini adalah “Country Doctor” oleh Eugene Smith dan “Kresnapaksa” oleh Arif Hidayah (alumni PPG)   

Metode keempat adalah Typology. Metode ini menggunakan rangkaian foto untuk membicarakan tentang topik yang berdekatan melalui visual struktur yang hampir identikal, meski objek yang difoto berbeda. Jan Banning hampir selalu menggunakan metode tipologi dalam semua proyeknya. Atet Pramadia (alumni PPG) menggunakan pendekatan ini untuk membuat karya “Pusako Minang”.  

Pendekatan berikutnya adalah Continuous Story. Metode ini digunakan untuk menceritakan sebuah topik spesifik, gaya visual tidak perlu konsisten namun setiap foto merepresentasikan sebuah klimaks visual. Format ini biasanya digunakan oleh foto jurnalis untuk menceritakan mega isu yang sedang terjadi di dunia. Contohnya adalah karya Wasteland oleh Kadir Van Lohuizen.  

Format terakhir adalah Photographic Essay. Dalam photographic essay, sebuah cerita diutarakan lewat rangkaian foto, diperkuat oleh aspek estetika tata ruang halaman publikasi, dan dikombinasikan dengan beragam visual perspektif. Umumnya, format yang digunakan untuk cerita foto semacam ini telah ditentukan sebelumnya oleh editor foto/klien. Sebagai contoh, Putu Sayoga dalam reportase “The Ring of Fire” menggunakan format vertikal dan diptych sesuai dengan arahan penugasan. 

Salah seorang peserta, ​​Bhagavad Sambadha (wartawan Tirto.id) mengajukan pertanyaan, “Idealnya apakah kita sudah tahu format apa yang kita gunakan dari awal atau sembari jalan?.” Menanggapi pertanyaan tersebut, Rosa mengungkapkan, “Idealnya memang kita sudah tahu sedari awal format visual seperti apa. Namun, kita jangan menutup diri dengan apa yang kita temui di lapangan. Jika ada fakta atau data baru, sebagai jurnalis kita tidak boleh menutup mata. Ketika itu bisa dimasukkan dengan pendekatan lain yang berbeda, mengapa tidak?”

Rosa menutup sesi materi sekaligus mengingatkan peserta, “Saat membuat proyek visual, gunakan elemen visual untuk bercerita, bukan menggunakan elemen teks.” Elemen teks dinilai sulit digunakan untuk membangun asosiasi emosi dan visual. 

Setelah sesi materi usai, peserta bersama dengan para mentor: Edy Purnomo, Rosa Panggabean, dan Yoppy Pieter mendiskusikan dan mempertajam proposal masing-masing peserta. Kemudian peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk mempermudah proses mentoring. 


Kelas Pertama: Pengenalan Tema Courage dan Presentasi Proposal

Bersamaan dengan pembukaan program Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2021 pada Selasa 22 Februari 2022, sesi dilanjutkan dengan orientasi program oleh Kepala Sekolah PPG, Ng Swan Ti (PannaFoto Institute), kelas pertama dengan materi pengenalan tema Courage oleh Edy Purnomo dan pitching proposal oleh setiap peserta.

Di sesi pengenalan tema, Edy Purnomo memulai dengan brainstorming untuk memahami suatu kata kunci. Beliau meminta peserta untuk memaknai tema Courage secara cepat dalam satu kata. Respon yang didapat beragam, seperti; maju, pengorbanan, tantangan, konsekuensi, melawan, yakin, pilihan, melindungi dan takut. Kemudian beliau memberi penjelasan lebih lanjut bagaimana memperluas perspektif untuk memaknai tema Courage. Beliau juga memberi referensi karya-karya fotografer lain yang terkait dengan tema courage untuk memberi gambaran, seberapa luas dan dalam kata kunci ini dapat dimaknai.    

​​Selanjutnya, masing-masing peserta mempresentasikan proposal karya yang akan mereka kerjakan selama program PPG 2021 ini. Setiap orang dari mereka harus mempertanggungjawabkan gagasan yang mereka ajukan sebagai proposal karya. Para mentor kemudian mempertanyakan motif, keterkaitan antara tema dan ide, serta memberi pertimbangan yang diperlukan. Beberapa peserta mengajukan ide proposal yang matang, namun ada pula yang masih perlu meyakinkan diri dan menggali ide lebih dalam. 

