Seniman Panggung Jalanan

Seniman Panggung Jalanan
Rakhmawaty La’lang/REPUBLIKA

Seorang wanita paruh baya, dalam balutan kebaya, dengan fasih memetik dawai siter yang dipangkunya, sambil melantunkan lagu tradisional Jawa. Dari meja ke meja, dengan sabar ia menghampiri pengunjung, berharap rupiah sebagai bentuk apresiasi.

Demikianlah  Sawitri (62) mengisi hari-harinya sebagai seorang seniman siter jalanan. Sosok Sawitri bukanlah satu-satunya seniman yang menggantungkan hidupnya dari berkesenian di jalanan, khususnya di Ibu Kota Jakarta. Beberapa bidang seni pertunjukan lainnya, seperti kuda lumping, ondel-ondel, musik kecapi, angklungan, dan lain-lain, turut menghiasi wajah sosial Ibu Kota. Dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan terbatas, mereka mampu mengemas kearifan lokal dalam kesenian jalanan sambil mengharapkan perbaikan standar hidup.

Sebelum dikenal sebagai pengamen, para seniman ini mencari nafkah dengan bertani, berdagang, dan mengandalkan panggilan, seperti acara syukuran, panen raya, pernikahan, dan acara hajatan lainnya. Namun, seiring waktu, daya tarik dangdut dan organ tunggal mulai mengalihkan perhatian masyarakat, sehingga permintaan tampil pun berkurang.

Akhirnya, mereka terpaksa turun ke jalan untuk mengamen, demi memenuhi kebutuhan hidup yang juga semakin menuntut. “Kalau ada hajatan saya ngikut, kalau gak ada hajatan saya pergi ke Jakarta, nyari duit,” ujar Sarmin (30), salah seorang penari kuda lumping keliling. Seiring dengan dinamika hidup dan desakan ekonomi inilah, tujuan kesenian yang awalnya bernilai sakral perlahan berubah menjadi profan.

Sadar akan nilai kebudayaan yang mereka bawa ke tengah masyarakat, mereka menunjukkan identitas kesenian Indonesia. Para seniman berbasis kebudayaan ini hadir untuk menggebah stigma negatif bahwa pengamen adalah pengganggu, dengan membawa citra diri lewat kualitas performa mereka.

Selain untuk bertahan hidup, mereka juga memperkenalkan keragaman kesenian Tanah Air. Dengan menjadikan jalanan sebagai panggung, para seniman ini menarasikan harapan kepada pemerintah untuk dapat memfasilitasi kesenian Nusantara.

 

 

Biodata

Rakhmawaty La’lang lahir di Serang pada 1989. Ia lulusan Universitas Negeri Hasanuddin (UNHAS ) Makassar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, lulus pada 2012.

Ia tertarik pada dunia fotografi melalui seorang temannya saat duduk di bangku SMA, dan mulai serius mempelajari fotografi saat kuliah, dengan mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa UNHAS dan sejumlah klub fotografi di Makassar.

Pengalamannya di dunia jurnalistik dimulai saat menjalani tugas kuliah magang di LKBN Antara Makassar sebagai reporter. Ia menyadari, jurnalisme bukan hanya tentang menyaksikan dan mengabadikan peristiwa, melainkan juga menjadi bagian dari peristiwa itu sendiri.

Selanjutnya, ia memutuskan untuk mendalami foto jurnalistik dan kini bergabung sebagai pewarta foto di Republika sejak 2012.

Pameran yang pernah diikuti antara lain pameran foto bertajuk “Jakarta Berharap” dan “Satu Tahun Kinerja MRT” (2014, oleh Pewarta Foto Indonesia Jakarta), dan “Setahun Kerja Jokowi-JK” (2015).