Kehidupan Roh Sang Penimbul

Kehidupan Roh Sang Penimbul

Galih Pradipta/Media Indonesia

Eling-eling siro manungso, elingono sholat ngaji
mumpung durung ketekanan malaikat juru pati,
Panggilane Kang Moho Kuoso, gelem ora bakal digowo,
diturokno ndek padusan, diadusi banyu kembang,
disalini sandhangan putih, yen wes budhal ora biso muleh,
tumpakane kereto dowo, rudo papat rupo menungso. 

Tembang Jawa berjudul “Eling-Eling”—yang mengingatkan bahwa kita tidak akan selamanya hidup di dunia ini—dibawakan sinden, disertai tabuhan gamelan sebagai tanda bagi prajurit berkuda dari Paguyuban Wahyu Kencono Kemayoran untuk masuk di tengah-tengah penonton. Dengan tatapan tajam seakan siap menerkam musuh, para penunggang kuda menampilkan drama semangat perjuangan nenek moyang untuk mempertahankan tanah leluhur dari para penjajah.

Sang penimbul memiliki peran yang penting dalam sebuah pertunjukan jaran kepang (kuda lumping) ini. Dengan ritus mantra dan doa, ia membuat pagar gaib yang berbentuk segi empat. Masing-masing sudut pagar memiliki peran sebagai penjaga, dari hal-hal mistik dan gangguan yang ingin menjahili pertunjukan. Kekuatan sang penimbul atau pawang yang menghadirkan ruh nenek moyang untuk merasuki para penari mengisyaratkan perjuangan di medan perang, untuk terus mempertahankan setiap jengkal tanah bumi Nusantara.

Selain berfungsi memanggil indang atau roh leluhur, untuk melancarkan pertunjukan, penimbul juga menyiapkan sesajen sebagai makanan untuk indang yang akan dipanggilnya.

Sebenernya aku gak mau jadi seperti ini, ini munculnya tiba-tiba, tanggung jawab dan beban tugasnya besar, gak gampang!” tegas Kartam (32), salah satu pendiri paguyuban kesenian Wahyu Kencono Kemayoran. Sebelum menjadi seorang penimbul, Kartam sejak kecil mengaku sudah diperkenalkan kesenian oleh ayahnya yang memiliki sanggar seni lengger di Banyumas.

Lalu bagaimana ia bisa mendapatkan kekuatan supranatural sebagai seorang penimbul?

“Mimpi diajak orang tua tinggi besar bersorban, yang menuntun untuk terbang serta bersemedi di bawah air terjun di puncak Bukit Putri,” ucap Kartam, yang sudah mendapat kekuatan supranatural pada usia 17 tahun. Dengan rutin, Kartam menjalankan tradisi leluhur seperti pasa mutih, pasa patigeni, pasa ngebleng, pasa ngalong, pasa ngrowot, dan ziarah ke makam-makan leluhur untuk semedi, demi mempertahankan kekuatan supranaturalnya.

Selama lebih dari sepuluh tahun, Kartam dengan lihai memimpin pentas jaran kepang. Ia juga kerap menyelaraskan keseimbangan dan kemapanan pentas sebagai bentuk komunikasi antara penonton dengan alam bawah sadar. Indang dihadirkan untuk mewakili masyarakat yang masih memiliki rasa hormat kepada leluhur.

Jaran kepang merupakan salah satu kesenian yang sudah lama tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Jawa, sebagai tarian ritual untuk memanggil ruh leluhur untuk meminta keamanan desa dan keberhasilan panen. Tarian ini juga melambangkan kekuatan, kepatuhan, dan sikap pelayanan dari kelas pekerja.

Sayangnya, kesenian yang memiliki unsur supranatural dan magis ini mulai tersisih oleh perkembangan pemikiran dan kebudayaan manusia modern saat ini. Padahal, jaran kepang sempat menjadi medium dakwah Islam pada pertengahan abad ke-14.

 

Biodata

Galih Pradipta lahir di Yogyakarta pada 26 Januari 1990. Ia sarjana ekonomi dari Universitas Prof. DR. Hamka (UHAMKA) Jakarta, lulus pada 2014.

Ia memulai kariernya sebagai pewarta foto di Media Indonesia, setelah menyelesaikan Workshop Fotojurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Angkatan XIX, pada 2013.

Bermula dari hobi yang diwariskan sang kakak, ia mempelajari fotografi secara autodidak, hingga pada 2009 masuk ke dunia perkuliahan dan bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) “I-Foto” di kampus.

Beberapa pameran yang pernah diikuti di antaranya “Unfinished” yang diadakan GFJA Angkatan XIX (2014). Ia juga terpilih sebagai nomine 10 terbaik Adinegoro Award 2016 oleh Dewan Pers.