Usai pemaparan salah satu peserta, Yoppy Pieter memberi saran, “Cara paling mudah untuk mencari ide cerita adalah dengan peduli. Carilah cerita yang kita sangat pedulikan dan mengapa kita adalah orang yang paling tepat untuk menceritakan hal tersebut.” Lalu Edy Purnomo menambahkan, “Dalam storytelling butuh jangkar sederhana untuk membantu kita mencerna dan menghubungkan gagasan abstrak dengan visual, sehingga audiens dapat menikmati dan terhubung dengan karya kita tanpa kesulitan.” Para mentor juga menekankan para peserta untuk selalu kritis menguji asumsi, memperdalam dan mempertajam isu yang akan mereka kerjakan.

Kesepuluh peserta akan dibagi menjadi dua kelompok, dimana masing-masing kelompok akan menerima bimbingan selama penyusunan cerita foto dari co-mentor; Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. 

Selama 3 bulan, para peserta akan mengikuti rangkaian kelas yang akan dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat hingga 8 April 2022. 


Sesi Berbagi Proses Kreatif Menggarap Karya Multimedia bersama Hafitz Maulana

Rangkaian pelatihan fotografi Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 sampai pada tahap akhir, Selasa, (09/02/2021). Pada pertemuan kali ini, Hafitz Maulana, pewarta foto Tirto.id sekaligus alumni PPG 2019, berbagi mengenai proses kreatifnya selama menggarap karya multimedia. Sebagai informasi, pada pameran foto “Innovation” yang diselenggarakan pada tahun 2020 lalu di galeri Erasmus Huis, Jakarta, Hafitz menyajikan karyanya secara multimedia bertajuk Virtual Insanity: Inside The Life of Pro-Gamer.

Pameran foto karya peserta PPG 2020 rencananya diselenggarakan secara daring. Pada kelas-kelas sebelumnya, peserta memang sudah dibekali pengetahuan teoretis tentang multimedia oleh Saša Kralj. Namun pada sesi kali ini lebih ditujukan untuk berbagi pengalaman teknis saat membuat karya multimedia agar peserta PPG 2020 memperoleh gambaran yang utuh.

“Mungkin hal pertama yang perlu digarisbawahi, pada dasarnya multimedia itu benar-benar lintas medium. Sebetulnya tidak hanya dalam format digital saja ya, tapi bisa dipresentasikan di mana saja dan bentuknya beragam,” tutur Hafitz membuka sesi sharing.

Dalam karyanya tahun lalu, Hafitz bercerita tentang game. Ia menggabungkan foto still dengan audio sehingga menghasilkan efek dan nuansa cerita yang lebih hidup.

“Saya menyebutnya audiophotography, yaitu kombinasi antara dua medium; foto dan audio,” kata Hafitz.

Menurutnya, cara kerja audiophotography mirip seperti film. Hanya saja perbedaannya terletak pada bahan visual utama. Jika pada film, medium utamanya adalah video. Sementara audiophotography, medium utamanya adalah foto still. Sentuhan audio/sound pada karya fotografi akan memberi suasana cerita dan nuansa mood yang lebih hidup.

Secara teknis, mood akan dihasilkan melalui gabungan antara wild track dan transisi. Wild track itu bisa berupa sound effect, narrative audio, SFX, ambient, dan sebagainya. Sementara transisi dapat membantu pergerakan dari satu suara ke suara lain lebih halus (smooth). Transisi ini sangat penting karena berfungsi sebagai jembatan dari suatu cerita.

Selain hal-hal teknis, seorang sound designer harus mampu mengenali karakter audio dari suatu lokasi. “Misalnya, bagaimana sih karakter dari suara aktivitas di pelabuhan antara Makassar dan Jakarta, kedua lokasi tersebut pasti memiliki perbedaan,” ujar Hafitz.

Menurutnya, ada karakter sound endemik atau suara asli yang hanya bisa didapatkan jika kita pergi ke lapangan untuk mengambilnya. Tetapi ada pula karakter sound yang generik, misalnya suara motor dan langkah kaki, yang bisa didapatkan dari bank audio di internet secara gratis.

“Waktu saya mengerjakan proyek foto tentang game itu, saya mengobrol dengan para gamers dan mencari tahu jenis game apa saja yang mereka mainkan. Saya mengambil audio dari suara-suara yang muncul di dalam game-nya. Saya memotong-motong audionya dan berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan satu komposisi dan bisa in line dengan photo sequence yang sudah dibentuk,” cerita Hafitz saat mengingat-ingat proses kreatif yang pernah dilakukan.

“Apakah ada kesulitan ketika mengerjakan karya sendiri? Karena karya yang dibuat Hafitz itu hanya ada 10 frame, durasinya sangat pendek,” tanya Rifkianto Nugroho di sela-sela diskusi.

