Menilai Kesiapan Melalui Simbol

Menilai Kesiapan Melalui Simbol
Seto Wardhana/The Djakarta Post

“Perkawinan tidak hanya menyatukan dua pribadi yang berbeda, tetapi juga menjadi media yang menyatukan orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, dan kerabat mereka masing-masing,” demikianlah definisi perkawinan menurut “Bapak Antropologi Indonesia”, Koentjaraningrat.

Menjadi rumah bagi setidaknya 1.340 suku bangsa, Indonesia memiliki ratusan bahkan ribuan ragam adat istiadat pernikahan. Setiap suku memiliki syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang calon mempelai untuk dapat meminang kekasih hatinya. Namun, beraneka ragam syarat tersebut sejatinya memiliki tujuan yang sama; menilai kesiapan calon mempelai untuk membina sebuah keluarga baru.

Salah satu syarat tersebut adalah mahar; sebuah pemberian dari satu pihak keluarga atau mempelai, kepada pihak lainnya sebelum melangsungkan pernikahan.

Bagi warga Indonesia, di mana pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan terkait erat dengan keluarga, adat memegang peranan yang sangat penting dalam penentuan mahar tersebut.

Nilai mahar, secara riil berbeda dari satu suku ke suku yang lainnya. Bahkan, dalam beberapa praktiknya, nilai simbolis suatu mahar sering kali mengesampingkan nilai riil barang tersebut.

Pernikahan Batak, misalnya, yang maskawinnya disimbolkan oleh kain ulos, sapi atau babi dan sayuran, serta uang dalam jumlah genap untuk merepresentasikan kebutuhan primer manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan. Pemberian maskawin ini tak lain untuk menunjukkan kesiapan calon mempelai untuk menafkahi keluarga barunya.

Sementara itu, dalam adat Dayak, mahar diberikan dalam bentuk sebuah gong, sebagai simbol dimulainya babak baru dari pasangan yang baru saja menikah. Ada pula dandang tembaga berisi beras dan bahan bahan pokok dalam perkawinan adat Betawi, yang menyimbolkan kesiapan mempelai pria untuk mencari makan bagi keluarga yang akan dibinanya.

Dalam konteks masyarakat kuno, mahar merupakan kompensasi bagi salah satu keluarga yang kehilangan tenaga kerja karena bergabung dengan keluarga barunya. Namun, selain nilai ekonomis tersebut, nilai mahar juga menggambarkan status sosial, dan menjadi simbol untuk menggabungkan dua keluarga besar, serta pembentukan sebuah keluarga baru.

“Jadi, persoalannya bukan nilai riil atau materinya, melainkan simbolis dan prestise,” ujar antropolog Universitas Indonesia, Irwan Hindayana.

Hingga saat ini pun mahar masih menjadi simbol utama dalam setiap ritual pernikahan di Indonesia, meskipun seperti halnya adat dan agama, makna serta nilai mahar di dalam masyarakat juga terus berkembang dan mengalami perubahan.

Di Jakarta, contohnya, penggunaan mahar tradisional secara perlahan mulai bergeser ke arah modern. Namun, mahar tetap memiliki makna dan nilai sosial yang sama, yaitu untuk meminang anak dari sebuah keluarga untuk kemudian membentuk keluarga baru.

 

Biodata

Seto Wardhana—biasa dipanggil Awo—lahir di Jakarta pada 2 November 1984. Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan belajar foto jurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara, pada 2007—2008.

Awo pernah bekerja untuk TEMPO pada 2010—2014, sebelum pindah ke harian The Jakarta Post hingga hari ini.