Hafitz bercerita bahwa itulah kesulitan yang pertama kali ia temui. Ia harus menyiasati agar durasi audio/sound yang masuk bisa sejalan dan seirama dengan durasi perpindahan setiap foto still. Akhirnya ia bisa mengatasi hambatan tersebut. Hafitz menambahkan visual effect pada fotonya sehingga bisa sedikit mempengaruhi panjang durasi.

“Cara mengakali tampilan satu frame agar durasinya tampak panjang, berarti harus ada pergerakan. Tipis-tipis saja, tak perlu terlalu banyak efek. Misalnya bisa dengan memanfaatkan efek zoom-in dan zoom-out atau dari terang ke gelap,” terang Hafitz.

Meski hari ini merupakan pertemuan terakhir dari pelatihan fotografi program PPG 2020, masih ada hal-hal lain yang belum tuntas dan perlu dikerjakan peserta. Mereka mulai menggarap presentasi karya multimedia untuk pameran foto daring. Selain itu juga mempersiapkan diri untuk acara graduation PPG 2020 yang akan dilaksanakan bulan depan. // Rizka Khaerunnisa


Hari Ketiga Final Editing bersama Jenny Smets

Jumat, (05/02/2021), merupakan sesi terakhir workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Mekanisme editing masih sama seperti kelas-kelas sebelumnya. Mula-mula peserta menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto all selected, lalu menampilkan dua puluh foto pilihan, dilanjutkan dengan memilih dua belas foto sequence versi awal, hingga memutuskan dua belas foto final sequence.

Kini giliran tiga peserta terakhir yang belum mempresentasikan karya. Ketiganya adalah Andri Widiyanto (Media Indonesia, Jakarta) dan Abriansyah Liberto (Tribun Sumsel, Palembang) yang membuat cerita reportase, serta Thoudy Badai Rifanbillah (Republika, Jakarta) yang membuat cerita personal.

Proyek foto yang digarap oleh Andri bercerita tentang seorang anak bernama Sandi yang terancam tak memiliki masa depan karena tidak memiliki akta kelahiran. Dampaknya ia tak bisa merasakan bangku sekolah formal. Bahkan, hanya karena tak punya identitas, ia tak memperoleh penanganan serius saat mengalami insiden kecelakaan yang menyebabkan kakinya pincang permanen. Ditambah keluarganya hidup dalam kemiskinan struktural khas pinggiran kota.

“Saya sangat suka cerita ini, Andri. Anda seolah-olah merasa dekat dengan anak ini, Anda juga bisa paham apa yang tengah terjadi padanya,” tutur Jenny setelah melewati proses diskusi yang cukup alot untuk menyusun dua belas foto sequence.

Sementara itu, cerita reportase yang dibuat oleh Liberto menyoroti kisah seorang guru bernama Siti Komariah yang tetap bertahan mengabdikan dirinya di sebuah sekolah dasar di desa Saluran, sebuah desa berjarak 20 Km dari pusat kota Palembang.

Di tengah keterbatasan fasilitas dan akses jalan menuju sekolah yang buruk, Siti Komariah tak menyerah. Meski hanya mengajar seorang diri, ia tetap setia mendidik siswa dari kelas 1 s.d. 6 yang berjumlah 20 orang. Siti Komariah bukanlah tamatan pendidikan tinggi dan hanya mengajar seorang diri. Upahnya hanya Rp 500.000 per bulan sehingga ia harus melakukan pekerjaan sampingan sebagai petani.

“Kenapa Anda memilih foto hitam-putih dan bukan yang berwarna? Kenapa ini penting?” Tanya Jenny.

Menurut Liberto, ia hendak menonjolkan sisi dramatis pada fotonya. Di desa tersebut, kondisi sumber listrik untuk penerangan tak memadai. Kondisi itulah yang pada akhirnya ia representasikan dalam karyanya dengan memainkan sentuhan kontras cahaya, antara terang dan gelap khas foto hitam-putih.

Terakhir, ada Thoudy yang menampilkan cerita personal dan konseptual. Ia memilih mood warna yang cenderung sendu serta sentuhan efek saturasi dan blurring sebagai representasi dari mimpi dan angan-angan atas ketiadaan sosok ayah dalam hidupnya.

“Cerita foto ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Saya tidak mengenali Anda secara personal, tetapi melalui foto-foto ini Anda berhasil membuat cerita yang bisa dipahami oleh semua orang. Ada tersirat perasaan melankolis dan sedih. Rasa kehilangan terhadap Ayah Anda sangat kuat di dalam foto ini. Karena cerita ini sangat pribadi dan berangkat dari perasaan personal Anda, cukup sulit untuk mengurutkan sequence-nya,” komentar Jenny sambil menelaah foto-foto yang ditampilkan di layar.

Di akhir sesi kelas, Jenny mengungkapkan suka-dukanya melewati tantangan photo editing di tengah kondisi pandemi. “Tidak selalu mudah untuk melakukan ini dari jarak jauh. Jauh lebih nyaman jika bisa bekerja bersama-sama secara langsung. Jika kita bisa bertemu secara fisik, foto yang dicetak bisa dijejerkan di atas meja sehingga proses editing akan lebih mudah,” aku Jenny.

Jenny serta para mentor lainnya memuji hasil akhir proyek foto yang digarap peserta selama dua bulan ini. Hasilnya di luar ekspektasi meski terjebak di tengah keterbatasan situasi.

“Mungkin karena saat ini pandemi dan lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, teman-teman peserta jadi punya kesempatan untuk berkontemplasi dan berdialog dengan diri sendiri lewat karyanya. Level story yang dihasilkan teman-teman sungguh di luar dugaan,” puji Ng Swan Ti sambil tersenyum. // Rizka Khaerunnisa


Hari Kedua Final Editing bersama Jenny Smets

Workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda, kembali dilanjutkan, Selasa, (02/02/2021). Sama seperti pekan lalu, setiap peserta membuka sesi editing dengan menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto terpilih dari 4 sesi Photo Editing. Kemudian dilanjutkan dengan dengan menampilkan dua puluh foto pilihan, lalu dipilih lagi menjadi dua belas foto untuk kemudian dirangkai menjadi final sequence.

Pada pertemuan kedua ini, ada empat karya yang ditelaah. Keempat karya itu dibuat oleh Suci Rahayu (Kompas.com, Malang), Johannes P. Christo (Pewarta Foto Lepas, Denpasar), Nita Dian Afianti (Tempo, Jakarta), dan Nopri Ismi (Mongabay Indonesia, Kab. Bangka Tengah).

Keempat karya memiliki pendekatan storytelling yang berbeda-beda, mood visual yang bermacam-macam, serta gaya dan teknik yang beragam. Dalam hal pemilihan warna foto misalnya, ada yang memilih foto berwarna seperti pada karya Suci dan Nita serta ada pula yang memilih foto hitam-putih seperti pada karya Christo dan Nopri.

Meski sama-sama foto berwarna, ada perbedaan signifikan pada karya yang dibuat Suci dan Nita. Suci misalnya, ia memainkan warna-warna yang menimbulkan rasa gloomy dan sendu dalam setiap potretnya. Tak heran, sebab rasa-rasa seperti itu cocok dengan cerita yang ingin ia angkat. Kisah di dalam fotonya sangat personal, ada semacam ruang dialog dengan dirinya sendiri. Ruang dialog itu adalah proses healing yang tengah ia hadapi atas situasi perpisahan dengan pasangan sekaligus memaknai kembali hubungan dengan orangtua dan anak-anaknya, sementara di sisi lain harus tetap bertahan dalam kondisi pandemi yang serba tidak pasti.

“Ini cerita yang sangat bagus. Foto-foto ini menggugah efek dan mood tertentu di dalam diri saya. Apalagi terkait dengan situasi pandemi yang membuat kita terkurung di dalam rumah. Namun pada saat yang sama, saya masih bisa merasakan harapan yang muncul di dalam foto ini,” komentar Jenny saat mencermati satu demi satu foto karya Suci.

Sementara itu, Nita memilih eksperimen dengan sentuhan warna-warna cerah, seperti kuning, merah muda, dan putih. Namun warna cerah tak serta merta mengindikasikan isi cerita yang gembira. Sebaliknya, cerita yang dimunculkan Nita cukup kelam, yaitu tentang seorang penyintas kekerasan seksual di halte Harmoni Transjakarta pada 2014 silam. Dalam konteks ini, warna-warna cerah direpresentasikan sebagai harapan dan kekuatan seorang penyintas yang berupaya merebut kembali hak dan kendali atas hidupnya.

“Cerita ini adalah contoh yang bagus tetapi cukup sulit disusun menjadi sebuah sequence ya, sebab kita harus mempertimbangkan banyak elemen. Selain pertimbangan unsur cerita dan warna, Anda juga harus mempertimbangkan antara foto yang tajam dan yang halus. Selain itu, di sini juga banyak foto yang simbolis, jadi kita harus berhati-hati menyeleksinya,” kata Jenny mengungkapkan kesulitannya saat melakukan proses editing.

Selanjutnya beralih ke foto cerita hitam-putih pada karya Christo dan Nopri. Christo membuat cerita dengan langgam serupa dokumenter sementara Nopri cenderung bersifat reportase.

“Apakah ada alasan khusus kenapa memilih warna hitam-putih?” tanya Jenny kepada Christo.

Christo menjelaskan bahwa pemilihan warna hitam-putih merujuk pada efek tertentu yang bisa menonjolkan sifat keliaran pada subjek foto, sehingga ia sengaja mengeliminasi warna-warna yang mengganggu. Sebagai informasi, proyek foto yang dibuat Christo bercerita tentang anjing-anjing di Bali yang dilepas-liarkan oleh pemiliknya dan hal tersebut telah menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Bali.

Selain Christo, ada Nopri yang mengangkat cerita reportase tentang komunitas suku laut Sekak di pulau Bangka. Imbas kebijakan pemerintah yang pernah dibuat pada era Soeharto membuat kehidupan suku laut berpindah ke daratan. Kini keberadaan mereka semakin terdesak akibat adanya aktivitas industri pertambangan timah serta problem regenerasi budaya dan kepercayaan lokal yang pelan-pelan mengikis.

Setelah mencermati foto-foto karya Nopri, Jenny mengungkapkan kesan bahwa ia seolah-olah mengenali karakter dan gaya tertentu yang acapkali diadopsi oleh banyak fotografer dokumenter. Ada permainan cahaya terang-gelap, efek blur, dan hitam-putih yang dramatis.

“Saya melihat kombinasi beberapa gaya fotografer dalam cerita ini dan itu sebetulnya bukan masalah besar. Namun jangan lupa, Anda juga harus mempertimbangkan bahwa orang-orang perlu mengenali karakteristik yang khas pada diri Anda, yang membedakannya dari fotografer-fotografer lain. Jadi harus berhati-hati saat mengadopsi gaya tertentu,” tutur Jenny memberi catatan. // Rizka Khaerunnisa


Hari Pertama Final Editing bersama Jenny Smets

Rangkaian progam Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 hampir mendekati proses akhir. Namun sebelum itu, peserta PPG harus melewati workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Dalam sesi khusus ini, proyek foto masing-masing peserta akan ditinjau dan disusun ulang hingga menghasilkan final editing.

Kelas dibagi menjadi tiga kali pertemuan. Pada hari Jumat, (29/01/2021), ada tiga peserta yang mengikuti sesi khusus bersama Jenny ini, yaitu Indra Abriyanto (Harian Rakyat Sulsel, Makassar), Fanny Kusumawardhani (Fotografer Lepas, Jakarta), dan Rifkianto Nugroho (Detikcom, Bekasi).

Setiap peserta nantinya mendapat kesempatan sekitar satu jam untuk berdiksusi bersama Jenny dan mentor lainnya, mulai dari mempresentasikan karya, menampilkan enam puluh foto terpilih, mengeliminasinya menjadi dua puluh foto, hingga menyisihkan dua belas foto yang diurutkan dengan metode sequencing.

“Setiap kali melakukan proses editing, saya selalu ingin melihat all take-nya sehingga saya bisa membaca pendekatan yang dipilih oleh fotografer. Yang paling penting bagi saya sebagai editor, adalah melihat dan memahami suatu cerita tanpa harus ada yang bercerita secara harfiah kepada saya. Jadi, jika semua visual yang diperlukan ada dan lengkap, kita bisa melihat itu semua,” papar Jenny saat memulai sesi.

Menurut Jenny, untuk membangun photo story yang bagus, kita harus menyiapkan berbagai stok foto, tidak hanya yang memperlihatkan isi cerita tetapi juga yang bisa menentukan ritme dalam cerita. Misalnya, foto yang direkam dengan jarak pandang dekat maupun jauh (overview), foto yang bisa mengenalkan lokasi cerita, atau foto portrait dari orang-orang yang terlibat di dalam cerita. Sehingga, saat proses editing kita tidak kekurangan bahan cerita.

“Indra, dari editing yang sudah Anda kerjakan, foto mana yang paling penting bagi Anda? Foto mana yang bisa menceritakan seutuhnya dan mungkin bisa menjadi pembuka cerita?” Tanya Jenny kepada peserta pertama, Indra Abriyanto, sambil mempelajari berbagai macam foto.

Jenny selalu bertanya dan berdiskusi dengan para peserta tentang foto apa yang cocok dijadikan sebagai pembuka, kemudian bergerak alur demi alur, sampai pada penutup cerita dan mengapa foto-foto tersebut pantas dipertahankan.

“Bagi saya editing yang bagus itu adalah kombinasi yang mencakup dari berbagai aspek. Tidak hanya memmpertimbangkan foto dari segi konten, tapi juga foto-foto mana yang paling menarik bagi orang yang sedang melihat,” tutur Jenny.

Yang menarik dalam kelas kali ini, ketiga peserta menyajikan cerita dengan pendekatan, mood visual, dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Proyek foto yang dikerjakan Indra, misalnya, bercerita tentang seorang penyintas Covid-19 yang mengalami stigma dari tetangga di sekitar rumahnya. Menurut Jenny, foto-foto dari proyek ini terasa gelap dan gloomy. Ia memberi peringatan bahwa kita harus berhati-hati ketika menyusun urutan foto, jangan sampai kesan cerita yang dihasilkan terlalu berat dan kelam.

Selain Indra, cerita reportase juga dibuat oleh Rifkianto Nugroho. Cerita Rifki berfokus pada masalah body shaming dan standar kecantikan perempuan. Tokoh utamanya adalah seorang binaragawati yang mengalami body shaming, entah itu ketika kondisi tubuhnya masih gemuk maupun setelah melakukan aktivitas olah otot dan diet ketat.

Proyek foto yang dibuat Rifki cukup sulit untuk dibentuk dan disusun menurut Jenny. Ada banyak bahan, lokasi, dan komponen yang menarik. Namun pada saat yang sama, hal itu jadi sulit untuk menentukan dan memilih mana foto yang penting dan mana yang perlu dikeluarkan dari sequence.

Lalu, ada Fanny Kusumawardhani yang menyajikan cerita dengan pendekatan personal. Berbeda dengan Indra dan Rifki, foto cerita yang dibuat Fanny sifatnya konseptual. Ia membuat foto dari pantulan gambar yang diproyeksikan di dinding tempat tinggalnya yang sekarang. Subjek dalam foto yang dibuat Fanny adalah anggota keluarganya yang terpisah jauh akibat situasi pandemi Covid-19. Proyeksi itu menciptakan kesan yang seolah-olah nyata, padahal mereka tidak hadir secara fisik bersama Fanny.

“Perbedaan yang sangat besar dari cerita ini dengan cerita sebelumnya adalah karena foto-fotonya agak mirip. Jika Anda biasanya membuat photo story dengan narasi yang memiliki alur awal sampai akhir, kali ini tidak ada. Untuk mengurutkannya, kita harus melihat komposisi serta warna, dan bukan isinya. Sebab proyek ini konsepnya sama, formatnya sama, warnanya juga hampir sama. Jadi, kita harus mempertimbangkan ritme,” jelas Jenny menanggapi cerita yang ditampilkan Fanny.

“Bagaimana pendapatmu melihat hasil karyamu yang sekarang?” tanya Ng Swan Ti di sela-sela diskusi. Fanny mengungkapkan bahwa proyek ini cukup menantang bagi dirinya karena harus keluar dari zona nyaman dan mulai berani bercerita tentang dirinya sendiri.

Di akhir sesi, Jenny mewanti-wanti bahwa tidak ada editing foto yang paling benar dan selalu ada alternatif yang beragam. Fotografer juga harus punya pertimbangan apabila ingin mengeliminasi satu foto dan menggantinya dengan foto yang lain. Mengganti urutan foto berarti akan mengubah isi dari cerita yang ingin disampaikan.

“Pesan saya, jika nanti Anda mengubah editing yang sudah dikerjakan ini, lakukanlah dengan sadar sebab cerita Anda bisa berubah,” kata Jenny. // Rizka Khaerunnisa


Photo Editing 4: Mematangkan Konsep Photo Sequencing

Selasa, (26/01/2021), pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 kembali dilaksanakan. Pertemuan kali ini merupakan sesi editing terakhir bersama para mentor PannaFoto Institute sekaligus langkah awal menuju sesi editing yang lebih intensif bersama Jenny Smets, kurator independen dan editor foto, yang rencananya akan berlangsung mulai hari Jumat (28/01).

Teknis dan proses pada kelas editing keempat ini tak jauh berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya. Peserta masih dibagi menjadi dua kelompok dalam breakout room yang dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Masing-masing kelompok diberi waktu dua jam lima belas menit untuk melakukan proses editing. Yang membedakan, pada pertemuan ini lebih fokus untuk menyusun dan merapikan dua belas photo sequencing yang materinya telah disampaikan dalam kelas editing ketiga pekan lalu.

Setelah breakout room selesai, seluruh peserta dan mentor bergabung kembali dalam satu room bersama. Di sini setiap peserta melakukan latihan presentasi singkat sambil menampilkan dua belas foto cerita yang telah terpilih. Beberapa koreksi dan komentar pun dilontarkan oleh para mentor. Mereka memberi kritik dan saran agar peserta pandai-pandai memilih kalimat yang diutarakan ketika presentasi.

“Para peserta harus melatih kembali cara berbicara dalam membawakan presentasinya. Peserta harus ‘bercerita’ supaya lebih menarik, bukan menjelaskan,” Ujar Edy Purnomo.

Perjalanan peserta PPG 2020 dalam menyusun proyek foto cerita hampir mendekati tahap akhir, tinggal mematangkan editing dan memikirkan konsep pameran dan multimedia.

Di akhir pertemuan ini, para mentor meminta para peserta membagikan kesannya selama mengikuti rangkaian kelas PPG 2020, terutama dalam kelas editing.

“Ini kan kita sudah hampir mendekati proses akhir dan setelah ini editing bersama Jenny. Saya ingin tahu pendapat kawan-kawan, dari seluruh proses editing di PPG ini, kira-kira apa yang kawan-kawan dapatkan?” Tanya Edy Purnomo.

Nopri Ismi, pewarta foto Mongabay Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan adanya kelas ini ia jadi terpicu untuk membuat cerita visual yang lain. Menurutnya, di kelas PPG, peserta diberi kebebasan dalam membangun cerita visual dan pengalaman ini berbeda jika dibandingkan ketika bekerja di industri media.

“Kebebasan, dalam artian apa yang ingin kita bentuk atau apa yang ingin kita sampaikan, mentor juga memiliki satu pengertian yang sama. Jadi lebih nyambung dan enak,” tambah Nopri.

Selain Nopri, ada Thoudy Badai Rifanbillah, pewarta foto Republika, yang turut membagikan kesannya terkait pengalaman mengikuti rangkaian program PPG ini.

“Kalau aku, sih, jadi banyak ilmu yang didapatkan, meskipun online. Mungkin hambatannya datang dari pribadi, ada perbedaan antara ngobrol secara online dan offline. Kalau offline, kan, kadang-kadang ada pertanyaan yang lahir dari obrolan biasa, sementara komunikasi lewat online rasanya masih agak kaku. Tapi, untuk materi-materi yang didapatkan sangat membuka mata, sih, bagaimana cara-cara bertutur lewat visual,” ujar Thoudy.

Johannes P. Christo, Pewarta Foto Lepas dari Denpasar, mengaku bahwa ada pengetahuan-pengetahuan yang sudah diketahui tetapi ia tinggalkan dan tak dieksplorasi lebih jauh.

“Akhirnya, di PPG ini banyak hal baru yang tentunya akan menjadi bahan dan landasan saya dalam berkarya ke depannya,” tutur Johannes.

Sebagai penutup pertemuan, Ng Swan Ti, Managing Director PannaFoto Institute, mewanti-wanti agar peserta tak berhenti berlatih dan berkarya setelah program PPG ini rampung. Peserta yang sudah intensif menempuh kelas PPG selama tiga bulan tidaklah otomatis menjadikan dirinya fotografer yang hebat. Tanpa latihan, ilmu yang didapatkan akan sia-sia. Dengan berlatih secara mandiri, Swan Ti berharap, kemampuan peserta PPG sudah naik level jika suatu hari nanti muncul peluang baru yang bisa menunjang impian maupun karier.

“Jadi, PPG ini sebetulnya bukan akhir, justru merupakan awal perjalanan untuk mengembangkan kemampuan kalian,” kata Swan Ti. // Rizka Khaerunnisa


Riset Audiens dan Presentasi Photo Story bersama Saša Kralj

“Apakah kita telah menemukan relevansi pada cerita foto yang kita kerjakan?” Saša Kralj, founder Živi Atelje DK, Zagreb, mengajukan pertanyaan pembuka tersebut dalam pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020, Jumat, (22/1/2021).

Relevansi yang dimaksud yaitu, apakah cerita kita bisa relevan terhadap diri kita sendiri, apakah relevan terhadap protagonis di dalam cerita, dan apakah relevan terhadap audiens. Jangan sampai kita terlalu fokus pada diri sendiri dan tidak peduli dengan target audiens yang ingin dicapai.

Menentukan target audiens barangkali jadi problem bagi kebanyakan fotografer karena ada kecenderungan ingin memuaskan semua orang. Namun yang kerap terjadi justru fotografer terjebak pada cerita yang terlalu umum dan dangkal sehingga hasil akhirnya tidak memuaskan siapapun. Inilah mengapa riset audiens menjadi hal yang sangat penting.

“Jadi kita harus membayangkan audiens kita, bagaimana audiens akan bereaksi terhadap cerita kita. Jangan membuat cerita hanya karena itu menarik bagi Anda saja,” ujar Saša.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa tahu jika cerita tersebut relevan terhadap audiens atau tidak?

Menurut Saša, langkah paling awal yaitu kita harus mampu mendefinisikan audiens kita terlebih dahulu. Kita harus memiliki bayangan dan tahu cara mengkomunikasikan cerita kepada audiens dengan kritis. Saša menekankan, jangan sampai kita terkesan menggurui audiens dan berasumsi bahwa mereka tidak tahu apa-apa.

Selanjutnya, hal yang harus dipikirkan oleh fotografer adalah jenis penyajian karya seperti apa yang akan dipilih. Fotografer sering berpikir bahwa foto saja sudah cukup, namun melalui foto esai kita juga bisa mengumpulkan teks demi teks. Maka, jika kita ingin menampilkan karya pada halaman koran, pilihan penyajiannya adalah gabungan foto dengan caption pendek.

Namun, di era digital seperti sekarang, penyajian karya dengan hanya menampilkan foto dan teks saja tidaklah cukup. Fotografer harus kreatif dan berani tampil berbeda mengemas karyanya. Caranya yaitu dengan memanfaatkan multimedia sebagai pelengkap medium cerita.

Multimedia berarti “semuanya”. Semua yang bisa digunakan sebagai medium cerita. Misalnya, di samping foto sebagai karya utama, kita bisa menambahkan sound effect, musik, video, lukisan atau gambar, bahkan patung.

“Saya ingin menunjukkan bahwa fotografi itu jangan dijadikan sebagai penjara. Storytelling adalah suatu ruang yang terbuka, bebas kita jelajahi,” tutur Saša.

Saša memperlihatkan contoh proyek foto close up portrait orang-orang tunawisma berjudul to Ronto (2011) yang direkam oleh Delibor Talajic. Saat karya tersebut digarap, sang fotografer hanya mengikuti workshop pendek di Toronto, Kanada, sehingga tidak sempat melakukan banyak riset. Akhirnya ia menambahkan lapisan emosional dari proyek tersebut dengan efek suara. Hasilnya punya efek berbeda jika dibandingkan dengan tampilan foto still saja.

“Seandainya ada foto yang cerita dan visualnya kurang kuat, apakah itu bisa diperkuat dengan presentasi? Atau justru sebaliknya, visualnya dulu yang harus kuat baru kemudian presentasi multimedia bisa mengikuti untuk menambah target audiens?” Tanya Johannes P. Christo, salah satu peserta PPG 2020 yang juga merupakan pewarta foto lepas dari Denpasar.

Menurut Saša, jika visual cerita itu entah kuat atau tidak kuat, sebetulnya tiap elemen memiliki kekuatannya masing-masing. Misalnya elemen musik, kekuatannya adalah untuk memicu memori karena dari setiap suara yang didengar kita akan mendapatkan kilasan-kilasan ingatan yang pernah terjadi sebelumnya. Lain hal lagi soal elemen visual, ia memiliki ketertarikan simfoni yang muncul dalam satu waktu lewat gambar still. Lalu, elemen teks memiliki kekuatan informasi yang terkandung di dalamnya. Sementara kekuatan dari elemen efek suara adalah memberi nuansa emosi, misalkan suara-suara tertentu yang menimbulkan kesan tegang dan drama.

Oleh sebab itu, peran riset audiens menjadi penting sebab kita ingin berinteraksi dengan audiens secara emosional dan penyajian karya dalam bentuk multimedia menyediakan keluasan dan kebebasan eksplorasi.

Pameran di dalam ruang tiga dimensi tentu akan berbeda jika dibandingkan dengan presentasi di dalam buku foto (dua dimensi). Setiap ruang, setiap medium, dan setiap audiens membutuhkan cara dan perlakuan yang berbeda-beda.

“Pada masa sekarang, eksplorasi penggunaan multimedia semakin luas, batasan-batasan lama sudah tidak ada lagi. Bahkan, pameran saat ini jauh lebih berani, tidak melulu menggantungkan foto-foto di dinding dalam ukuran yang sama, presentasi semacam ini agak membosankan,” jelas Saša. // Rizka Khaerunnisa